Tuk Tuk Tuk
Aku mendengar suara ketukan. Hanya berjeda beberapa saat saja, suara itu berulang lagi.
Mataku berkedip berat, langit-langit ruang tengah masih gelap.
"Ini masih malam. Siapa yang mengetuk pintu diwaktu buta begini?"
Aku berbalik posisi menghadap gorden jendela dan melanjutkan tidur. Dalam hati aku sempat berkata, "Bisa jadi penghuni yang mabuk dan lupa letak kamar. Paman tua yang tidak punya anak itu lagi, pasti dia!"
Tuk Tuk Tuk
Suara itu terdengar sebanyak dua kali, kemudian ...
"Ini Jasa Ekspres! Paket Anda telah sampai!"
Tuk Tuk Tuk
Suara besar seorang laki-laki terdengar dari arah lorong. Lalu tertangkap samar-samar gesekan kertas di atas marmar. sesuatu sepertinya diletakkan di lantai di depan pintu flatku.
"Paketku? Tapi Aku tidak merasa pernah memesan barang"
Selang beberapa detik, Suara langkah sepatu sedikit menggema menuruni tangga. Ternyata benar ada orang meletakkan paket di depan pintu flatku. Dengan tubuh lesu karena bekerja terlalu keras, aku malas-malasan beranjak dari tempat tidur.
Mulutku menguap dan segera kutahan agar rahang tidak cedera.
Aku berdiri, sambil merapikan rambut panjang nan berantakan. Jam beker di meja kecil telah menunjukkan pukul dua dini hari. Siapa yang dengan konyolnya mengirim paket lewat tengah malam begini? Sungguh tinggi etos kerjanya. Dia harus diberikan penghargaan sebagai karyawan telatan tahun ini!"
Aku berjalan, sesekali meregangkan tubuh yang lemas dan lesu, kunyalakan lampu tengah yang redup bercahaya kuning, agar aku setidaknya dapat membedakan antara sandal dan tikus. Sesekali karena malas menghidupkan lampu, aku pernah menginjak tikus yang kukira sendal alhasil aku kena gigit. Dan gigitan itu sedikit meninggalkan bekas.
Kali ini kupastikan, mata yang berat ini dapat membedakan benda mati dan benda hidup.
Ketika kubuka pintu, memang ada sebuah box kardus yang dilem dengn rapi. Tertulis namaku di atasnya.
"Apa mungkin dari Mas Yushimaru. Tapi dalam rangka apa nih?"
Aku membawa box itu ke dalam. Kuletakkan di atas meja dan langsung membukanya. Terdapat kertas yang disteplis rapi dibalut oleh plastik ketat. Ketika kucoba merobeknya, tapi tidak berhasil. Aku menoleh ke sana sini dan menemukan cutter di bawah meja. Dengan ujung cutter itu kurobek plastik bungkusnya.
"Siapa yang repot-repot mengirim ini. Dan apa benar ini untukku?"
Memang dari salah satu berkas, tertulis namaku dalam cetak tebal beserta nomor seri 71-2505007-09 dan sebuah barcode batang. Beberapa berkas lagi, hanya halaman kosong yang membuat aku heran.
"PASTI HANYA ORANG ISENG."
Aku berdecak lalu menumpuk berkas itu kembali seperti sedia kala dan menarik pisau cutter.
Tidak berhati-hati, pisau cutter itu melukai jari telunjukku. Seketika perih pun terasa. Darah dari ujung jari jatuh mengotori tulisan namaku di salah satu berkas.
Aku mendorong meja dengan kaki dan menjauhkan pisau cutter itu.
Saat bersamaan terdengarlah suara kenalpot dari lahan parkiran. Kenalpotnya seperti jenis kendaraan lama. Karena penasaran, aku berlari keluar dari kamar.
"Siapa si pengirim yang rajin sekali ini?"
Dengan langkah cepat aku menuju jendela besar di ujung lorong. Gorden tilei ku singkirkan hingga tampak jelas panorama di lingkungan apartemen.
Aku menoleh ke bawah. Si pengirim itu memiliki tubuh kurus dan tidak terlalu tinggi. Suara Kenalpotnya ricuh sekali. Dalam sekejap si pengirim beserta kendaraan bututnya meninggalkan area apartemen. Di berbelok di ujung jalan. Perhatianku beralih pada seorang pria berpakaian hitam, berjalan sambil memegang payung merah.
Aku mengembuskan napas pendek dan memperhatikan luka kecil di ujung telunjuk sudah tidak berdarah lagi. Kuhisap lalu berbalik hendak kembali.
Tetapi ...
Seseorang bertubuh tinggi dengan kaus longgar dan celana longgar berdiri di depan garis polisi.
Lorong hanya bercahayakan lampu kecil pada tiap-tiap pintu. Pada ujung lorong itu terdapat pula jendela bergorden tilei sehingga cahaya di luar menerangi tubuh orang itu. Sayangnya aku tidak dapat mengenali penghuni dari kamar berapa karena dia membelakangiku.
Aku mengacuhkannya, kemudian memutar kenop pintu flatku. Tiba-tiba pria itu tertawa dengan sedikit ditahan.
"Hehe bbppp. ... Hihi."
"Dia kenapa? Sedang menangis apa tertawa?" Aku memandang heran.
Punggungnya bergetar ketika tertawa. Suaranya menggema di lorong.
Mungkin, orang itu sedang depresi. Dia terus menarap bekas TKP pembunuhan. Barang kali, salah satu kenalan korban.
Aku kembali memutar kenop. Ketika mendorong pintu, suara aneh meletup dari arah telinga kananku.
Begitu kulihat, orang itu menoleh padaku. Punggungnya berputar sedangkan, pinggang hingga kakinya masih membelakangiku. Tubuhnya seperti karet.
Dia tertawa. Mulut hitam itu terbuka lebar sekali. Sekujur tubuhku seperti ditahan ribuan tangan hingga teras berat dan berat sekali. Serta merta sensasi dingin menjalar dari ujung kaki hingga berkumpul di jantung. Melihat tubuhnya saja, 90% ketakutan menggempur jantungku hingga berdetak cepat.
Aku terkesiap dan memutar kenop pintu sambil mendorong dengan sekuat tenaga, tetapi seperti terkunci.
Apa aku tadi menguncinya? Tidak, aku tidak menguncinya. Jelas-jelas pintu kubiarkan begitu saja.
Orang itu terbahak-bahak sambil melihatku. Matanya putih terang di antara bola mata nan hitam. Tubuhnya pucat sekali.
"Tolong-tolong!Hai" Aku berseru meminta pertolongan pada kamar sebelah.
Bruk bruk
"Tolong biarkan aku masuk! Tolong aku!"
"HA HA HA HA!!!"
Dia mendekat sambil merangkak seperti laba-laba membawa tertawa yang mengerikan.
Sambil berlari aku menoleh. Dia menerjang dengan mulut hitam menganga ke arahku.
"Aaaaaaaccckkkk!" Aku berteriak panik.
Pandanganku mendadak buran. Sesosok tangan datang dan menutup mataku kemudian mendorongku sangat kuat. Punggungku jatuh, terhempat ke lantai. Aku tak dapat bernapas.
"HAAAAAAAGGGHHH!!!"
Aku terlonjak duduk. Napasku sesak.
Aku duduk menghadap tembok, sinar pagi ini mengenai sekujur tubuhku. Sedikit demi sedikit napas mulai normal kembali tetapi jantungku masih berdebar-debar. Seolah mimpi itu berhasil mencabut beberapa detik nyawaku.
Kuseka keringat dan pergi ke dapur untuk minum.
Tidak bisanya, aku bermimpi buruk. Mungkin efek melihat TKP tadi malam.
"Aku harus menjauh dari hal-hal berbau darah mulai sekarang. Untung hanya mimpi, kupikir benar-benar terluka. Luka itu sungguh terasa sakit."
Aku menyalakan despenser kemudian pergi mandi. Ruang kamar mandi cukup besar dan sengaja kugantung parfum ruangan aroma mawar. Sehingga aromanya mengalahkan bau kloset. Kubeli ketika sedang promo, di dalam lemari masih punya 10 bungkus lagi.
Aku menyalakan shower yang sering macet ini. Air hangat membasahi seluruh tubuhku, ketika sedang menggosok badan dengan sabun, aku menemukan pergelangan kakiku memar membiru. Saat dipencet terasa nyeri sekali.
Mungkin waktu tidur aku menendang sesuatu. Gara-gara mampu buruk itu, badanku terasa tidak segar.
Usai mandi, aku mengambil mie cup ukuran jumbo dan menyeduhnya dengan air panas despenser. Mie instan dengan cup adalah sarapan pagi yang tidak sehat, ya, aku tahu itu. Berhubung aku malas masak, ini jadi kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan.
Tak sampai 4 menit, mie instan kusantap panas-panas dan uapnya masih mengepul dan menghasilkan kelembapan pada wajahku.
Alarm mendadak berbunyi.
Aku bergegas menghabiskan mie dengan sekali suapan. Kemudian berlari ke depan lemari dan mengenakan celana panjang dan kaus yang kumasukkan buru-buru ke dalam pinggang celana. Sebagai sentuhan akhir, aku menggerai poni dan rambut. Secepat kilat menyambat tas beserta ponsel yang terus berteriak-teriak.
Brak!
Aku meloncat dari pintu, dan membungkuk kikuk saat melihat orang-orang berkumpul di sekitar lorong.
"Ah, ada apa lagi ini?" aku bergumam.
Pintu telah kukunci. Aku berjalan dengan langkah panjang. Seketika itu pergelangan kaki kembali terasa sakit dan nyeri. Kuabaikan rasa sakit itu dan terus mendekati salah satu penghuni di seberang.
"Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa orang-orang pada keluar dan tampaknya sedang membahas sesuatu."
Seorang wanita bersama anaknya bersandar di samping pintu flatnya, dia melirikku sebentar dan menjawab, "Ada yang tewas lagi. Dengar-dengar saudara dari si pembunuh."
Seorang di belakang ku ikut bicara. "Dia ditemukan melompat dari jendela itu."
Aku menoleh dan benar saja, kaca jendela di ujung lorong pecah dan berhamburan di mana-mana.
"Kau mau kemana, rapi sekali?" tanya seorang pria tua sambil memegangi ponsel.
"Saya hendak mengurus surat kelulusan di sekolah untuk masuk universitas, Paman."
"Ouh, hebat sekali. Kau masih muda tapi sudah berhasil. Semoga berjalan dengan lancar. Hati-hati di jalan, banyak orang jahat di luar," ujar orang itu.
Dari arah kiri datang polisi dan beberapa lainnya memasang garis kuning lagi sepanjang lorong dan membentangi pintu flatku.
"Selamat pagi, kami dari kepolisian distrik akan melakukan penyelidikan di sini. Para penyelidik sebentar lagi akan datang. Mohon tidak meninggalkan apartemen ini. Mohon kerjasamanya."
Polisi itu kemudian meminta kartu identitas kami satu per satu.
Beberapa orang bertanya pada polisi yang baru datang itu dengan berbagai pertanyaan. Aku berbalik, berjalan ke depan jendela yang sudah pecah.
Aku takut ketinggian sebenarnya, tetapi mendengar kata mereka bahwa korban masih tergeletak di bawah, membangkitkan rasa ingin tahuku. Dengan hati-hati, aku menoleh ke bawah.
Seorang pria botak dan pucat ditutupi dengan kain tipis. Angin berembus dan membuka kain hingga setengah kakinya.
"Bu-bukankah dia ...."
Jantungku berdebar dan kerongkongan begitu kering.
Aku mulai takut. Dalam mimpiku, sosok yang menyerangku memakai baju yang sama dengan orang itu.
"Apa ini hanya kebetulan?"