Sirene mobil ambulan bergema di jalanan padat ibukota.
Suasana yang lumrah jika kau sudah lama tinggal di sini.
Beberapa mobil yang enggan menepi, meskipun sirene nyaring itu sudah berbunyi beberapa kali.
"Huft Dasar manusia egois. Haruskah aku membantunya?"
Aku menatap lesu dari jembatan penyeberangan ini.
Manik hitam legamku menyusuri jalanan di bawahku itu. Berusaha mencari celah agar mobil itu bisa lewat.
"Itu masih ada jalan yang kosong padahal ... dasar kalian ini," gumamku sambil melihat sebelah jalan mereka yang cukup longgar.
"Pindah," batinku
Aku memfokuskan pikiranku, memikirkan mobil-mobil mewah egois tersebut agar menggeser pelan ke samping.
Dan serempak, mobil-mobil tersebut satu persatu menepi. Membuat mobil berwarna putih dengan sirine nyaring itu leluasa lewat di tengah mereka.
Aku tersenyum jahil. Menatap kaca mobil pengemudi yang mulai turun ke bawah.
Mereka berteriak bingung, melihat ke mobil-mobil lainnya.
"Kenapa mobilku bergerak sendiri?!"
"Mobil kalian juga?!"
Aku tertawa.
Melihat para manusia egois itu kebingungan sungguh mengasyikkan.
"Jahil itu bagus, tapi dalam hal baik. Ini salah satu hal baik bukan?" tanyaku pada diri sendiri sambil berjalan menuruni tangga.
"Caramel!"
Aku menghentikan langkah kakiku. Tubuh dengan tinggi 163 cm ini berbalik, menghadap sumber suara.
"Kenapa kau meninggalkanku sih?!"
Aku tersenyum. Melihat perempuan bertubuh mungil di depanku protes dengan bibirnya yang mengerucut. Aku merangkulkan tanganku ke pundaknya sambil menyeret tubuh perempuan mungil tersebut.
"Maaf Ri ... kalau masih marah, nanti aku traktir eskrim deh."
"Bener?! Wah Asik kalau gitu ak-- ugh."
Bugh
"Jambret! Tolong!"
Seorang wanita dengan baju kantorannya berlari cepat mengejar pria berjaket hitam yang tadi menabrak temanku ini.
"Jambret!"
Aku ikut berteriak lalu mengejar maling menyebalkan itu.
"Hei Caramel! Jangan tinggalkan aku lagi!"
Perempuan yang biasa aku panggil Riri itu berteriak, ikut berlari bersamaku.
Kedua kakiku cepat, berhasil sejajar dengan wanita pekerja kantoran tersebut.
Hingga pada saat jambret tersebut terlihat jelas di depanku. Aku tersenyum miring, menatap sebuah tas laptop merah muda yang dia pegang erat.
"Pindah," batinku.
Tas merah muda itu terlepas, terbang cepat menghampiri wanita di sampingku ini.
Mereka semua terkejut. Riri, si jambret, dan wanita berpakaian kantoran. Mata mereka melotot tak percaya, saat melihat tas laptop itu terbang di udara dengan sangat cepat.
"Apa yang kau lakukan?!" tanya jambret itu dengan paniknya.
Kedua bola mata hitamnya membesar serta getar. Dia takut-takut melirik ke arah kami yang juga terlihat bingung.
Dia mendengus sebal. "Sialan."
Dia pergi, kabur begitu saja.
"Wah Nona bisa melakukan sihir?" tanya temanku tiba- tiba pada wanita berpakaian rapih itu.
"T-Tidak! Aku juga sama bingungnya. Kenapa ini bisa mendarat di tanganku?" ujarnya dengan wajah bingung.
Aku diam. Tidak bereaksi apa-apa. Karena aku takut, jika menanggapi berlebihan mereka akan curiga.
"Apa kau tahu sesuatu Caramel?" tanya Riri padaku.
Aku sedikit terkejut. Aku berdeham pelan sambil menatap tas berwarna merah muda itu.
"Ya ... bagaimana pun terima kasih kalian sudah mencoba membantuku tadi. Aku senang sekali, laptop ini tidak jadi diambil oleh penjahat menyebalkan itu," ujarnya sambil tersenyum tulus.
Kami berdua mengangguk sambil membalas senyuman ramahnya.
"Kalau begitu kami pamit pulang dulu sebelum hari gelap," ujarku ramah lalu merangkul tubuh mungil Riri.
Wanita itu tersenyum ramah lalu berjalan menjauhi kami berdua. Aku menghela napasku lega, saat menatap punggung wanita itu yang kian menghilang.
"Apa kau tahu sesuatu?"
"Tahu apa?" tanyaku balik.
"Tentang yang tadi ... ekspresimu tidak begitu heboh. Padahal kau orang yang heboh," ujarnya dengan wajah penasaran.
Aku tersenyum penuh arti menatapnya dalam. "Mungkin ada seseorang yang mempunyai kekuatan telekinetik."
"Hah?"