"Apa aku gendutan?" tanya Aranya pada dirinya sendiri di depan cermin, dengan melihat pantulan dirinya di cermin. Kemudian ia pun menggeleng. "Tidak - tidak, aku bahkan masih begitu seksi. Tidak ada satu bagian dari tubuhku yang berubah." pikirnya sambil terus melihat dirinya di cermin. "Atau.., dia menyukai wanita lain?" seribu pertanyaan masih terus berkutat di dalam otaknya. Bahkan terkadang Aranya bisa senyum - senyum sendiri. Namun, ia juga bisa tiba - tiba marah, jika memikirkan hal buruk tentang suaminya. Aranya masih sibuk dengan segala pemikirannya, bisa - bisanya Aditya menolaknya setelah berani membuatnya bergairah.
"Dasar suami gak peka, aaaaaa...." Aranya semakin kesal, dan mengacak - acak rambutnya, membuat dirinya begitu frustasi. Jika mengingat kejadian semalam, membuat dirinya mengutuk perbuatan suaminya itu. Aranyapun lelah, hingga akhirnya ia terlelap tidur, bersama seribu pertanyaan yang masih berada di kepalanya.
***
Sedangkan Aditya masih takut dengan pikirannya sendiri, bukan ia sengaja ingin meninggalkan sang istri atau mengeprank sang istri. Namun, ia begitu takut untuk melakukan percintaan panas dengan istrinya. Mengingat, ada benih cinta di dalam rahim Aranya. Aditya takut jika melakukan hal itu, akan menyakiti Aditya junior. Tapi, bagaimana dengan perasaan Aranya, untuk berbicara dengannya saja sulit. Apalagi menjelaskan padanya, akan sangat membutuhkan waktu dengan segala amukkannya.
Aditya juga masih bingung, pikirannya masih terus di penuhi wajah kemarahan sang istri, walau baginya sangat menggemaskan sekali, jika melihat wajah kesal Aranya. Namun, suami mana yang tahan jika terlalu lama di diami oleh sang istri. Apalagi tidak mendapatkan perhatian dari sang istri yang menjadi asupan energi untuk Aditya. Akhirnya, muncullah ide cemerlang di kepalanya.
Aditya pun bergegas pergi meninggalkan ruangannya, dirinya tidak sekalipun menghiraukan ucapan asistennya itu. "Urus semua pekerjaan hari ini, dan kirim laporannya ke emailku." titah Aditya dengan terua berjalan, tidak perduli dengan Rifin yang susah payah mengejarnya.
"Baik, pak." hanya itu kata yang selalu Rifin ucapkan, jika tidak ingin mendengar kemarahan bosnya. Padahal, hari ini begitu banyak meeting dan pekerjaan lainnya yang harus Aditya kerjakan, mengingat semalam dirinya tidak mengunjungi kantor karena sibuk menyelesaikan proyek yang kacau oleh Panji.
"Sayang, bisakah kau ke rumah sakit sekarang?" isi pesan singkat yang dikirimkan oleh Aditya pada sang istri. Bukannya Aditya tidak ingin menghubungi langsung Aranya, namun ia cukup tahu. Bahwa wanitanya itu, tidak akan mungkin mengangkat ponselnya, walau seribu kalipun Aditya mencoba menghubunginya.
Kening Aranya mengkerut, saat melihat isi pesan chat di layar ponselnya, jemarinya langsung menekan tombol berbentul telepon. Segera Aranya menghubungi nomor suaminya. Dengan rasa cemas yang melanda dirinya, "Ayo sayang, angkat telponku." ucapnya, berharap Aditya segera menjawab panggilan teleponnya. Berulang kali Aranya menghubungi Aditya. Namun nihil, panggilannya terus terabaikan.
"Apa secepat itu dia meninggalkan ponselnya?" tanya Aranya kesal, namun kepanikan masih melanda dirinya. Kini Aranya sudah mengambil tasnya, tidak berniat untuk mengganti pakaiannya, yang dia tahu saat ini adalah menemui suaminya di rumah sakit, sesuai dengan isi pesan singkat yanh di kirim Aditya.
"Pak, tolong antar saya ke rumah sakit Harapan." titah Aranya pada Surya, sang supir yang selalu mengantar Aranya kemanapun ia pergi tanpa pengawalan suaminya.
"Baik nyonya." balas Surya yang langsung bergegas menyalakan mesin mobilnya.
"Cepat sedikit ya, Pak. Tapi, tetap hati - hati." ucapnya dengan kepanikan yang masih melanda. Aranya sungguh bingung, benarkah Aditya sakit? atau ini hanya rencana dia saja. Agar bisa di maafkan, karena sudah kehabisan ide untuk membujuk Aranya. Entahlah, jika benar ini hanya permainan Aditya, sudah bisa di pastikan bahwa Aditya harus merasakan puasa yang berkepanjangan dari sang istri.
Setibanya Aranya di rumah sakit, dirinya ingin langsung menanyakan ruangan Aditya. Namun, ponselnya lebih dulu berdering. Tapi, bukan panggilan dari Aditya, melainkan panggilan dari Dokter Sintya. Membuat kening Aranya mengkerut, " Ada apa dia menelponku, bukankah kemarin sudah bertemu?" batin Aranya kemudian menjawab panggilan dokter pribadinya itu.
"Hallo, ia dok."
"Apakah kita bisa bertemu" tanya Dokter Sintya
"Tentu saja, kebetulan saya sedang berada di rumah sakit." balas Aranya yang masih memikirkan dimana keberadaan suaminya.
"Kalau begitu, saya tunggu kehadirannya Ibu."
"Baik, Dok." Aranyapun mengakhiri panggilannya, dirinya berfikir harus lebih dulu menemui Aditya. Namun, ia juga begitu penasaran dengan apa yang akan di beritahukan Dokter Sintya tentang kondisi janinnya. Aranya benar benar bingung harus melakukan apa sekarang.
***
"Udah, lo tenang aja. Bentar lagi istri lo bakal kemari kok." ucap Sintya yang merupakan teman sekolah Aditya ketika di SMA dulu.
"Thank's ya Sin, gue bener - bener bingung gimana cara bujukin istri gue."
"Hormon ibu hamil memang begitu, suka naik turun. Jadi, lo sebagai suaminya harus banyak sabar. Biar perkembangan janin lo juga baik. Ingat, jangan membuat istri lo stres, itu sangat mempengaruhi kehamilannya." jelas Sintya, membuat Aditya sedikit berfikir.
"Selamat siang, Dok." sapa Aranya bersamaan pintu yang baru saja terbuka, betapa terkejutnya ia. Saat mendapati sang suami yang begitu ia khawatirkan tengah berada di dalam ruangan Dokter Sintya. Namun, saat ini Aranya begitu murka pada suaminya. Padahal begitu melihat wajah sang istri, Aditya langsung memberikan senyum termanisnya. Berharap akan mendapat balasan yang sama, namun harapannya menyurut, melihat Aranya membuang wajahnya saat mendapati suami berada di ruangan yang sama dengannya.
"Siang, Bu." balas sapa Sintya pada Aranya. "Mari, silahkan duduk." lanjut Sintya menawarkan. Tentu saja Aditya masih memperhatikan gerak gerik keduanya.
Aranya tersenyum simpul, ingin rasanya ia pergi meninggalkan tempatnya saat ini, namun dirinya begitu penasaran tentang apa yang akan di ucapkan Sintya padanya mengenai perkembangan janinnya.
"Bapak juga bisa pindah duduk disini." ajak Sintya memberikan tempat di samping Aranya, seolah Sintya tidak mengenal Aditya. Tentu saja Aditya tidak ingin membuang buang waktu. Ia langsung menuruti permintaan teman sekolahnya itu.
"Bisa kita mulaikan?" tanya Sintya pada kedua pasiennya. Keduanya memilih memberikan anggukan, tanda menyetujui pertanyaan Sintya.
"Aduh Ibu, mukanya jangan tegang gitu dong. Rileks aja ya, Bu. Kasihan bayi yang ada di dalam kandungan Ibu. Nanti ikutan tegang loh." canda Sintya berusaha mencairkan suasana. Lagi - lagi Aranya tidak menjawab dengan suara lembutnya. Dirinya hanya mampu tersenyum kaku. Merasa Dokter yang ada di hadapannya kali ini begitu garing. Tidak seperti awal dirinya berkonsultasi.
"Begini ya Pak, Bu. Mengenai perkembangan janin dalam kandungan Ibu, tidak ada masalah yang cukup serius. Hanya saja, janin juga bisa ikutan stres, jika Ibunya terlalu banyak hal yang di pikirkan. Seorang ibu hamil seharusnya jangan terlalu banyak beban pikiran, ibu hamil moodnya suka berubah - ubah. Jadi, usahakan suasana hati ibu selalu bahagia ya? harus tenang dan rileks. Kalau ada masalah berdua, ya harus di bicarakan baik-baik. Agar tidak mengganggu perkembangan janin dalam rahim ibu." jelas Sintya membuat emosi Aranya memuncak, namun Aranya masih bisa mengontrolnya.
'Bisa - bisanya dia berkonsultasi terlebih dahulu. Apa dia mengatakan hal itu?' batin Aranya membayangkan hal yang membuat dirinya begitu marah.
"Maaf, Dok. Saya permisi." pamit Aranya dan langsung pergi meninggalkan ruangan Dokter Sintya tentunya tanpa mendengar persetujuan keduanya.