Merry telah resmi resign dari tempatnya bekerja, sedangkan Aranya sudah bersiap untuk menjalankan aksinya dengan berbekal pakaian yang ia selipkan di bagian bonekanya. Bukan hal sulit berperan sebagai wanita tidak waras, mengingat selama ini orang menilainya seperti itu walau sesungguhnya dirinya sekarang dengan kejiwaan yang sudah membaik.
Seminggu telah berlalu, Aranya sudah bersiap untuk menjalankan misinya bersama Mery, dengan mengendap-endap berjalan Aranya harus bisa melewati malam yang menegangkan ini. Dirinya harus bisa segera keluar dan bertemu dengan anak dan suaminya.
"Aku harus bisa, demi keluargaku." tekatnya
Sebuah bangunan tua di belakang rumah sakit, nampak begitu usang dan terlihat cukup lama tidak terpakai. Aranya yang awalnya takut harus memberanikan diri memasuki bangunan tua yang memang tidak terkunci. Di telusurinya bangunan yang sangat gelap dan kotor itu, serpihan debu membuat Aranya harus menutup hidung dan mulutnya, menahan agar bersin tak ia ciptakan yang nantinya akan berimbas pada misi melarikan diri dari rumah sakit jiwa tempatnya di rawat.
"Huh, kotor sekali, mana bau lagi," umpatnya. Namun, harus segera dirinya tahan, "Tahan Ra, bentar lagi kamu pasti bisa keluar dari tempat ini," ucapnya membatin. Dengan langkah penuh hati-hati, Aranya terus menyusuri bangunan tua ini dengan terus memeluk bonekanya, menahan rasa takutnya dalam kegelapan yang sangat menyeramkan. Di gantinya pakaian seragam pasien dengan pakaian yang telah di berikan Mery kepadanya. Tak ada penerangan sedikitpun. Namun, Aranya tetap berjalan hingga sebuah cahaya terlihat dari ventilasi. "Akhirnya," ucapnya seraya mencari pintu agar dirinya dapat keluar dari bangunan itu. Sementara Mery telah menunggunya di balik jendela. "Ra, dari sini," panggil Mery dengan pelan dan itu membuat Aranya bergegas menghampirinya. "Thanks Mer, lo emang sahabat terbaik gue," ucapnya bersyukur seraya memeluk tubuh sahabatnya.
"Sekarang kita pergi dari sini ya," ajak Mery dan Aranta mengangguk.
"Woy.., siapa itu?" teriak security rumah sakit yang tengah berjaga. Sementara Aranya dan Mery tengah berlari mwncari tempat bersembunyi. Security itu tidak tinggal diam, dia terus berlari mengejar dan mencari orang yang mencurigakan. Beruntung saat itu gelap, dan pihak keamanan tak melihat Aranya. Mery lantas menyalakan mesin mobilnya, sementara penampilan Aranya dengan balutan syar'i dan cadar yang menutupi wajahnya, membuat pihak keamanan tidak dapat mengenalinya.
"Malam bu, maaf saya harus mengganggu jalan ibu,"
"Malam pak, ada apa ya?"
"Salah satu pasien rumah sakit jiwa telah kabur, jadi kami tidak ingin ada warga yang terganggu dan merasa resah dengan pasien yang berkeliaran di luar bu, makanya kami mengadakan patroli, untuk keamanan pengemudi dan warga sekitaran sini,"
"Oh, kalau begitu silahkan pak," ucap Mery yang tengah berpakaian sama dengan Aranya, karena sudah banyak yang mengenali wajahnya. Tidak mungkin jika Mery berpakaian seperti biasanya.
"Maaf mengganggu perjalanan ibu,"
"Mari pak, terima kasih." ucap Mery dan melajukan mobilnya dengan bernapas dengan lega.
"Huh, akhirnya Mer gue bisa ngirup udara bebas,"
"Iya, selamat ya. Gue senang, akhirnya lo bisa kembali waras,"
"Iya deh sus, gue bersyukur banget bisa punya sahabat layak lo, yang rela berkorban buat gue dan ada di saat gue hancur,"
"Ketulusan lo, yang nyadarin gue buat percaya akan keajaiban, karna lo selalu baik dan selalu nolong gue saat gue susah bahkan hancur saat semua orang ngucilin gue,"
"Apapun itu, gue sangat berterima kasih sama lo,"
"Udah ah, mending kita susun rencana buat keberangkatan kita besok pagi,"
"Siap bu sus,"
"Apaan sih Ra,"
"Hahaha,"
***
"Sejak kapan lo tertarik sama bocah ingusan?" tanya Zoya saat dirinya sudah berada di ruangan kerja Bara.
"Apa urusannya sama lo?" tanya Bara tak kalah sinis
"Apa kurangnya gue Bar? sampai lo gak bisa tertarik sama gue?"
"Gak ada," jawabnya singkat dengan mata yang kembali beralih pada layar laptop di depannya dengan tangan yang sibuk memainkan mouse. Memperhatikan pekerjaannya yang sudah beberapa hari ia abaikan.
"Lalu kenapa lo gak bisa nerima gue Bar, kenapa?"
"Karna lo sahabat gue, gue gak bisa jatuh cinta sama sahabat gue sendiri dan berhenti untuk mematai-matai setiap aktifitas gue," ucapan Bara begitu perih di rasakan Zoya bahkan mengalahkan perihnya luka akibat goresan pisau silet, "Lo gak lupa pintu keluar di mana kan?" tanya Bara dan langsung membuat Zoya meninggalkan ruangnyannya dengan perasaan emosi yang begitu memuncak, "Lo liat aja bocah ingusan, gue bakal buat perhitungan sama lo," ancam Zoya saat membayangkan wajah wanita yang tengah dekat dekat Bara.
Zoya pergi dengan perasaan kesal, "Gue punya tugas buat lo," suara Zoya saat tengah menghubungi seseorang dari gawainya. "Gue tunggu lo di tempat biasa," titahnya. Semula rasa lapar telah ia rasakan dan berniat untuk mengajal sahabatnya itu untuk sarapan bersama, siapa sangka kehadirannya justru membuat pertengkaran. Nafsu makannya pun menghilang, bertular dengan rasa emosi yang memuncak. Zoya sungguh tak habis pikir dengan apa yang ada di dalam isi kepala Bara, mengapa dia bisa jatuh cinta pada gadis SMA yang terlihat hanya ingin memanfaatkannya saja.
"Lo harus beri pelajaran sama orang itu," titah Zoya saat memberikan selembar poto, yang tak lain adalah Pelangi.
"Mau kita apakan gadis ini bos?" tanya lelaki berambut gondrong
"Dasar bodoh, kau harus membuatnya celaka atau kau bisa menculiknya dan membuangnya jauh dari hidup Bara,"
"Baik bos. Tapi, ada uang jalannya dong bos, DP gitu?"
"Kalian ini, kerja aja belum! Tapi, sudah minta uang!"
"Ya buat minyak bos, biar mesinnya jalan,"
"Nih," Zoya memberikan amplop coklat yang berisikan uang, "Ingat, jangan sampai gagal!" titah Zoya, "Siap bos, laksanakan." kedua penyusuruhny sudah pergi. Sementara Zoya tersenyum licik di tempatnya, sambil membayangkan hal buruk apa yang akan Pelangi terima karena telah berani menggoda lelaki idamannya.
"Lo rasakan itu, karna telah berani merebut milik gue," pekik Zoya yang kini sudah meneguk orange juicenya.
***
Bara kini sudah bersiap di tempatnya, untuk melanjutkan pekerjaannya di sekolah Pelangi. Hal yang paling ia nantikan saat malam hari sebelum tidur adalah keesokan harinya saat bisa bertemu dengan Pelangi dan melihat senyum manisnya saat berhasil melawannya. Perbedaan usia sungguh tak jadi masalah untuk seseorang yang tengah di mabuk asmara, apapun yang menjadi penghalang dan rintangannya akan Bara hadapi, tak perduli sesulit apapun itu yang terpenting dirinya bisa berada dekat dan melihat senyum manis gadis pujaan hatinya.
"Lepasin gue, lepasin.., tolong...," suara wanita tengah berteriak meminta pertolongan. Namun, tempat itu begitu sepi dan tak ada orang yang melintas. wanita itu terus berusaha untuk bisa terbebas dari 2 orang yang ingin mencelakai dirinya. Sebisa mungkin dan sekuat tenaga wanita itu terus melakukan perlawanan dan berhasil terlepas dari dua kawanan penjahat itu. Wanita itu pun terus berlari dan
Bruuk!!
sebuah mobil menghantam perutnya, karena wanita itu yang melintas begitu saja, meski sang pengemudi berhasil mengerem. Namun, tabrakan tak mamou dirinya hindari.
"Kabur, kabur ayo," ajak penjahat itu pada temannya dan mereka kemudian kabur.
Pengemudi itu lantas turun dan berniat menolong orang yang tengah ia tabrak, "Pelangi," ucapnya syok saat melihat wajah wanita yang terbaring di aspal