Chereads / LINDAP / Chapter 25 - Dua Puluh Lima

Chapter 25 - Dua Puluh Lima

"Kenapa bolos?" Hendrik melempar batu kerikilnya menuju sungai.

Duduk di atas rumput kering dengan alas sepatu, kakinya masih menggunakan kaos kaki putih. Sesekali mencabut rumput sambil menunggu Alra berbicara. Gadis itu sejak tadi membisu sambil memeluk ranselnya. Entah apa yang dia pikirkan, tapi seharusnya dia sudah tahu dengan semua konsekuensi ketika melakukan hal tak terpuji ini.

Tempatnya tak datar, berbentuk miring seperti segitiga siku-siku, sepanjang bagian piring ini di tumbuhi rerumputan liar, ada pula putri malu yang tumbuh bergerombol dengan jarak yang cukup jauh. Bagian bawah terisi sungai dengan air yang lumayan jernih, sementara di atas adalah sawah yang membentang begitu luas. Ada kebun jeruk, dan kebun buah naga milik para petani desa.

Alra menghembuskan napas panjangnya, menoleh ke arah Hendrik dengan kedua mata yang memicing akibat sinar matahari yang langsung menyorot. Ini sudah siang, Alra memilih beranjak, menuju tempat yang lumayan dingin dengan adanya pohon kismis. Merebahkan tubuhnya di atas rumput, dan ranselnya dia gunakan sebagai bantal.

Langit nampak cerah dengan awan putih, dan alas berwarna biru indah. Matahari juga menyinari dengan semangat, sepertinya mereka sedang bahagia padahal Alra sedang tidak mood untuk senyum.

"Gak capek liatin mereka?"

Alra menoleh, keningnya bertaut melihat Hendrik yang ikut tidur di sebelahnya dengan tangan kanan yang dia gunakan sebagai pengganti bantal, "Aku capek Hen, gak suka di rumah. Di sekolah juga, gak suka sama gurunya. Pak narto galak, trauma jadinya, takut buat hadir di kelas. Ibu juga gitu, gak paham sama perasaan anaknya sendiri."

Hendrik terdiam, memperhatikan wajah sambil kiri Alra dengan tatapan tak percaya, tapi berubah menjadi senyum tipis, dan kembali memperhatikan langit, "Aku juga dapet pukulan dari pak narto Al, tapi aku gak trauma. Ini emang toxic, tapi kata nenekku kalau misalnya kita gak cinta sama satu pelajaran, ilmunya gak akan bisa kita petik."

"Tapi aku emang gak suka matematika."

"Coba deh belajar cinta sama matematika, aku yakin kamu bakalan suka, pinter, atau... bisa jadi jago! Aku yakin kamu bisa lewatin siklus ini Al, kalau gak bisa di lewatin gak mungkin Tuhan pilih kamu kan?" kali ini Hendrik menatap Alra yang juga ikut memberikan tatapan dengan kening bertaut cukup dalam.

Gadis itu hanya memberikan tatapan singkat, tak ada makna yang bisa Hendrik bawa. Bahkan dia tak dapat menyimpulkan maksud, dan tujuan dari tatapan itu.

Alra kembali menghembuskan napas panjang ketika menatap langit, "Tau, tapi kayanya bukan sekarang."

"Terus kapan?"

"Nanti."

"Tahun depan aja gimana?"

Alra kembali menoleh, memberikan tatapan dengan ribuan pertanyaan yang dapat Hendrik baca. Cowok itu mulai mengubah posisinya menjadi duduk, membersihkan punggungnya yang terasa tak nyaman karena rumput, dan kemudian duduk dengan tenang sambil menatap manik mata lawan bicaranya.

"Aku pikir tahun depan soalnya banyak bab atau materi pengulangan kelas empat yang pasti gampang menurut kamu. Aku juga mikirnya gampang, cuman beberapa sih gak semuanya," jelas Hendrik, senyum dengan deretan gigi itu dia berikan untuk beberapa detik, "Aku laper, makan yuk!"

"Makan? Uang sakuku gak cukup buat beli nasi."

"Berapa?"

"Tiga ribu."

"Cukup kok, ayo!"

****

Rumah kecil dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu nampak begitu mungil. Alra ikut masuk dengan membuntuti Hendrik, memperhatikan meja makan yang lumayan panjang beserta kursi panjang tanpa ada punggung kursi.

Etalase berisi berbagai macam sayuran beserta tahu, dan tempe berjejer dengan piring yang berbeda. Bau telur dadar pun menyapa indra penciumannya, membuat perut kecil itu merengek untuk segera di isi dengan sesuatu yang terasa lezat.

"Budhe, dua porsi ya yang tiga ribuan!" ucap Hendrik tanpa malu, padahal Alra mencoba untuk menutup wajahnya, tapi Hendrik menarik gadis itu untuk segera duduk.

Menunggu hidangannya hingga akhirnya dua piring itu datang. Sedikit nasi yang pas dengan porsi anak-anak, sedikit sayuran beserta sambal pecel, satu irisan tempe setipis kertas, dan ada sayur dengan kuah merah yang Alra tak tahu namanya. Harganya memang tiga ribu karena wanita berambut keriting panjang sampai lutut itu mengatakan jika total harganya Rp. 6000

Alra tak percaya dengan warung ini, biasanya dia membeli makanan paling murah harga Rp. 5000 atau Rp. 10.000 ketika tinggal di kota, tapi sekarang hanya dua atau tiga lembar uang saja sudah cukup untuk mendapatkan sepiring nasi, dan membuatnya kenyang untuk beberapa jam ke depan.

"Ayo, di makan! Enak kok, enak banget!" ucap Hendrik sebelum melahap makanannya dengan tangan, tanpa mencucinya terlebih dahulu padahal tadi sempat main rumput dan batu.

Tidak ada rasa jijik, malah katanya vitamin tambahan agar imunnya kuat. Padahal ada banyak kuman, bakteri, jamur, dan yang lainnya masuk ke dalam mulut. Ke dalam tubuh mungil itu, Alra menggeleng ngeri dengan kelakuan temannya yang satu ini.

Dia memilih mengambil sendok, dan mulai mencampur rata makanannya. Menikmati suap demi suap, tak seperti Hendrik yang terlihat rakus. Tak lama makanannya sudah habis, tapi dia minta tambah dengan kuas merah beserta satu lembar tempe pada pemilik warung yang baik hati itu.

"Biasanya aku sama temen suka nongkrong di sini kalau bolos, atau cuman buat sarapan, makan siang, sama makan malem. Emang menunya biasa aja, tapi kalau di rumah gak masak mah enak banget di sini," ucap Hendrik, mengusap perutnya yang tidak buncit itu dengan senyum lebar.

"Kenapa murah?"

"Buat anak SD kaya kita emang murah, uang bawaannya kan cuman dua atau lima ribu kan? Aku bawa lima ribu, dan kamu tiga ribu. Cukup kok." Hendrik mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menikmati makanan berkuahnya, "Ini yang tambahan dua ribu doamg, murah man?"

"Iya, murah."

Cowok itu terkekeh, memberikan jempol kirinya pada Alra, dan kembali berkata, "Besok kalau mau bolos ajak aku aja!"

"Kenapa?"

"Biar nanti aku ajak keliling, nyusurin hutan bambu di daerah sini atau mungkin perkebunan. Aku biasanya petik jeruk loh di kebun, kebetulan punya kakek, makanya boleh ambil suka-suka."

"Jadi gratis?" sahut Alra yang masih tak percaya, "Kebunnya yang di tempat tiduran tadi?"

Hendrik mengangguk, menelan makanannya, dan berkata, "Iya, tapi masih agak ujung lagi yang ada jembatannya. Di situ, biasanya ke sana sama temen juga. Kalau sendirian mah males, gak asik. Mendingan ngajak temen, ambil bareng-bareng terus di makan bareng-bareng. Kalau rame gitu asik ketimbang sendirian, emang kamu gak ngerasa kesepian?"

"Ngerasa kadang, tapi aku punya temen. Ada tina sama yang lain meskipun gak deket banget, tapi intinya aku punya temen."

"Aku?" Hendrik menunjuk dirinya sendiri, "Bukan temen kamu?"