Aku terbangun karena aku tidak bisa bernapas.
Ada tangan menutupi mulutku, jari-jari ditekan di bawah lubang hidungku sehingga aku tidak bisa menarik udara melalui hidungku. Seketika, aku membeku. Itu adalah respon terkondisi. Sejarah pelecehan dalam keluarga aku telah mengajari aku bahwa satu-satunya tindakan dalam krisis adalah diam dan tenang atau menghadapi eskalasi kekerasan.
Jadi aku mencoba untuk memfokuskan mata aku pada sosok yang menjulang di atas aku.
Ibuku.
Bagian putih matanya bersinar dalam gelap, iris matanya berwarna hitam pekat. Dia tampak angker. Tidak, tidak angker, karena aku selalu membayangkan hantu sebagai makhluk sedih.
Dia tampak gila.
Didorong oleh kekuatan gila yang menyuruhnya mencuri udaraku.
Aku mengerjap keras untuk menghilangkan kebingungan di sudut-sudut pikiranku dan berusaha untuk tidak panik.