Chereads / Pelangi dihidup Bara / Chapter 6 - Kehadiran Pelangi

Chapter 6 - Kehadiran Pelangi

Akhirnya tibalah kandungan Aranya memasuki 8 bulan 2 minggu, pada umumnya banyak terjadi ibu hamil di usia kandungan 8 bulan 2 minggu akan mengalami kontraksi yang di akibatkan bayi ingin segera di lahirkan ke permukaan bumi. Bayi ingin merasakan kehidupan nyata di luar kandungan ibunya. "Sayang.., cepatlah. Perutku sudah sangat sakit sekali." Aranya meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. 

"Ia sayang, tunggulah. Aku sedang mencari kunci mobil kita." balas Aditya yang sudah sangat panik, bahkan kepanikkannya melebihi rasa panik Aranya. Sehingga, kunci mobil yang seharusnya berada di tempat biasanya. Seolah menghilang, padahal karena kepanikannya lah kunci itu seakan bersembunyi. 

"Ayo sayang, kita kerumah sakit." ajak Aditya yang sudah menuntun istrinya masuk ke dalam mobil. 

Aranya mengalami pendarahan hebat, akibat kecelakaan yang baru saja terjadi padanya dan suami tercintanya dalam perjalanan menuju rumah sakit. Entahlah, saat itu seperti tengah ada yang menabrak bagian belakang mobilnya, sehingga membuat Aditya tidak stabil dalam kemudinya di tambah dengan kepanikan karena ini kali pertama Aditya merasakan harus menjadi suami yang siaga saat istri tengah mengalami tanda tanda akan melahirkan. 

"Aaaaaa... " teriak keduanya bersamaan saat mobil yang mereka naiki harus menabrak pohon besar yang ada di pinggir jalan. Aditya kehilangan keseimbangannya. Sehingga kecelakaanpun terjadi. 

Saat di bawa ke rumah sakit, Aranya dan Aditya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Keduanya harus di tangani oleh dokter. Namun, bayi dalan kandungan Aranya juga harus di selamatkan. Jika tidak, akan terjadi hal buruk yang akan menimpa keluarga mereka. 

Dokter harus mengambil tindakan, dengan kondisi Aranya yang saat ini sepertinya sudah mulai stabil,  sehingga bisa melakukan proses kelahiran cesar untuk menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungan Aranya. Sedangkan Aditya masih dalam keadaan tidak sadarkan diri, tentunya hal itu tidak di ketahui Aranya. Mengingat kondisi mental Aranya yang juga tidak baik-baik saja, pasca kecelakaan dan juga harus melakukan tindakan operasi cesar, untuk menyelamatkan kedua bayi yang ada di dalam rahim Aranya. 

"Bagaimana keadaan cucu dan menantu saya, Dok." tanya Meli ibu dari Aditya. 

"Alhamdulillah, Bu. Menantu dan cucu kembar ibu selamat dan masih dalam proses pemulihan." jelas sang Dokter menjawab. 

"Terimakasih, Dok." balas Meli namun otaknya terus berfikir untuk memisahkan kedua suami istri yang seharusnya hari ini menjadi hari yang bersejarah untuk Aranya dan aditya karena telah menjadi keluarga yang sempurna berkat kehadiran putra putri mereka. 

***

16 tahun kemudian. 

"Jangan sekalipun kau berani keluar dari tempat ini." ancam Serly yang juga adalah adik dari ayahnya. Pelangi hanya bisa diam dan tidak berani memberotak sedikitpun, karena dirinya takut jika sang tante akan menyakiti ibunya. 

"Besok kita akan pindah, dan jangan sedikitpun kau berani melawanku." ancamnya kembali dan membuat Pelangi memutar otaknya karena sebuah kata Pindah. 

"Kita mau pindah kemana, tan?" tanya Pelangi memberanikan diri.

"Gak usah banyak tanya, kau ikuti saja perintahku." setelah mengatakan ini, Serlypun pergi meninggalkan Pelangi sendiri di dalam kamarnya. Tidak-tidak. Ini bukan kamar, lebih tepatnya adalah gudang yang mendadak berubah menjadi kamar untuk Pelangi. 

Pelangi hanya bisa pasrah, dengan segala hinaan dan cacian dari tantenya itu. Berontak sudah sedari dulu ia lakukan, ingin kabur juga sudah menjadi niat utama bagi Pelangi. Namun, ada ibu yang selalu menjadi penguat hidupnya. Jika saja, Pelangi bisa pergi dengan membawa sang ibu, sudah pasti akan pelangi lakukan. Hanya saja, ia belum memiliki cukup uang untuk hal itu, apalagi jika pergi dari rumah yang bak istana namun seperti penjara bagi kehidupan Pelangi. 

Yang pelangi tahu, ibunya depresi saat mengetahui saudara kembarnya meninggal bersama dengan sang ayah. Aranya tidak mampu menerima kabar buruk itu, sementara Pelangi harus di titipkan Pada Serly, adik satu satunya Aditya yang sangat membenci Aranya dan juga Pelangi keponakannya. Entahlah, Pelangi juga tidak tahu, mengapa Serly begitu membencinya. Padahal Pelangi adalah keponakannya, anak dari kakaknya sendiri. 

"Kata orang, pelangi itu indah. Namun mengapa aku sangat sulit sekali mendapatkan ke indahan itu. Apa karna aku tidak pantas bahagia?" curahan hati Pelangi saat merenungi kehidupannya.

Menangis sesunggukkan sudah terlalu sering ia lakukan dengan duduk di pojokkan gudang yang menjadi kamarnya. Pelangi mendekap erat kedua kakinya seperti tengah merasa kesakitan dan rindu akan sosok ibu yang ia tahu adalah orang tua yang masih ia miliki. 

"Ma, apa kau tau aku begitu menderita hidup tanpamu? cepatlah sembuh, ma. Aku ingin sekali memelukmu, bercerita tentang kisahku dan membuat kisah baru untuk kehidupan kita yang begitu indah." ucapnya lirih, seakan Aranya kini ada di hadapannya. 

Entah apa yang saat ini Pelangi pikirkan, dirinya bangkit dari tempatnya mencari celah untuk dia bisa lari dari tempatnya sekarang. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk dia tinggali. Namun, seperti malapetaka saat dirinya ada di dalam. 

"Pa.., seandainya kau ada disini, kau tak akan membiarkanku menangis, tersakiti seperti ini. Apa adikmu berani menyakitiku? putrimu sendiri, Pa." tangisnya semakin pecah, saat melihat wajah sang ayah dalan sebuah figra. Wajahnya begitu tampan dan teduh, terlihat begitu tegas dan penyayang. "Apa kau tau, Pa? aku begitu tersiksa hidup tanpamu. Begitu juga dengan mama, dia bahkan tidak mengenaliku." linangan air mata terus membasahi pipi Pelangi, bagaimana mungkin dia bisa pergi meninggalkan kota ini. Sementara di sini ada makam ayahnya, meski Pelangi tidak pernah merasakan hidup bersama sang ayah. Tapi, pelangi yakin jika Aditya begitu menyayangi dan menantikan kehadirannya. 

Terlalu banyak mengeluarkan air mata dan menguras energi, akhirnya Pelangi bisa terlelap tidur dengan mata yang begitu sembab. Wajah sedihnya terlihat begitu hancur, seperti kehilangan sebuah harapan. Harapan untuk bahagia, sulit sekali untuk dia raih. Hanya untuk sekedar membayangkannya saja Pelangi tidak mampu, karena terlalu banyak kesedihan dan kepahitan dalam hidupnya. Rasa bahagia sedari Pelangi lahir tidak pernah ia nikmati, hanya air mata kesedihan yang selalu menemaninya. Menemani kehidupannya yang sekarang sudah menginjak usia 16 tahun. 

Keesokkan harinya, Pelangi sudah bersiap mengemasi semua pakaiannya termasuk barang berharga miliknya. Apalagi kalau bukan foto kedua orang tuanya. "Tan, bagaimana dengan mama?" tanya Pelangi pada Serly mencoba memberanikan dirinya, meski ia tahu akan ada suara hinaan yang keluar dari mulut tantenya itu. 

"Dia tidak akan ikut." jawab Serly ketus

"Maksud Tante?" tanya Pelangi bingung

"Wanita gila itu tidak akan pernah ikut dan aku sudah mengirimnya ke rumah sakit jiwa di kota ini." jelas Serly membuat Pelangi menitihkan air matanya. Ingin sekali rasanya ia menampar pipi Serly, memberikannya pelajaran akan setiap perlakuan kejinya pada Pelangi dan ibunya. 

"Izinkan aku bertemu mama, tan?" pinta Pelangi sambil memohon dan berlutut di kaki Serly