Derap langkah kaki menyusuri koridor sekolah yang masih begitu sepi, setiap ruang kelas pun masih tertutup dengan rapat meskipun tak ada gembok yang menggantung pada pintu. Sudah di buka, hanya saja belum ada orang yang mau membuka lebar pintunya agar udara bisa masuk.
Gadis itu memasuki ruang kelas empat, dan benar-benar masih sepi. Tak ada satu orang pun di dalam kelas kecuali dirinya sendiri, Alra segera meletakkan ranselnya di atas meja. Membuka setiap jendela yang bisa dia bukan secara perlahan. Ini masih pukul enam pagi, anak-anak itu selalu datang tak tepat waktu karena rumah yang terlalu dekat.
Kebanyakan dari mereka datang ketika bell berbunyi, segera berlari meletakkan tas mereka kemudian berlari keluar menuju barisan senam. Yang paling menjengkelkan mereka tak mau piket, padahal dulu menyuruh Alra untuk piket kelas meskipun belum ada jadwal.
Di sini aneh, sekolahnya sangat aneh dengan orang-orang yang aneh terutama teman kelasnya. Mereka memiliki teman sendiri-sendiri, bergerombol layaknya geng kelas dengan popularitas yang berbeda. Laila dengan enam orang lainnya yang terkenal pintar, dan cantik, kemudian dia gerombolan lain yang terkenal sangat pemberani, kumpulan anak-anak olahraga, dan kumpulan anak-anak yang biasa saja. Alra tak pernah mau ikut, dia berteman dengan siapa pun meskipun menjaga jarak karena tak ada dari mereka yang satu frekuensi dengannya.
Hembusan napas dia keluarkan begitu mengambil sapu, membersihkan area bangkunya dari belakang sampai depan. Namun, sesuatu dia temukan di dalam laci meja, membuatnya menoleh ke arah kanan, dan kiri meskipun tahu tak akan ada seorang pun yang melihatnya. Akan tetapi, di luar kelas sudah mulai ramai dengan anak-anak yang datang dengan ransel yang tampak begitu berat.
Alra mengambil pensil warna yang dia temukan, dan dia masukkan ke dalam ransel. Tak peduli milik siapa, dan apakah akan dia kembalikan atau tidak, intinya benda itu dia masukkan ke dalam ransel. Menyimpannya tanpa ada seorang pun yang tahu.
Pekerjaan itu dia lanjutkan sampai selesai, dan sampai teman-teman kelasnya berdatangan secara bersamaan. Mereka semua, terkecuali anak laki-laki yang malas. Meletakkan tas segera, beberapa mengambil sapu untuk tugas piket yang mereka lupakan, kemudian yang lain bersiap dengan tugas menarik uang amal.
Di sini setiap hari melakukan penarikan amal, kemudian setiap hari senin akan di umumkan kelas mana yang paling rajin beramal, dan kelas mana yang paling malas beramal. Kelas Alra ini yang paling malas biasanya, tapi pernah juga yang paling rajin dengan jumlah yang paling banyak. Kadang mereka bersemangat untuk mengeluarkan uangnya demi meraih gelar nomor satu sebagai kelas yang paling rajin.
Sebenarnya bagian itu tak usah di bicarakan, tapi lebih baik sesuai dengan kelasnya. Maksudnya lebih baik guru agama yang memberitahu untuk semangat beramal, tapi mereka bilang kegiatan ini membuat orang-orang akan semakin bersemangat. Uang amal tak di pakai aneh-aneh, biasanya di pakai untuk membeli sapi, kambing sebagai perayaan qurban idul adha. Hanya itu, tak ada yang lain, untuk acara lain akan di kenakan biaya tambahan lainnya.
"Alra, udah sarapan belum?" tanya Devin, yang baru saja datang dengan topi yang selalu dia gunakan di kepala.
Gadis itu selalu memakai topi dengan rambut yang dia ikat bersama banyak jepit rambut. Tak tahu kenapa melakukan itu, padahal rambutnya bagus, tapi katanya rambut yang dia punya tak sebagus itu. Banyak yang botak katanya, itu yang membuatnya malu dan terus memakai topi sampai rambutnya basah sehabis olahraga, meskipun basah tak mau dia lepas. Seakan-akan topi itu sudah melekat di kepalanya.
"Belum, kamu mau sarapan sekarang? Bentar lagi masuk gak sih?"
Devin melihat jam tangan terbarunya, warna ungu dengan tambahan pink yang indah, "Belum masih lama, hari ini gak senam."
"Gak senam? Tau dari mana?" kening Alra bertaut dalam, "Perasaan gak ada pengumuman deh."
"Ada tau, kamu aja yang gak pernah denger. Yang waktu itu ada tamasya juga kamu gak tau kan? Malah buru-buru pulang buat ambil uang."
Devin benar, Alra selalu telat untuk mendengar berita, tak pernah menjadi orang yang pertama atau yang kedua. Selalu menjadi yang terakhir ketika beritanya sudah mulai dingin, tak ada asap atau api. Namun, Alra tak pernah peduli, lagi pula bukan urusannya juga, lebih baik mengurus dirinya sendiri yang terlihat memiliki banyak kekurangan.
"Ayo, makan nasi!" Devin menggandeng lengan kanan Alra, dan mengajaknya untuk melenggang pergi. Menyusuri jalanan yang penuh dengan paving, lapangan sudah penuh dengan anak-anak yang sedang mengobrol dengan cara berdiri dan berjongkok. Kebanyakan adik kelas yang memiliki tubuh sangat pendek, Alra tidak tahu kenapa mereka sangat pendek. Mungil dengan wajah yang sangat lucu.
Padahal dulu waktu Alra masuk sekolah, teman-temannya sangat tinggi, ada yang bertubuh gempal dengan wajah yang sangat tampan. Ada yang kurus tinggi, dan semuanya sangat baik dan ramah. Sementara di sini kebanyakan berwajah sinis, tak menyukai orang baru, dan selalu menyudutkan orang lain dengan geng yang dia punya.
Mereka sampai di depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Sebenarnya ini bukan rumahnya, ini warung yang terlihat seperti rumah. Alra masuk bersama Devin, memesan dua porsi pecel dengan tambahan tempe, dan segelas air putih.
Dua gadis kecil itu duduk di salah satu kursi, menunggu makanannya datang sambil memperhatikan sekitar. Devin tidak melakukannya, hanya Alra karena gadis itu selalu merasa penasaran.
"Tadi kamu dateng jam berapa?" tanya Devin.
Alra menoleh, dan berkata, "Enam."
"Gak tau pensil warnanya laila? Dia tadi kebingungan nyariin pensil warnanya yang kata dia ilang. Kemarin waktu selesai latian nari sama nyanyi dia cariin tapi gak ketemu."
Alra terkejut, dia baru sadar pensil warna yang dia ambil tadi adalah milik Laila. Segera dia ubah raut mukanya dengan raut muka yang lebih tenang, "Engga, aku gak liat apa pun."
"Ah! Gitu, kasian anaknya mikirin si pensil warna."
"Bukannya dia anak orang kaya? Kenapa harus mikirin pensil warna seharga lima belas ribu? Lagian uangnya dia pasti banyak dari hasil kaset yang dia jual kan?"
Devin mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai bentuk persetujuan, "Aku juga gak tau, mungkin pensil warnanya dia beli pake uang pemberian siapa atau mungkin dari hadiah. Bisa aja kan?"
"Iya, bisa aja, tapi menurutku kalau hilang mendingan beli yang baru."
"Gak semua orang mikirnya kaya kamu, gimana kalau misalnya dia pengennya yang itu?"
"Kalau gitu terserah dia aja sih, mau nyusahin diri sendiri atau mau bikin otak yang bekerja."
"Emang mikirin sesuatu bikin otak bekerja?"
"Tentu saja, kamu mikirin pensil warna yang hilang namanya menyuruh otak untuk bekerja lebih keras!"