Matahari berada di batas cakrawala. Malam siap menjemput. Pram masih berdiri di atas puncak Bukit Kalajengking. Menatap senjakala. Musuhnya berada di kaki bukit dengan napas tak keruan.
"Aku tak mengapa kau menyerah, tetapi jangan salahkan aku jika kau mati di perjalanan akibat racun." Pram tertawa getir.
Musuh di bawah adalah seorang gadis muda. Dia baru saja kedapatan menyusup ke Bukit Kalajengking yang konon menyimpan Kitab Ilmu Kiai Gandung. Sayang sekali, kitab itu dijaga oleh Pram yang sekarang mampu membuat gadis itu mengalami luka dalam.
Gadis cantik yang malang. Kulit bersihnya berkeringat. Mengkilap dipantul matahari senjakala. Rambut hitamnya sedikit kusut akibat ulah Pram. Namun, sorot matanya masih tajam. Jelas tak mau kehilangan Kitab Ilmu Kiai Gadung di tangan Pram itu. Padahal sudah jelas bahwa Pram bukanlah tandinganya.
"Brengsek! Aku tak akan membiarkannu hidup!" Gadis itu berteriak kencang lalu lari ke atas bukit.
Pram hanya bisa menggelengkan kepala. Menghindari serangan tapak dari gadis kalap itu.
"Tak ada yang menarik dari kitab ini." Pram berkata seraya menghindar. "Aku beri kesempatan kedua. Pergilah kau dari bukit ini. Lupakan kitab guruku."
Merasa disepelekan, dara cantik itu terus menyerang. Pram mudah saja menghindar sambil terus menggeleng. Kasihan juga gadis malang ini. Tak tahu kalau dirinya sedang berhadapan dengan harimau tidur.
"Aku ... takkan ... MENYERAH!"
Dia memberi serangan tapak terkuatnya. Angin menderu kencang. Pram tak dapat lagi mengelak, terkena serangan tapak itu. Sayang, Pram hanya mundur selangkah dan batuk sekali. Sedang sang gadis merasa menghantam besi tebal. Tangannya memerah. Prana1 miliknya terkuras habis. Ia bersimpuh lutut di depan Pram.
Napasnya tersenggal-senggal.
"Hm, agaknya kau tak punya tenaga untuk meninggalkan bukit ini, ya?" Pram tertawa hambar. "Sebaiknya aku cepat-cepat mengirimmu ke neraka."
Pram mengambil keris di belakang pinggangnya. Menarik warangka ke atas. Bilah keris yang meliuk-liuk tampak menakjubkan. Entah sudah berapa nyawa penyusup yang binasa di bilah Keris Merpati Biru itu.
"Mengapa ... mengapa ... kau tidak berikan saja kitab itu padaku?" Gadis itu mendesah, memuntahkan darah segar.
"Kudiberi tugas untuk menjaga kitab ini oleh guruku. Sederhana, bukan?"
"Tapi, aku hanya ingin kembali ke jalan yang benar!"
Pram mengernyit. Apa maksud gadis ini? Bukankah sudah jelas dari pakaian yang dikenakannya, bahwa ia adalah gadis dari Aliran Hitam? Gadis setan? Gadis terkutuk? Sekarang apa katanya, kembali ke jalan yang benar? Apa dia sungguh-sungguh?
"Kitab Ilmu Ki Gandung ... adalah jalanku ... untuk bertobat ...," katanya terbata-bata. Hampir kehilangan nyawa.
Pram terkejut. Memang benar, Kitab Ilmu Kiai Gadung ini sebagian besarnya berisi tentang ajaran kebaikan. Baru sisanya berisi ilmu silat.
"Dari mana kau tahu itu?" Pram bertanya.
Gadis itu tak menjawab. Napasnya sudah mencapai ambang maut. Pram lekas-lekas mengeluarkan sebuah pil lalu memasukkanhya ke bibir indah gadis itu.
Napasnya kembali teratur. Ia memandangi Pram dengan sejuta makna. Cantik sekali dirinya seperti ini.
"Darimana kau tahu itu?" Pram mengulang pertanyaan.
"Untuk masalah itu, kau tak perlu tahu. Lebih baik cepat serahkan kitab itu padaku!"
Sayang sekali yang Pram julurkan bukanlah Kitab Ilmu Kiai Gandung, melainkan kerisnya yang terarah langsung ke leher si dara cantik. Langsung membisu.
"Darimana kau tahu itu?" Pram mengulang lagi, dengan nada lebih keras.
"A-aku tahu ... dari ... aku pernah berhasil ... maksudku guruku pernah berhasil mencuri kitab itu. Dia membacanya ... walau sekilas. Hanya sekilas!" Meskipun kondisinya sudah baikan, sang gadis tetap terbata-bata di hadapan Keris Merpati Biru.
"Sekarang, apakah engkau memang mau kembali ke jalan kebenaran?"
Gadis itu tanpa ragu mengangguk pasti. Pram menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Tak ada kebohongan terselip di mata gadis itu.
Pram kembali menyarungkan Keris Merpati Biru. Berkata lembut, "Siapa namamu?"
"Ananta Sedayu." Si gadis berkata ragu, namanya di dunia hitam begitu terkenal, ia punya banyak musuh dari Aliran Putih yang kenal namanya.
"Baiklah, Ananta Sedayu. Aku tetap butuh pembuktian bahwa kau memang benar-benar serius."
"Cukup berikan kitab itu, selesai urusan. Kau memang suka cari jalan susah, ya?"
"Jangan paksa aku menarik kerisku, yang akan disarungkan lagi bersama darahmu."
Ananta Sedayu mendecih kemudian meringis, kondisinya masih belum pulih sepenuhnya.
"Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkanmu, manusia dari Aliran Putih?"
"Aku bukan Aliran Putih. Sulit dijelaskan. Sebab Aliran Putih sendiri masih sering membentuk golongan-golongan yang berpecah belah. Kau akan mengerti sendiri nantinya." Pram mengangkat bahunya. "Kau harus melakukan apa? Mudah saja. Turun bukit. Aku akan ikut bersamamu. Buktikan keseriusanmu."
"Jangan berlama-lama, goblok! Aku tak punya banyak waktu. Lihat, aku sekarat sekarang!"
Pram tak mau banyak bicara dengan gadis ini. Ia menyentuh bahu Sedayu. Prana miliknya mengalir, membersihkan tubuh Sedayu. Memberinya kehangatan dan kenyamanan. Kondisinya jauh lebih baik.
"Katakan alasanmu yang lainnya," kata Pram acuh tak acuh. Sedayu hanya mendengus sebelum mengambil jalan menuruni bukit.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk turun dari barisan bukit. Langsung bergabung ke jalan setapak di tengah belantara. Mengarah langsung ke desa terdekat yang jaraknya sekitar dua hari jalan kaki dari sini.
Pram benar-benar hanya mengikuti Sedayu. Ia tak banyak berpendapat, bahkan tak berpendapat saat Sedayu memimpin jalan di depan.
Dalam benaknya, Pram benar-benar mau melihat ketulusan gadis itu dari perbuatan tangannya. Bukan dari perbuatan mulutnya yang mungkin bualan. Bukan dari gerakan dan sorot matanya yang mungkin rekayasa.
Saat malam tiba, Pram berhenti saat Sedayu memutuskan istirahat. Mereka membuat api unggun dan tempat tidur jarak terpisah dengan helai-helai daun pisang.
Perut Sedayu mengeluarkan suara guntur. Jelas lapar. Melirik Pram. Pram hanya mengangkat bahu. Tak mau tahu. Maka terpaksalah dia bergerak masuk ke dalam hutan dengan tombak dan obor buatannya baru saja. Pram terus mengikuti di belakang, bersikap tak waspada dan acuh tak acuh.
"Waspadalah, manusia Aliran Tak Tahu. Ini hutan yang berbahaya!" Sedayu memperingatkan, berharap ini dicatat sebagai kebaikan.
"Berbahaya? Kau tak lihat tadi ada celeng besar yang lari saat melihatku?"
Sedayu mendesah sebal. Pantas tak ada hewan buruan. Mereka tentu takut pada Pram, pemuda itu sudah dikenal hewan-hewan buas di sini sebagai manusia yang patut dihindari.
"Pergilah kau. Kembali ke api unggun."
"Aku tak bisa meninggalkanmu. Bisa-bisa kau lari dan kembali menusukku dari belakang." Pram berkata enteng.
"Kata-katamu jahat sekali, manusia Aliran Tak Tahu."
______
1Prana adalah sejenis tenaga metafisik; tenaga dalam.