"Sore Kakak Liben …"
Samira terkekeh kecil dan tak lupa menganggukkan kepalanya juga ketika melihat ekspresi terkejut Liben yang merupakan orang Papua yang menjadi petugas parkir cafe.
"Selamat sore, Nona Sam?!"
Samira mengangguk kecil mengayuh sepedanya lebih cepat lagi setelah sebelumnya sempat melambatkan sedikit.
Turun dari sepeda, Samira menstandarkan sepeda keranjang yang tidak terlihat pink lagi, sudah pudar dimakan usia di bawah pohon ketapang yang tumbuh besar di area parkiran. Berbalik, Samira mendongak menatap ke arah papan kayu besar bertuliskan CANNA, nama dari cafe tempatnya bekerja part time.
Dalam bahasa bunga, arti CANNA adalah happy ending. Happy Ending, ya? Tersenyum tipis, Samira berjalan menuju cafe yang terlihat ramai, dipenuhi pengunjung di malam minggu. Bahkan, disaat hari masih sore. Ikatan ekor kuda Samira bergoyang ke kanan, lalu ke kiri mengikuti irama langkah kakinya.
Berbelok ke kanan, Samira masih harus berjalan beberapa meter lagi sampai menemukan sebuah pintu besar bercat hitam dan berbahan besi yang merupakan akses masuk cafe jalur belakang.
"Met sore, ma bro and sis. Yang slay banget, nih?" Samira tertawa geli melihat wajah-wajah tegang dari para penghuni dapur cafe langsung berubah menjadi malas begitu mendengar pertanyaannya yang 360° berbanding terbalik dengan kondisi dapur sesungguhnya. Super duper hectic.
"Yok, bisa, yok, Semangat. Semangat." kata Samira lagi sambil menepuk-nepuk tangannya, mencoba memberikan dukungan. Karena orderan tidak akan berhenti sampai cafe tutup di pukul 11 malam nanti.
"Baru dateng, Sam?"
"Eh?" Samira menoleh. "Iya, Chef. He-he." Samira meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali mencoba menutupi salah tingkahnya.
"Hihihi ..."
"Kekeke …"
Samira menahan nafasnya hingga hidungnya mengembang dan wajahnya berubah merah mati-matian, Samira berusaha menahan kepalanya agar tidak menoleh ketika mendengar suara cekakak cekikik. Jenis tawa yang terdengar mengejek di telinganya. Kurang asem!
"Bernafas, Sam. Jangan sampai keluar dari bawah."
"Pfft."
Shit! Samira langsung menghembuskan nafas panjangnya. "Saya izin masuk dulu, Chef."
"Ya."
"Hahaha."
Samira komat kamit mendengar gelak tawa yang pecah begitu saja. Berlalu melintasi dapur menuju ruangan khusus karyawan. Melemparkan tasnya ke dalam loker, Samira ke kamar mandi. Mengganti bajunya dengan polo shirt hitam, seragam cafe.
"Astagfirullah?!" teriak Samira berjengit kaget ketika membuka pintu kamar mandi Dimas sudah berdiri di depannya. "Ngagetin lo, Mas. Ngapain, sih, berdiri disitu?!" sembur Samira jadi kesal sendiri.
Dimas terkekeh pelan.
Samira berdecak malas. "Awas!" Samira mendorong lengan Dimas hingga salah satu barista cafe itu menyingkir dari hadapannya.
"Ini sore bukan jadwalnya lo, deh."
Samira kembali ke lokernya dibuntuti Dimas di belakangnya. "Gue gantiin Mbak Riska, Mas. Hari ini pacarnya Mbak Riska yang kerja di luar kota itu pulang katanya. Kenapa?" Samira menoleh ke arah Dimas yang sedang bersandar tepat di loker yang ada di samping lokernya sambil bersedekap.
Dimas menatap Samira tidak habis pikir. "Lo itu belum ada libur, Sam. Kenapa mau-mauan aja gantiin si Riska?"
Samira tertawa kecil. Mengikat kuat tali waist apron warna coffee di pinggangnya. "Dunia ini jadi menakutkan kalau kita gak punya pekerjaan, Mas."
"Eleh?!" cibir Dimas mengibaskan satu tangannya sambil lalu. "Berat bahasa lo, Sam."
Samira nyengir kuda. Memakai topi warna hitam dengan bordiran warna putih membentuk nama CANNA. Rambut ekor kudanya dimasukkan ke dalam lubang di antara tali pengatur besar kecilnya lingkar kepala.
"Gak ada yang bisa gantiin si Riska selain lo?" Dimas menegakkan posisi berdirinya sambil menurunkan tangannya.
Samira menggeleng pelan. "Kalau ada, gak mungkin Mbak Riska minta tolong sama gue. Lo 'kan tahu sendiri Mbak Riska agak sensi sama gue, Mas." Samira menjauhkan wajahnya dari cermin setelah yakin tidak ada yang salah dengan dandanannya. Liptint masih melekat di bibirnya.
Dimas mendengus. Riska memiliki ketidaksukaan terhadap Samira, bukan rahasia lagi. Hal yang tak bisa Dimas dan karyawan lain mengerti dan habis pikir. Samira terlalu baik untuk tidak disukai apalagi dibenci.
"Kerja, kerja, kerja. Tipes, lo, Sam."
Samira langsung menatap Dimas dengan tajam. "Hihh?! Lo kalau doain itu yang baik, kek. Kalau gue sakit, adek-adek gue mau makan apa ntar?"
"Gue yang kasih mereka makan, lah." Dimas menepuk pelan dadanya bangga pada dirinya sendiri. "Calon ipar mereka gini-gini juga."
Samira memutar kedua bola matanya malas. "Gaya, lo, Masss, Mas." Samira menutup loker. Tak lupa menguncinya juga. "Ditagih debt collector aja lo lari-lari nyariin gue, Mas."
Dimas terkekeh geli. "Cicilan motor gue udah lunas, dong. Gue siap lahir batin nafkahin lo secara lahir batin, Sam." Dimas memainkan kedua alisnya naik turun.
Samira hanya geleng-geleng kepala. Tak menghiraukan ucapan Dimas yang sedang berjalan membuntuti di belakangnya itu.
Sesampainya di bagian utama cafe, Samira dan Dimas langsung berpisah menempati posisi mereka masing-masing. Melihat di meja kasir masih ada Yunda, Samira memilih melipir ke tempat penyimpanan alat-alat pembersih.
Samira mengambil nampan, botol spray berisi cairan pembersih. Tak ketinggalan lap juga diambil. Samira berjalan menuju meja yang baru saja ditinggalkan oleh pengunjung cafe.
Meletakkan nampan di atas meja, Samira lebih dulu meletakkan kursi di bawah meja, baru meletakkan bekas alat makan dan sampah-sampah yang ditinggalkan pengunjung cafe di atas nampan. Menyemprotkan cairan pembersih beberapa kali, Samira mengelap seluruh permukaan meja tanpa terkecuali hingga bersih mengkilap.
"Kyaaa!"
Nampan yang sedang Samira pegang hampir saja tergelincir dan jatuh kalau saja dia tidak bisa menyeimbangkan badannya yang sempat berjengit kaget akibat suara teriakan heboh, yang tiba-tiba saja muncul memekakan telinga dan mengejutkan jantungnya.
"MV-nya keluar gais … Sini-sini, merapat-merapat. Cepetan! Makan mulu lo pada, ish!"
"Duh! Wifi-nya kenapa, deh! Buffering, anjir. Mas! Ini wifi-nya kenapa!"
Samira memutar kepalanya ke bagian pojok kanan cafe. Disana terlihat segerombolan anak perempuan berpakaian modis yang Samira taksir usianya … emm … seumuran atau … satu tahun di bawah Birru dengan sebuah laptop berlogo apel digigit diletakan di tengah-tengah meja.
"Kak Elll! Ya ampun, ya ampun. Emang boleh se-hot itu! Ugh. Tipe sugar daddy, Ya Allah."
"Cakepan juga Kak Gavin. Lo lihat, dong ototnya. Aduh. Dedek gak kuat, Bang."
Samira mengernyit heran. Tapi, tak urung terkekeh geli juga melihat tingkah dari para anak baru gede itu. Samira tidak tahu apa yang sedang mereka tonton sampai seheboh itu. Kalau Samira ingat-ingat lagi, waktu seumuran mereka, dia tidak pernah bertingkah seperti itu. Atau dia-nya saja yang kuper?
"Ya ampun, pada buta. Cakep Kak Bara kemana-mana. Gebukan drumnya Kak Bara itu, loh. Menggebuk-gebukan hati gue."
"Fix. Kak Arkana paling cakep. Kak Arkana … Lope you pull. Muah."
"Iyuuuh!"
"Bocah prikk."
Astaga … Menggelikan. Samira bergidik geli. Beruntung bagi Samira karena Birru laki-laki. Samira kembali melanjutkan lagi jalannya yang tadi sempat terhenti menuju dapur untuk meletakkan alat-alat makan kotor disana. Kembali ke depan, Samira langsung menuju meja kasir.
"Itu namanya fangirling, Sam." terang Dimas begitu Samira akan melewatinya.
Samira menoleh ke arah Dimas dengan kening berkerut. "Fan-girling?"
Dimas mendesah pasrah sekaligus prihatin atas ketidak updatean Samira terhadap hal yang sedang happening saat ini. Perlu dikasih paham bocah kudet satu itu. "Kerja doang, kerjaan lo, Sam, Sam." Dimas geleng-geleng kepala.
Samira merotasikan kedua bola matanya malas. Lagi.
"Fangirling kata kerja dari fangirl artinya perilaku perempuan penggemar dalam nunjukin rasa cinta ke idolanya. Yang ngakunya suka Korea." kekeh Dimas.
"Konsep gue--" Samira menunjuk dadanya sendiri. "-- Kalau dramanya bagus, gue tonton. Gue bela-belain marathon gak ada masalah. Kalau musiknya enak gue dengerin. As simple as that."
"Heh, mau kemana lo? Gue belom kelar ngomong." Dimas langsung mencekal pergelangan tangan Samira yang hampir balik badan.
"Apa?" tanya Samira dengan halus mencoba mengulur kesabarannya.
Dimas tersenyum kikuk. "Ekhem. Kalau …"
Samira mengangkat kedua alisnya naik.
"... Band Anemone lo tahu kagak, Sam?"
"Band Anemone?" Melihat Dimas mengangguk, Samira menggeleng pelan memasang wajah sepolos mungkin.
Dimas mengelus dadanya. Polos, tapi menyebalkan. Bisa-bisanya gadis itu tidak tahu Band Anemone yang sedang naik daun. Yang setiap hari menjadi pengisi adi hampir semua acara musik stasiun televisi dan radio. Samira tak terselamatkan. Baiklah. Dimas yang baik, rajin menabung dan tidak sombong ini akan kasih paham.
"Band Anemone itu lagi naik-naiknya, Sam. Dari Sabang sampai Merauke. Dari bocil sampai ras terkuat di muka bumi ini, jadi fans-nya. Personilnya 4 orang cowok. El, Gavin, Bara, Arkana. Sampe sini paham, Sam?"
Samira mengulas senyum yang dibuat-buat. "Mas?"
"Apa?"
"Gue penyiar radio, inget?"
"Ah, sial?! Gue udah merasa paling berwawasan luas disini. Lo meruntuhkan kepercayaan diri gue."
Samira mengedikkan bahunya menahan senyum gelinya. Lagipula Dimas itu TMI, too much information. El, Gavin, Bara, Arkana? Nama mereka tidak akan keluar saat dia sidang skripsi nanti. Kali ini Samira benar-benar berlalu meninggalkan Dimas. Menyudahi pembicaraan yang tidak berfaedah.
Tbc.