"Sam!"
Bukan hanya Samira saja yang langsung menoleh ke arah letak pintu rumah berada, tetapi Birru dan Aydan juga. Bahkan mereka bertiga menoleh nyaris secara bersamaan.
"Samira!"
"Kayak suaranya Teh Rissa, Teh?"
Samira menoleh. Pandangannya bertemu dengan mata Birru yang sedang menatapnya juga. "Memang." Samira mengangguk pelan.
"Woi, Sam! Keluar gak lo!"
Samira geleng-geleng kepala. "Teteh ke depan dulu." Samira keluar memutari kursi. "Birru sama Aydan sarapan dulu aja gak apa-apa. Gak usah nungguin Teteh."
Birru dan Aydan kompak menganggukkan kepala mereka masing-masing.
"Habisin, ya." kata Samira sambil mengusap kepala Aydan dengan sayang sebelum beranjak meninggalkan meja makan menuju depan rumah. "Tumben teriak-teriak. Biasa juga main nyelonong masuk." gumam Samira lebih kepada dirinya sendiri.
"Lo beli sepeda baru, Sam?"
"Hah?" Samira mengernyit bingung. Bagaimana tidak bingung kalau begitu membuka pintu langsung ditodong pertanyaan yang tidak masuk akal dari Carissa Xaviera Ranjana. Rissa, satu-satunya sahabat yang Samira miliki. "Sepeda apa?" tanya Samira berjalan keluar dan berdiri di teras. "Masih pagi jangan ngawur deh, lo, Ris."
"Bacot!"
Samira mendengus.
"Yeee. Bocah dikasih tahu ngapa lola banget. Sini."
"Apa, sih, lo?!" protes Samira kesal karena Rissa menarik tangannya.
"Sepeda itu, tuh!"
Pupil Samira langsung melebar begitu Rissa mengarahkan kepalanya dengan sedikit kasar menghadap depan. Samira melihat sepeda berwarna putih dengan mood klasik khas Eropa yang luar biasa cantik dengan keranjang berbahan rotan di bagian depan. Memiliki ukuran ban, kalau tidak salah sekitar 26 inch.
WOW! Samira kehabisan kata. Samira mengerjap-ngerjap matanya tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Perlahan menurunkan pandangannya ke arah merk yang tercetak pada body sepeda. Lagi-lagi, wow! Merk itu adalah salah satu merk lokal yang sudah tidak asing lagi. Merk terkenal bukan hanya di Indonesia saja, tapi juga di dunia. Dan yang sudah pasti, harga-harga sepeda dengan merk itu tidak akan terjangkau oleh kantong tipisnya.
"Bukan sepeda gue, Ris." Samira menoleh pada Rissa dan menggelengkan kepalanya pelan.
"Tapi--"
"Permisi."
Samira dan Rissa langsung menoleh nyaris secara bersamaan ketika suara berat yang dapat dipastikan milik seorang laki-laki itu muncul memotong ucapan Rissa. Kalau dalam situasi normal, Rissa pasti akan marah.
"Permisi, Mbak."
"Ya?" Samira tersadar dari keterpakuannya pada sosok laki-laki dengan setelan rapi di depannya itu. "Ada yang bisa saya bantu, Mas? Mas-nya lagi cari alamat, ya?" tanya Samira beruntun dengan mata melirik ke arah Rissa yang bergeser berdiri persis di sampingnya.
"Betul Mbak. Saya sedang mencari alamat rumahnya Mbak Samira. Apa benar ini rumahnya Mbak Samira? Emm … Lengkapnya Mbak Samira Lexa Gantari?"
"Oh, Samira?" Samira manggut-manggut. Menoleh ketika bahunya disenggol.
"Nama lo, anjir." bisik Rissa di telinga Samira.
Bodo amat, Ris, Ris. Samira berpaling, tak menghiraukan Rissa. "Coba dicek lagi alamatnya, Mas. Kalau di kampung ini yang namanya Samira memang cuma ada 1. Kebetulan itu saya sendiri, Mas. He-he." Samira tersenyum canggung sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali.
"Sam. Sam. Sam."
"Apa, sih? Jangan tarik-tarik kaos gue." jawab Samira dengan suara pelan setengah berbisik menepis tangan Rissa dari kaosnya. Matanya melirik ke arah laki-laki berusia sekitar … tiga puluh tahunan awal yang sedang memperhatikan layar ponsel.
"Aje gile bener, Sam. Harga sepedanya gak sopan buat lo. Mahal banget anjir."
Mendapati ekspresi tak biasa Rissa, Samira jadi penasaran. Melongok layar ponsel keluaran terbaru milik Rissa, Samira membaca sebuah laman di mesin pencarian internet mengenai sepeda itu. Mulai dari jenis sampai pada harga.
"4 juta. Kurang dikit, Sam."
Hah? Berapa, berapa? Samira mengerjap beberapa kali untuk memperjelas penglihatannya. Em-empat ju-juta? Samira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Harus banting apa lagi, selain tulang kalau dia ingin memiliki sepeda semahal itu? Samira menurunkan kedua tangannya menoleh ke arah Rissa yang sedang menatapnya juga. Samira menelan salivanya susah payah melihat Rissa mengangguk pelan. WOW!
"Saya--"
"Ya?!" seru Samira memotong dengan sisa-sisa cengo di wajahnya membuat bukan Rissa saja yang terkekeh, tapi laki-laki dengan setelan hitam-hitam itu juga.
"Malu-maluin gue aja lo, Sam."
Samira meringis malu. Eh, wait. Hitam-hitam? Samira sepertinya pernah bertemu dengan laki-laki berpakaian serba hitam sebelum ini.
"Maaf, ya, Mas. Temen saya emang suka lawak."
Samira mendengus, menatap malas pada Rissa.
"Gak apa-apa, Mbak."
"Jangan panggil Mbak, dong, Mas. Saya masih gadis, loh."
Sementara laki-laki itu tersenyum kecil, Samira merotasikan kedua bola matanya. Samira malas melihat Rissa yang sedang memainkan alis naik turun mencoba menggoda laki-laki itu.
"Psst!" Samira menempelkan telunjuk di bibirnya.
"Oh, iya. Ini. Maaf, Mbak."
Samira menoleh. Pandangannya turun pada ponsel di depannya. Sadar telapak tangannya sedang berkeringat, Samira menggeleng pelan. Sampai ponsel milik laki-laki itu tergelincir. Wassalam. Uang tabungannya pasti ludes. Dan bisa jadi masih kurang.
"Maaf, Mas. Better kalau Mas-nya aja yang pegang. Takut jatuh." Samira meringis tidak enak menunjukkan kedua telapak tangannya pada laki-laki yang alhamdulillah bisa mengerti.
"Oh. Oke. Benar alamat Mbak 'kan? Mbak ini, benar Mbak Samira yang sedang saya cari?"
Samira mendekat. Membaca sebuah chat pada aplikasi yang identik dengan warna hijau itu dalam hati. Samira menoleh pada Rissa yang merapat padanya ikut-ikutan membaca juga. Berdehem pelan, Samira kembali menatap pada laki-laki itu.
"Benar itu alamat rumah saya. Dan benar, saya Samira. Tapi, begini, Mas. Saya tidak merasa pernah pesan sepeda."
Samira mengernyit heran melihat laki-laki itu tersenyum kecil. Menyenggol pelan sebelah bahu Rissa, Samira bertanya dengan cara berbisik. "Dari abang lo, ya, Ris?" Samira menatap Rissa dengan sorot seolah bertanya apa ketika Rissa menatapnya malas.
"Secinta-cintanya. Sebucin-bucinnya abang gue. Kalau beliin lo sepeda yang mahalnya gak manusiawi gitu itu." Rissa geleng-geleng kepala. "Mustahil banget, anjir. Lo tahu sendiri lah abang gue itu adalah makhluk terpelit di muka bumi ini."
Samira menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
"Sepeda itu dari bos saya langsung, Mbak Sam."
Baik Samira maupun Rissa langsung menoleh ketika suara laki-laki itu tiba-tiba muncul di tengah-tengah pembicaraan mereka.
"Ada kartu ucapannya. Mbak Sam bisa baca sendiri nanti. Tolong jangan ditolak, Mbak. Saya bisa kena marah."
Samira tak langsung menjawab. Diam sejenak menimbang jawabannya. Tidak tega melihat mata laki-laki itu bergetar ketakutan. Samira menghela nafas pelan. "Gimana, Ris?" Samira menoleh pada Rissa.
"Terima, deh. Kasian."
"Takut, ah, gue."
"Pamali nolak rezeki. Siapa tahu bos Mas-nya lagi ada program bagi-bagi sepeda kayak Pak Jokowi."
Bagi-bagi sepeda semahal itu? Secara acak pula? Samira ragu.
"Jangan banyak mikir. Tua lo cepet ntar. Gue yang tanggung jawab kalau ada apa-apa. Sana terima." Rissa mendorong punggung Samira.
"Yaudah. Saya terima Mas."
"Terima kasih banyak, Mbak. Saya boleh ambil fotonya Mbak Sam?"
"Hah?"
"Buat laporan ke bos saya, Mbak."
"Boleh, Mas." Bukan. Itu bukan Samira yang menjawab, tapi Rissa.
Samira terkesiap ketika tubuhnya diputar hingga menghadap pada sahabatnya itu. "Apaan, sih, Ris?" Samira kesal sendiri dengan tingkah Rissa yang melepaskan cepolan rambutnya, lalu menyisir surainya dengan jari. Dan terakhir merapikan kaos oblong kebesarannya.
"Bisa lebih dekat sepeda, Mbak?"
"Sono, sono. Gerakannya, Sam?!"
"Yang slay, dong, Ris." ucap Samira pada Rissa yang kelewat semangat mendorong-dorong punggungnya.
Samira melangkah canggung di bawah tatapan laki-laki yang sedang membidiknya dengan kamera ponsel itu. Perlahan mengulurkan tangannya menyentuh saddle. Samira mengusap dudukan sepeda itu dengan hati-hati.
Munafik, kalau Samira bilang tidak menginginkan sepeda itu. Bukan sebab mahalnya, tapi lebih karena ada kendaraan 'benar' yang bisa mempermudah berangkat dan pulang kerja. Sepeda lamanya sudah tidak layak. Rantainya suka lepas-lepas sendiri. Remnya rusak satu.
"Lihat ke kamera, Mbak."
Samira mengangkat wajahnya. Berdehem pelan menutupi salah tingkahnya sendiri. Samira ragu-ragu mengembangkan senyumnya. Tipis, tapi manis.
"Pantes, si bos ngebet. Cantik begitu."
"Kenapa, Mas?"
"Hah? O-o-oh, gak. Gak apa-apa, Mbak. Saya permisi. Mari."
Samira mengangkat kedua alisnya naik. Heran melihat tingkah aneh laki-laki yang tiba-tiba saja bertingkah seperti pasangan selingkuh yang tertangkap basah itu. Pandangan Samira tidak sengaja menangkap keberadaan kartu ucapan di dalam keranjang.
"Dari siapa, Sam?"
"K titik B titik H." eja Samira. Hanya ada tiga huruf kapital berukuran besar yang ditulis di tengah-tengah kartu ucapan. K.B.H?
"KBH? Siapa, tuh?"
Samira mengedikkan bahunya tidak tahu. "Masuk, yuk. Sarapan."
"Skuy. Laper gue."
Samira dan Rissa beriringan masuk rumah. Sepeda pemberian K.B.H itu dibawa masuk juga.
"Siapa yang masak?"
"Gue lah, Ris."
"Masak apaan lo?"
"Nasi goreng sosis."
"Yash!"
Elang buru-buru merogoh saku jeans-nya. Mengeluarkan ponselnya yang bergetar panjang tanda jika ada panggilan masuk. Sontak. Elang langsung duduk dengan tegak ketika melihat caller id yang muncul di layar. Senyum Elang mengembang. Dengan semangat mengangkat panggilan telepon yang sudah ditunggu-tunggu.
Tbc.