Gadis itu berjalan keluar dari kelasnya sambil mencari-cari seseorang. Perhatiannya terus berpusat pada sekelilingnya, masih terus berjalan menelusuri koridor sekolah yang tidak panjang.
Setiap kelas dia lihat untuk memastikan seseorang ada di dalam sana, tapi sayangnya tak ada siapa pun yang dia kenal.
Alra menghela, adiknya tidak di temukan di mana pun. Dia tidak tahu apakah gadis kecil itu sudah pulang atau belum. Lalu apakah Aura sudah memiliki teman, atau belum juga. Alra tidak tahu itu semua.
Arah jalannya berubah menuju halaman luas yang mulai panas. Banyak siswa yang sibuk mengambil sepedah kayuh di dekat pohon mangga, lainnya berjalan kaki untuk pulang ke rumah masing-masing.
Langkah Alra terhenti di depan pagar sekolahnya. Memperhatikan sekitarnya, dan di luar sana hanya terlihat jalanan yang ramai di penuhi anak-anak seusianya. Tidak ada motor, atau mobil yang terparkir, apa lagi orang tua yang menjemput anak-anaknya. Bahkan penjual makanan pun tidak terlihat di sini.
Alra semakin tidak mengerti, tempat ini tidak menyenangkan. Berbeda sekali dengan tempatnya yang dulu. Gadis itu menghela, dan segera pergi dengan langkah yang cepat.
"Kakak?"
Teriakkan itu membuat langkahnya terhenti, Alra menoleh ke belakang. Raut mukanya yang tadi kesal berubah menjadi datar ketika melihat Aura tengah berlari ke arahnya dengan terburu-buru.
"Aku tadi nyariin Kakak di kelas gak ada, taunya ada di sini. Mama kan udah bilang buat pulang bareng, kenapa gak nungguin aku?" tanya Aura dengan nada kesal yang terdengar begitu lucu.
"Tadi aku nyariin kamu, tapi gak nemu juga. Yaudah aku tinggal, kan aku mikirnya kamu tuh udah pulang sama mama, atau mungkin bareng temen-temen kamu yang lain. Lagian rumah kita ada di belakang sekolah, jadi aku gak ngerasa khawatir banget," sahut Alra sebelum melanjutkan langkahnya dengan pelan.
"Ih! Kakak, aku gak berani pulang."
Kening Alra bertaut, "Kenapa emangnya?"
"Kakak gak di ceritain sama temen-temen Kakak?"
Alra menggeleng sebagai jawabannya.
"Ih! Kak, di ujung sana tadi yang sebelum kita belok buat pulang ini. Ada rumahnya orang gila, itu tuh yang gila anaknya. Katanya suka kumat terus ngamuk, kemarin abis pecahin jendela rumahnya sendiri," jelas Aura dengan gurat wajah seriusnya.
Alra hanya mendengarkan dengan serius sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Dia tidak tahu tentang rumor ini, atau mungkin memang kisah nyata yang sedang ramai di bicarakan.
"Kemarin kan di sini ada acara yang namanya apa ya... bentar deh bentar! Oh iya! Wayang, sama jaranan atau apa sih yang malem deh pokoknya mainnya itu, aku lupa tadi temen aku bilangnya apa," ucap Aura lagi.
"Janger?" sahut Alra mencoba untuk menebak.
"Iya! Wayangnya itu salah, tapi jaranannya bener. Jadi siangnya si jaranan, malemnya janger itu kan. Pas malem itu tuh lagi rame-ramenya tu orang dateng katanya. Abis makan apa gitu kepedesan katanya, terus dia minum kopi panas yang ada di teko. Karena kepanasan dia ngamuk ngebuat orang-orang lari, tapi buat bapak-bapak yang lain malah ngehajar orang gila itu," jelas Aura.
Alra semakin mengerutkan dahinya, takut akan amukan orang gila yang mungkin saja secara tiba-tiba datang ke rumahnya. Mana lagi Dian sedang tidak ada di rumah, dan kakaknya pun masih terlalu kecil untuk melawan.
"Jangan keluar malem-malem, apa lagi sendirian!" ucap Alra sebelum melenggang pergi menuju kamarnya sambil berlari.
Aura berdiri di depan pintu rumahnya, memperhatikan kakak Alra tanpa berkedip. Detik berikutnya, gadis itu berjalan menuju dapur. Mencari-cari di mana Aisyah yang tidak terlihat sampai saat ini.
"Mama, aku pulang!"
***
"Waktu Mama pulang tadi aku punya banyak temen! Aku punya tiga temen Ma, semuanya baik sama aku, tadinya mereka mau main ke sini, tapi tuh gak jadi gara-gara mereka harus pergi les tari," ucap Aura dengan semangat.
Aisyah mengalus rambut panjang gadis itu dengan gemas, dan berkata, "Uwh! Anak mama udah gede sekarang, udah bisa pergi ke sekolah sendiri ya tanpa mama anter lagi."
Gadis kecil itu mengangguk sambil mengunyah ayam goreng yang baru saja dia gigit. Senyum yang lebar membuat wanita paruh baya itu semakin senang hari ini. Anak-anaknya tumbuh dengan cepat, padahal baru kemarin Aura duduk di bangku kelas satu, dan sekarang sudah kelas tiga. Sudah tidak cengeng, dan lebih suka tertawa riang dengan Acha.
Sementara itu, Alra sibuk menghabiskan makanannya tanpa mau ikut berbicara. Makan dengan tenang, dan cepat.
"Kamu gimana Al? Sekolahnya seru atau engga?" tanya Aisyah yang kali ini memperhatikan putri terbesarnya itu.
Gadis itu menghela samar, menegak air mineralnya hingga habis, dan berkata, "Gak asik, aku pengen pindah sekolah. Lagian kenapa Mama sekolahin aku di situ sih? Anak desa semua isinya, kenapa gak di kota aja? Aku gak suka di sini, mereka semua suka pilih-pilih temen."
Kening Aisyah bertaut dalam, "Maksudnya pilih-pilih temen?"
"Di kelas aku tuh ada semacam geng gitu, siswa yang pinter bakalan dapet circle pinter juga, yang biasa aja juga sama yang biasa aja, dan yang bodoh? Sesuai sama kapasitas otak," jelas Alra dengan wajah yang begitu kesal.
"Terus kamu sendiri gimana?"
"Aku? Aku males punya temen yang liat dari segi kecerdasan otak. Mendingan sendirian, gak punya temen, tapi otakku bisa di andelin."
Wanita itu kembali menghembuskan napas kasar, menggeser piring kotornya, sambil berkata, "Jangan kaya gitu Alra! Jadi orang yang anti sosial itu gak bagus, gimana nanti kalau kamu butuh sesuatu?"
"Mama, siapa yang mau punya temen kaya mereka semua? Pemilih. Menjadi orang yang pemilih itu juga ada sisi baik, dan buruk. Aku gak suka sekolah di sana."
"Anak-anak yang tinggal di tempat ini emang suka pilih-pilih Ma. Aku juga ngerasain apa yang Alra rasain, waktu di kota dulu gak ada yang liat aku dari segi fisik, kecerdasan, atau harta Ma. Mereka semua mau berteman sama siapa pun," sahut Yahya.
Aisyah menoleh ke samping kirinya. Dia merasa jika salah karena telah memutuskan untuk pindah rumah. Banyak masalah yang datang, satu per satu masalah muncul tanpa mengerti jika masalah kemarin belum juga selesai.
"Yahya, kamu cuman butuh waktu dua tahun di sana, betahin dulu ya! Terus Alra, kamu juga cuman butuh waktu tiga tahun di sana. Jangan rewel dulu ya, anggep aja itu cuman tempat singgah! Kamu di sana cuman enam jam kurang, lebih banyak ada di rumah, betah-betahin ya!" ucap Aisyah.
Alra hanya mendengus pasrah, sudah dia duga jika jawaban Aisyah akan seperti ini. Lagi pula dia juga tidak bisa pindah sekolah karena kedua orang tuanya sudah tidak memiliki uang yang cukup untuk saat ini.
"Alra, jangan marah-marah terus! Jadi kamu yang dulu kenapa sih? Jadi Alra yang ceria, bukan Alra yang dingin!" ucap Aisyah lagi dengan nada sedikit kesal.
"Iya, Mama iya. Aku gak suka sama sekolahnya, dan aku juga gak suka sama tempat ini. Tapi aku coba buat nyaman, dan berubah sikap menjadi alra yang hangat!"