Chereads / HIDE & SEEK / Chapter 6 - H & S | C h a p t e r - 0 6

Chapter 6 - H & S | C h a p t e r - 0 6

"Uang warung hari ini, Teh."

Samira mengalihkan pandangan pada Birru yang sedang menyorongkan uang ke depannya. "Totalnya ada berapa, Ru?" tanya Samira sambil meletakkan gelas minumnya di atas lantai.

"500 ribu kurang sedikit, Teh. Soalnya tadi Tante Lastri ada ngebon beras 2 liter sama gula setengah kilo."

Samira mengangguk. "Untuk Birru ambil formulir pendaftaran. Kalau kurang, nanti Teteh tambahin." Samira menyorongkan uang itu kembali pada Birru. "Kemarin di sekolah Birru ada sosialisasi dari kampus-kampus 'kan?" 

"Teteh tahu dari siapa?"

"Wali kelas Birru. Wali kelas Birru bilang kalau Birru gak mau kuliah. Bener gitu, Birru?"

"Bener, Teh. Maaf." Birru mengangguk tanpa berani menatap Samira.

"Kenapa gitu?"

"Birru gak mau ngerepotin Teteh."

Samira tersenyum sedih mengusap wajah Birru dengan lembut. "Birru gak boleh kepikiran berhenti sekolah." Samira menggeleng tegas. "Adik-adiknya Teteh. HARUS sekolah tinggi." putus Samira tidak bisa diganggu gugat.

"Maafin Birru, Teh."

"Gak apa-apa." Samira tersenyum sambil menggeleng pelan. "Birru gak ada salah." Samira meraih, lalu merangkum tangan kanan Birru dengan kedua tangannya erat-erat. "Teteh gak itu--" 

"Teteh, Teteh."

Samira menoleh. Sedikit menunduk, menatap Aydan yang tidak sedang menatapnya juga. Adik kecilnya itu sedang mengunyah potongan martabak yang ketiga.

"Martabaknya enak, Teh."

"Pelan-pelan." Samira menarik satu lembar tisu, lalu membersihkan sudut bibir Aydan dari sisa coklat membuat Aydan otomatis berhenti mengunyah. "Kalau Aydan sanggup, habisin semuanya." 

"Aydan sanggup. Aydan 'kan kuat."

Samira mengangguk sambil mengusap kepala Aydan sayang. Melihat Aydan sudah kembali makan martabak, Samira berpaling pada Birru. "Teteh itu gak ngerasa direpotin. Teteh juga gak mau adik-adiknya Teteh putus sekolah dan gak punya mimpi.

"Walaupun berpendidikan tinggi gak serta merta bikin Birru langsung jadi kaya raya, tapi paling gak, Birru jadi punya wawasan luas. Dunia itu semakin maju, Birru. Bukan semakin mundur.

"Birru yang harus mengejar kemajuan, beradaptasi dengan perkembangan zaman. Gimana Birru bisa bertahan hidup di dunia yang katanya kejam kalau Birru gak punya modal sama sekali?" Samira menepuk pelan punggung tangan Birru sebanyak dua kali.

"Maaf, Teh. Birru gak mau nyusahin Teteh terus menerus. Teteh kerja ini itu sendiri. Teteh larang Birru kerja. Biaya kuliah mahal, Teh."

Samira mengangguk setuju. "Birru anak baik. Gak pernah nyusahin Teteh. Dan Birru bener soal biaya kuliah mahal banget. Tapi, kita gak kesusahan. Alhamdulillah kita punya rumah, bisa makan 3 kali sehari.

"Daftar di kampus manapun yang Birru mau. Birru itu pinter. Sayang aja kalau kepintaran Birru disia-siain. Kampus banyak tawaran beasiswa. Birru bisa ambil salah satunya nanti." 

Samira melepaskan genggamannya pada tangan Birru ketika Aydan menyusupkan kepala di atas pangkuannya. Ah … tanda-tanda sudah mengantuk.

"Ngantuk?" Samira tersenyum melihat Aydan mengangguk dengan kedua mata yang sudah terpejam. "Yaudah, bobok." Samira menepuk-nepuk punggung Aydan yang tidur dengan wajah dibenamkan pada perutnya.

"Birru coba daftar online Teh."

Samira mengangguk. Tangannya bergerak mengusap surai Aydan yang sudah mendengkur kecil. "Birru boleh pakai laptop Teteh."

"Terima kasih, Teh."

"Iya. Sama-sama, Farras Hazim Albirru ..." Samira tersenyum lembut membuat Birru yang berkaca-kaca menahan tangis itu ikut terkekeh pelan juga. "Ayo, Birru makan martabaknya. Aydah udah habis setengah." kata Samira menahan tawa gelinya.

"Iya, Teh." Birru mengangguk.

"Kalau ada apa-apa, atau perlu apa-apa cerita sama Teteh." Samira mengangkat wajahnya dari Aydan pada Birru. "Teteh setiap hari kerja buat siapa kalau bukan buat Birru sama Aydan? Birru sama Aydan itu, masih jadi tanggung jawab Teteh setelah papa mama gak ada. Kalau terjadi apa-apa sama Birru atau Aydan, gimana Teteh jelasin ke papa mama nanti?"

"Teteh, ngomongnya gitu?"

Samira tersenyum kecil. "Kalau udah selesai makannya. Tidur, gih. Biar Teteh yang beresin. Birru angkat Aydan ke kamar aja."

"Udah, Teh."

Samira memperhatikan punggung Birru yang sedang menggendong Aydan ala bridal style hingga hilang di balik pintu kamar yang ditempati kedua adiknya itu. Di rumahnya memang hanya ada 2 kamar saja. Membuat Birru dan Aydan terpaksa harus tidur satu kamar.

Menghela nafas pelan, Samira berdiri sambil membawa martabak sisa martabak dan gelas kotor ke dapur. Mencuci gelas lebih dulu sebelum mengambil laptop di kamarnya. Samira berniat meneruskan menyusun skripsinya di meja makan.

"Pada nginep di basecamp, dah lo pada. Latihan lah barang sejam dua jam. Gue gak mau ada terlambat lagi. Jadwal promosi kita di stasiun TV sama radio dimulai besok." 

"Jangan sampai predikat trending 1 yang kita terima sekarang ini, hilang, diganti sama gosip ketidakprofesionalan anggota Band Anemone. Paham?"

Elang merotasikan kedua bola matanya. Malas dengan sindiran yang tersirat dalam ucapan Jason. Elang tidak melakukan pembelaan. Dia salah karena terlambat. Dia juga tidak akan terbawa perasaan dengan ucapan Jason. Karena Jason lah yang secara tidak langsung sudah membuka jalan. Jalan untuknya bertemu dengan Samira.

Untuk basecamp, letaknya terpisah dengan kantor agency yang menaungi Band Anemone. Disana menyediakan fasilitas berupa beberapa kamar untuk istirahat masing-masing dari anggota band dan crew. Bisa dikatakan dorm.

"Lokasi udah  aman semua, Bil? Acara besok live 'kan?"

Elang menoleh ke arah Bilfaqih Rey Alteza. Bilfa, Road Manager Band Anemone yang berdiri sedikit di belakang Jason itu sedang mengangguk pada Jason sambil mengacungkan kedua jempol.

"Aman, Bang. Iya, live. Gue udah minta waktu GR sekitar sepuluh menitan, sih. Tapi, belum ada keputusan dari pihak stasiun TV-nya. Jaga-jaga. Besok berangkatnya agak pagian aja."

"Good. Kendaraan gimana? Besok ada yang kosong 'kan?"

"Ada, Bang. Aman. Kunci udah gue pegang. Antisipasi karena kita syuting pagi-pagi."

"Good. Soal Kendaraan. Gue lagi minta kendaraan khusus sama bos. Jadi next kita gak perlu ketar ketir gak ada kendaraan lagi."

Melorotkan punggung, Elang menjatuhkan kepalanya pada bagian atas sandaran sofa. Elang menatap langit-langit putih. Ingatannya melayang pada pertemuan kembali dengan Samira. Elang mengerjap. Pandangan Elang turun pada jaket kulitnya yang tersampir di lengan sofa. Elang merogoh setiap saku jaketnya. Senyumnya langsung mengembang dengan sempurna ketika berhasil menemukan benda yang sedang dicarinya.

"Kayaknya, cukup itu aja dulu dari gue. Besok sebelum berangkat ke lokasi, kita ada briefing lagi kayak biasanya."

Elang menoleh ketika sebuah pukulan yang lumayan keras mendarat di sebelah bahunya. Urung mengeluarkan benda kecil itu dari dalam saku jaketnya. Elang menatap Jason dengan kedua alisnya diangkat naik untuk mewakili pertanyaan apa.

"Gue balik dulu. Bilfa bakal stay disini."

Elang duduk tegak. Tak lupa mengangguk juga. "Sorry yang tadi. Ada hal penting, yang gak bisa gue tinggal." Elang diam saja menerima tepukan keras di bahunya sebanyak dua kali dari Jason.

"Jangan lagi-lagi, El. Ini pertama dan terakhir kalinya lo gak disiplin. Lo paling tua disini."

Elang mengangguk melakukan fist bump dengan Jason seperti yang sudah-sudah. Langsung mengeluarkan satu lollipop pemberian Samira dari dalam saku jaketnya. Strawberry. Samira suka strawberry. Elang membuka plastik warna pink, bungkus lollipop dengan senyum yang tak luntur. Hingga tak sadar ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya.

"Lollipop, heh?"

Elang membeku untuk sepersekian detik. Perlahan menggeser lollipop ke bagian dalam pipi kanannya. Berpaling pada Gavin Nikola Serafino. Gavin, gitaris Band Anemone yang duduk di depannya itu sedang bersedekap menatapnya dengan sebelah alis yang diangkat naik.

"Ngingetin gue sama seseorang."

Elang mengernyit heran. Mengeluarkan lollipop dari dalam mulutnya hingga berbunyi plup. Menurunkan kaki kanan yang ditumpangkan di atas lutut kaki kirinya sambil membetulkan posisi duduknya. Elang menatap aneh pada Gavin yang tiba-tiba saja jadi menerawang jauh dengan senyum sendu terpatri di wajah anggota band tertua kedua setelah dirinya itu.

Elang menoleh ketika merasakan ada seseorang yang sedang mengendus-endus di samping kanannya. Mendengus keras. "Dog! Lo ngapain dah, Bar?" Elang meraup wajah Bara Cavero Danendra. Bara, drummer Band Anemone, lalu mendorong menjauh dari dirinya.

"Lo ada bau-bau perempuan, Bang."

Elang berdecak malas. Tak menghiraukan Bara yang sedang membetulkan tatanan rambut. Menoleh, Elang meraih jaket kulitnya dengan satu tangannya yang bebas sambil berdiri dari duduknya.

"Muke lu bau perempuan?!" Elang melemparkan riding gloves yang sebelumnya disimpan di saku jeans-nya sebelah kanan belakang tepat di wajah Bara yang reflek mengaduh.

"Aduh! Woilah. Muka ganteng gue ini. Bangke lo, Bang!"

Elang tertawa puas mengedikkan bahunya tak acuh. 

"Mampus lu!"

"Diem lu Bang Kana, tapi bukan salep kaki pecah-pecah."

"Bacot, Bar!"

Elang menoyor kepala Arsenio Kana Hagia. Arkana, bassist Band Anemone yang baru saja terlibat perdebatan dengan Bara lebih dulu sebelum melenggang pergi tanpa rasa bersalah menuju studio yang ada di basecamp sambil memasukkan lollipop ke dalam mulutnya lagi.

"Come to papa, doggy."

"Bacot!"

"Bacot!"

"Bacot!"

Elang tergelak keras mendengar balasan dari Gavin, Arkana dan Bara yang terdengar nyaris bersamaan. Menyampirkan jaket kulit di bahu kanannya, Elang berjalan dengan diikuti oleh ketiga anggota Band Anemone yang lain.  

Tbc.