"Eh. Teteh?"
Samira tersenyum. "Kok, warungnya baru ditutup, Ru? Ramai?" tanya Samira lembut pada Farras Hazim Albirru. Birru, adik laki-lakinya yang pertama sambil mengeluarkan kantong martabak dari dalam keranjang sepeda.
Supaya mendapatkan penghasilan tambahan Samira membuka warung kelontong kecil di sisa halaman depan rumahnya. Mulai buka selepas Birru sekolah. Atau saat Samira sedang tidak kuliah dan kerja part time. Birru mejaga warung sambil mengawasi Aydan Atthallah Gafi. Aydan, adik kecil mereka bermain bersama anak-anak tetangga yang lain.
"Sengaja nungguin Teteh pulang. Alhamdulillah ramai, Teh. Tadi temen-temen Birru pada nongkrong disini."
Senyum Samira kembali mengembang ketika Birru menyalami, lalu mencium punggung tangannya. Menghormati yang lebih tua, kebiasaan yang diajarkan oleh orang tuanya. Dulu. Ketika keduanya masih ada.
"Tadi di jalan aman 'kan, Teh?"
"Alhamdulillah, aman." Samira mengusap kening Birru dengan tangan kirinya yang bebas. "Teteh 'kan punya semprotan cabe level syaitan dari Birru." kekeh Samira sambil menepuk dua kali tas punggungnya yang dipakai di depan. Samira mengerti kekhawatiran yang Birru rasakan mengingat dia perempuan.
"Syukurlah, Teh."
Samira tersenyum. "Iya. Aydan dimana, Ru?" Samira melongok ke dalam rumah lewat pintu yang terbuka lebar. "Udah bobok, ya, dia?" Samira menoleh ke arah Birru yang baru selesai menggembok pintu warung.
"Tadi bilangnya mau nonton DVD. Besok hari minggu, gak mungkin Aydan tidur cepet, Teh. Pasti nungguin Teteh pulang. Teteh masuk dulu aja. Nanti Birru yang masukin sepedanya Teteh."
Samira mengangguk memperhatikan Birru yang berjalan mengitari warung. "Yaudah. Teteh ada beli martabak. Nanti kita makan sama-sama. Ada yang mau Teteh omongin sama Birru juga."
"Iya, Teh." Birru mengangguk.
Samira tersenyum menatap Birru dengan sendu. Merasa bersalah karena sudah merampas masa remaja Birru. Adiknya itu baru saja berusia 17 tahun. Seharusnya yang Birru lakukan bersantai ria bermain game, atau hangout. Tapi, lihat sekarang. Birru justru terjebak dalam warung kelontong kecil yang sempit. Menghadapi emak-emak yang kerap berhutang. Dan ditambah mengasuh Aydan.
"Kaleng uangnya jangan lupa dibawa masuk, Ru."
"He … Iya, Teteh." Birru mengangguk sambil meringis mengingat kecerobohannya tempo hari yang lupa membawa masuk kaleng berisi uang penghasilan warung. Nyaris saja dijarah geng motor.
"Besok potong rambut." Samira mengacak pelan rambut Birru yang sudah panjang sebelum masuk ke dalam rumah.
Rumah tipe 45 yang menjadi harta peninggalan yang tersisa dari semua harta yang kedua orang tuanya miliki. Meski begitu, Samira tetap bersyukur karena masih memiliki tempat untuk kedua adiknya berlindung dari panas dan hujan.
Samira melepas sepatunya dan meletakkan di rak yang ada di dekat pintu. Begitu kakinya menginjak ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu, Samira terkekeh pelan melihat Aydan sedang tiduran memeluk bantal guling di atas karpet menonton kaset CD kumpulan kartun yang beberapa hari lalu dibeli di pasar.
"Assalamualaikum Aydan."
"Teteh Sam!"
Samira tertawa melihat Aydan berguling hingga tengkurap. "Ugh?!" lenguh Samira ketika Aydan menghambur memeluk kedua kakinya. Samira memegang punggung Aydan dengan satu tangannya yang bebas untuk menahan tubuhnya yang sedikit terdorong ke belakang.
"Salim sama Teteh dulu, atuh." Samira mengusap-usap punggung Aydan naik turun.
"Oh, iya. Aydan lupa, Teh. He …"
Samira terkekeh pelan melihat Aydan menepuk kening sendiri. Langsung menerima uluran tangan Aydan. Samira mengusap pelan kepala adiknya yang baru berusia enam tahun itu dengan sayang. "Ayo tebak, Teteh bawa apa?"
"Apa, ya?" Aydan menepuk-nepuk dagunya dengan telunjuk tangan kanan.
Samira terkekeh pelan melihat Aydan tampak berpikir keras. "Kesukaan Aydan." Samira menurunkan kantong martabak sampai di depan Aydan.
"Martabak!!"
"Dingdongdaeng …. Martabak rasa coklat kismis. Maaf, ya. Teteh baru beliin sekarang. Teteh sibuk kemarin-kemarin." Samira melepaskan pegangannya pada kantong martabak ketika Aydan langsung memeluk jajanan favorit adiknya itu.
"Gak apa-apa, Teteh. Teteh 'kan cari uang buat Aydan sama A' Birru."
"Pinter banget, sih." Samira mengacak pelan rambut Aydan. Menggemaskan sekali.
"Nuhun, Teteh."
Samira mengusap kepala Aydan. "Sama-sama, Aydan. Tapi, makannya nanti, ya. Nungguin Aa' Birru selesai tutup warung. Teteh juga mau mandi. Bau acem." Samira mengerutkan hidung sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya di depan hidung ketika mengucapkan bau acem.
"Teteh bau wangi." puji Aydan tanda ragu disertai cengiran lebar.
Samira tersenyum. "Yaudah. Aydan lanjutin lagi nonton kartunnya. Teteh ke kamar dulu." Samira mengacak pelan rambut pendek Aydan sebelum berlalu menuju kamarnya.
Dalam kamarnya, Samira menghela nafas lelah. Duduk bersila di tepi kasur tanpa dipan yang hanya cukup untuk satu saja. Hanya di dalam kamar berukuran kecil itulah Samira bisa melepaskan lelahnya. Samira melepas tas punggungnya dan diletakkan di atas karpet.
Samira beranjak membuka lemari kayu miliknya. Mengeluarkan satu amplop warna coklat dari bawah tumpukan bajunya. Samira tersenyum tipis mengusap pelan sepanjang tulisan tangannya sendiri. MOTOR BIRRU KU. Samira kembali menutup pintu lemari dan duduk bersila di tepi kasur lagi.
Samira memindahkan tas punggungnya ke depan kaki. Membuka resleting kantong kecil di bagian depan. Samira mengeluarkan satu, dua … lima lembar uang seratus ribuan. Honor MC-nya dari dalam sana dan memasukkan ke dalam amplop.
"Alhamdulillah. Hatur nuhun Gusti Nu Agung." gumam Samira memeluk erat-erat amplop berisi uang tabungannya dengan perasaan bahagia tak terkira dan mata yang berkaca-kaca. Akhirnya … terkumpul juga. Samira mencium amplop coklat itu dengan dramatis.
Setelah menyimpan amplop di dalam lemari lagi, Samira bergegas keluar dari kamarnya ke kamar mandi. Tak ingin membuat Birru dan Aydan menunggu lama. Hanya butuh waktu 15 menit untuk Samira menyelesaikan ritual mandinya.
Samira celingukan mencari keberadaan Birru yang tidak terlihat di ruang tengah. "Aydan sendiri?" tanya Samira sambil mengambil duduk di samping Aydan yang juga sedang duduk bersila dengan masing-masing siku tangan bertumpu pada lutut menopang pipi.
Aydan mengangguk.
"Aa' Birru-nya dimana?"
"Di dapur, Teh. Aa' lagi bikin teh hangat buat Teteh sama bikinin kental manis buat Aydan."
Samira mengangkat kedua alisnya naik melihat Aydan sedari tadi menjawab tanpa melihat padanya. Tatapan adiknya itu hanya tertuju pada kotak martabak yang entah sejak kapan sudah terbuka lebar-lebar. Astaga … Samira terkekeh pelan dan tak ketinggalan kepalanya geleng-geleng juga.
"Sambil nunggu Aa', gimana kalau Aydan berdoa dulu? Nanti waktu Aa' Birru dateng, Aydan jadi bisa langsung makan martabaknya."
Samira kembali dibuat gemas oleh tingkah lucu Aydan. Ekspresi adik kecilnya yang sama sekali belum pernah merasakan kasih sayang dari kedua orang tua mereka itu langsung berubah menjadi cerah dengan kepala mengangguk-angguk cepat penuh semangat 45 dan kedua tangan menengadah ke atas. Bibir Aydan komat kamit membaca doa sebelum makan.
Mendengar suara derap langkah kaki mendekat, Samira mendongak. Senyum lembutnya terbit ketika melihat Birru muncul di ruang tengah dengan segelas teh hangat di tangan sebelah kanan. Sementara gelas kental manis untuk Aydan di tangan sebelah kiri.
"Minum dulu, Teh. Mumpung masih hangat."
"Nuhun, Birru."
"Sama-sama, Teh. Minum dulu atuh, Dan. Seperempat gelas aja. Baru makan martabaknya. Aydan keseretan nanti."
Samira tersenyum di balik gelasnya melihat Aydan langsung cemberut kembali meletakkan martabak yang sudah dipegang ke dalam kotak kardus bungkus martabak lagi.
"Aa'?"
"Hmm,"
"Seperempat gelas itu seberapa, A'? Aydan gak tahu." Aydan menggeleng dengan ekspresi polos di wajahnya.
"Seperempat itu, tinggi gelasnya dibagi empat. kira-kira-- nah, segini."
Mengangkat sebelah alisnya naik, Samira menurunkan gelas hingga sebatas pangkuannya. Tersenyum memperhatikan interaksi kedua adiknya. Birru sedang meletakkan telunjuk di permukaan gelas, diikuti Aydan yang juga meletakkan telunjuk di permukaan gelas tepat di samping telunjuk Birru.
"Segini, A'?"
"Iya. Yaudah diminum dulu."
"Iya, Aa'. Masih panas. Lidah Aydan nanti melepuh."
"Ceriwis banget."
"Teteh?"
Samira tersenyum kecil mendengar rengekan bernada aduan Aydan. Tangan kirinya terulur mengusap kelapa adik laki-laki keduanya itu.
"Udah, Aydan minum dulu. Ditiup pelan-pelan."
Senyum Samira untuk kesekian kalinya kembali terbit melihat Aydan menuruti ucapannya. Tangan kirinya bergerak kembali mengusap kepala Aydan kali ini karena melihat adiknya itu sekali meneguk kental manis, sekali menengok telunjuk. Aydan melakukan itu sampai beberapa kali. Baru berhenti ketika isi gelas benar-benar sampai sebatas telunjuk adiknya itu.
"Aa' udah? Aydan udah boleh makan martabak 'kan sekarang?"
"Iya, boleh. Sok. Makan, makan, makan. Biar nanti tambah gembul kamu itu."
"Teteh?"
Samira terkekeh geli mendengar rengekan bernada aduan Aydan. Lagi. "Bercanda itu si Aa', Udah, Aydan dilanjutin makannya. Nanti dingin martabaknya, jadi gak enak lagi."
"Aa' gak boleh minta. Semua martabak punya Aydan."
"Gak ada masalah. Tapi, jangan nangis kalau nanti perut Aydan besar, makin besar, makin besar lagi. Terus meledak. Seperti petasan."
Samira tergelak melihat Aydan membuang muka dari Birru, tapi mulut adiknya yang paling kecil itu tidak berhenti mengunyah dengan wajah cemberut. Samira merangkul bahu Aydan bersandar manja padanya, lalu menarik adiknya itu semakin merapat. Aydan kalau Aydan itu kalau kekenyangan, pasti mengantuk. Tanpa aba-aba langsung tidur. Tak jarang masih ada sisa makanan dalam mulut adiknya itu yang jd PR untuk Samira.
Tbc.