"Mbak Yunda?"
"Hai. Selesai?"
Samira mengangguk.
Yunda bangkit dari duduknya dan membiarkan Samira duduk di tempatnya. Gadis itu yang akan bertugas menjadi kasir, menggantikannya. "Mbak balik duluan, gak apa-apa ya, Sam?"
"Ya, gak apa-apa banget lah, Mbak."
Yunda tertawa kecil. "Catetan modal awal, sama pemasukan sampai shift Mbak, ada di laci."
Samira membuka … ketimbang laci, lebih tepat disebut brankas di kolong meja kasir. Sudah melihat keberadaan buku catatan yang Yunda maksud, Samira mengalihkan pandangannya pada ibu satu anak itu.
"Oke. Nanti aku cek lagi sekalian pas tutup buku."
"Sip." Yunda mengangguk. "Mbak balik, ya, Sam."
"Iya, Mbak. Titidije." Samira tersenyum melambaikan satu tangannya.
Yunda menepuk pelan keningnya sendiri ketika ingat ingin berpesan sesuatu pada Samira. "Eh, Sam?" Yunda berbalik, kembali menghadap Samira.
"Kenapa, Mbak?" tanya Samira perlahan menurunkan tangannya.
"Uang biji kopi buat besok, jangan lupa kasihin Dimas."
"Oh, iya. Lupa juga aku, Mbak. He-he ..." Samira nyengir lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Double, ya, Sam."
"Oke, Mbak." Samira mengacungkan jempolnya.
Samira tersenyum melihat Yunda berjalan semakin menjauh. Menghela nafas pelan, Samira mengumpulkan kesiapan untuk menjalankan kerja part time-nya. "Semangat, Sam?!" Samira menyemangati dirinya sendiri dalam hati.
Lonceng yang dipasang di atas pintu masuk cafe bergemerincing, Samira langsung bangkit dari duduknya. Tak lupa memasang senyum ramah dengan mata berbinar siap menyambut kedatangan pengunjung yang baru masuk ke dalam cafe.
"Selamat sore. Selamat datang di cafe CANNA …" sapa Samira ceria dengan senyum paling manis yang dimiliki. Namun, senyum Samira seketika sirna tatkala laki-laki yang sekarang berdiri di depannya itu bergumam lirih. Tidak jelas.
"Samira?"
"Ya?" Samira sedikit mencondongkan badannya ke depan. "Maaf. Kakak bilang apa?"
"..."
Samira mengernyit melihat laki-laki di depannya itu hanya bergeming menatapnya.
Tit-tit-tit-tit-tit …
Samira tersentak kaget. Pandangannya langsung tertuju pada jam pintar yang melingkar di pergelangan tangan laki-laki itu. "Kak, kenapa, Kak?" Samira khawatir pada laki-laki yang bergerak panik sampai kesulitan mematikan jam pintar yang terus berbunyi itu. "Kak? Ya ampun."
Tit-tit-tit-tit-tit …
"Kak? Hey, Kak?! Tenang. Jamnya gak akan mati kalau Kakak pan--" Samira melongo ketika laki-laki itu membanting jam pintar ke lantai hingga bunyi yang menarik perhatian seluruh penghuni cafe itu berhenti. Jelas saja berhenti, hancur begitu. "-- nik."
"Sial."
Samira menelan salivanya. Perlahan mengarahkan pandangan pada wajah pias laki-laki itu. "Kakak gak apa-apa?" tanya Samira ragu-ragu.
"Apa?"
"Itu, jantung Kakak, oke? Mau duduk dulu? Atau Kakak butuh dokter? Atau mau ke rumah sakit aja? Tadi jam Kakak warnanya merah."
"Nope."
Samira menatap tidak percaya.
"I'm good. All's good."
"Jam Kakak?"
"Bisa beli lagi."
"Oh. Oke." Samira mengangguk. Bola mata Samira bergerak mengikuti gerak gerik laki-laki yang sedang membungkuk memungut jam pintar itu.
"Ekhem?! Udah bisa pesen?"
Samira mengerjap cepat. "Oh. Bisa. Bisa, bisa, Kak. Mau take away? Atau--"
"Dine in."
"Oh. Oke. Tunggu sebentar, ya, Kak." Samira celingukan. Melihat teman kerjanya yang lain sibuk wara wiri melayani pengunjung cafe, mau tidak mau Samira harus ikut turun tangan juga.
Samira menoleh. Pandangannya langsung bertemu dengan mata laki-laki yang tak pernah lepas menatapnya itu. "Ekhem. Mari, saya antar ke meja yang masih kosong, Kak."
"Hmm,"
Bergerak canggung di bawah tatapan intens laki-laki itu, Samira bergegas mengambil nota pesanan dan buku menu. Berjalan memutari meja kasir yang menyatu dengan meja barista. "Silahkan, Kak." Samira mengayunkan tangannya mempersilahkan laki-laki itu untuk jalan lebih dulu.
"Jangan di luar."
Samira mengurungkan langkahnya. "Hah? Gimana, Kak?" tanya Samira mendongak ke arah pengunjung laki-laki yang menurutnya sangat aneh itu. Pandangannya langsung bertemu dengan manik hitam legam yang sedang menatanya dalam-dalam.
Samira mengernyit. Apa ada sesuatu di wajahnya? Samira menyentuh kedua sisi wajahnya secara bergantian.
"Ak-ku?"
A-ku? Samira mengerjap. Tangannya sampai berhenti bergerak saking terkejutnya. Sedetik kemudian Samira mengangguk kaku. Samira menurunkan tangan dari wajahnya menatap laki-laki di depannya itu tidak mengerti.
"Jangan meja luar."
Samira mengangguk. Berjalan lebih dulu menuju meja kosong yang tak jauh dari meja kasir, agak di pojok kiri. Samira melirik laki-laki yang sedari tadi mengekori tanpa melepaskan pandangan darinya itu kini sedang menurunkan posisi topi hitam hingga menutupi wajah tampan laki-laki itu. Istighfar, Sam!
"Disini, gak apa-apa, Kak?"
"Hmm,"
"Silahkan duduk, Kak." Samira tersenyum ramah menarikkan salah satu dari keempat kursi kosong yang ada disana.
Senyum Samira seketika hilang karena laki-laki itu lebih memilih duduk di kursi yang lain. Menghembuskan nafas sepelan mungkin, Samira mencoba mengulur kesabarannya. Samira bergeser ke samping laki-laki itu dan meletakkan buku menu di atas meja tepat di depan laki-laki itu.
Samira siap mencatat pesanan dari laki-laki yang sedang menatapnya lekat-lekat itu. "Kok, malah bengong. Jadinya, mau pesan apa, Kak?"
"Siapa yang bengong. Ini lagi mikir."
Samira tersenyum canggung, menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali mencoba menutupi salah tingkahnya. Samira memperhatikan laki-laki yang ogah-ogahan membuka buku menu.
"Samira Lexa Gantari, may I be right?"
Samira terperanjat. Langsung menunduk. Namanya terpampang di seragamnya, tapi hanya nama panggilannya saja. Dari mana laki-laki itu tahu nama panjangnya?
"Bener ternyata."
Samira mengangkat wajahnya menatap laki-laki yang sedang tertawa kecil itu. "Sorry. Apa sebelumnya kita udah saling kenal, Kak?" tanya Samira tidak mengerti. Reflek mundur satu langkah ke belakang ketika tawa laki-laki itu berhenti begitu saja. Laki-laki itu menatapnya dalam-dalam.
"Aku Elang."
"Elang?" gumam Samira lebih kepada dirinya sendiri, namun ternyata masih cukup bisa didengar. Terbukti dari laki-laki itu yang mengangguk pelan dan menatapnya dengan sorot penuh harap.
"Iya. Kamu ingat?"
Samira mengernyit. Elang? Nama itu terdengar familiar di telinganya. Tapi … dimana dia pernah mendengar nama itu, ya? Samira menerawang jauh. Mencari nama Elang dalam memori ingatannya. Nihil. Atau mungkin hanya perasaannya saja? Entahlah.
"Maaf, Kak. Tapi, saya gak ingat pernah kenal sama Kakak sebelum ini." Samira menggeleng pelan.
"Ksatria Elang Hadinata. Kamu ingat?"
Samira menggeleng pelan lagi. Merasa sedikit bersalah ketika melihat sorot kecewa di bola mata jernih laki-laki itu.
"Kalau, El? Kamu pasti ingat 'kan? Please bilang ingat, Sam."
Samira menggeleng pelan satu kali lagi. Kali ini tidak bisa menutupi perasaan bersalahnya karena tidak mampu mengingat laki-laki itu. "Maaf, Kak. Tapi, saya bener-bener gak ingat pernah kenal sama Kakak."
"Ck! Buruk banget ingatan kamu."
Samira meringis. Ya, gimana, ya. Namanya lupa.
"Yaudah. Catat pesananku. Kamu 'kan pelupa sekarang."
Dih. Nyinyir. "Ya ampun. Sebutinnya pelan-pelan, dong, Kak." Samira kewalahan karena si Elang, Elang itu hanya menunjuk-nunjuk asal daftar makanan dan minuman yang tercetak di buku menu.
"Selain pelupa. Kamu juga lelet."
Wah … Samira speechless. Menyebalkannya tidak tanggung-tanggung. Samira bersikap bodo amat dengan tak menghiraukan ucapan Elang.
"Ekhem!"
Samira mengarahkan pandangannya pada Elang. Keningnya mengerut melihat Elang yang sedikit menunduk, lalu melepaskan satu tali masker dari daun telinga laki-laki itu. Samira memicingkan matanya. Elang itu lagi apa, sih? Menyamar? Samira mengulum senyumnya. Aneh.
"Kamu yakin gak ingat aku?"
Masih usaha ternyata. "Kak Elang 'kan?" tanya Samira acuh tak acuh. Samira mengayunkan tangannya yang sedang memegang bolpoin ke arah Elang. "Tadi Kakak sendiri yang bilang gitu."
"Seriously?"
Samira menggigit bibirnya. Kesabarannya benar-benar sedang diuji sekarang. "Serius, Kak. Buat apa juga saya bercanda sama Kakak." Kenal juga gak. Sambung Samira dalam hati.
"Ya Tuhan."
Samira melirik Elang. Kenapa lagi? Dia ada salah lagi? Samira beristighfar dalam hati ketika Elang mendengus keras dengan wajah yang tak bersahabat. Tak membuang waktu, Samira undur diri begitu laki-laki itu mengusirnya lewat gerakan tangan.
"Jangan lelet."
Langkah Samira terhenti. Habis sudah kesabarannya. Samira menghembuskan nafas kasar. Merapalkan kata sabar layaknya mantra dalam hati. Perlahan Samira menoleh. "Diusahakan ya, Kak Elang." Samira memaksakan seulas senyum.
"Tamu adalah raja."
Samira berusaha tidak merotasikan kedua bola matanya. "Baik, Kak." Samira mengangguk tidak ikhlas. "Permisi." Samira kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Lo kira cafe nenek moyang lo." dumel Samira.
"Bilang sesuatu, Sam?"
Ihhh. Ingin mencak-mencak rasanya. Samira berhenti dan menoleh ke belakang lagi. "Saya? Saya gak ada bilang apa-apa." Samira menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Yaudah, sana. Ingat. Jangan lelet."
"FYI. Pesanan yang lebih dulu masuk akan dilayani terlebih dahulu."
"Hmm,"
Samira mengangkat kedua alisnya naik melihat Elang mengenakan kacamata hitam. Samira mengedarkan pandangan sebentar. Tidak salah Elang memakai kacamata di ruangan minim pencahayaan seperti ini?
Emang aneh. "Permisi, Kak." Samira mengangguk singkat.
"Hmm,"
"Ham, hem, ham, hem."
"SAMIRA."
Tbc.