Chereads / Aiko's Daily / Chapter 6 - DARA I LOVE YOU!

Chapter 6 - DARA I LOVE YOU!

Babak dua sudah dimulai sejak dua menit yang lalu, kini aku dan teman-temanku kembali bermain dengan bola oranye itu. Keringat sudah membasahi tubuhku, bisa aku rasakan. Badanku sangat lengket.

Cuaca kembali menjadi panas, tidak hanya cuaca saja permainan basket pun terasa semakin panas. Tim lawan sepertinya ingin membalas dendam.

Dan itu benar-benar terjadi. Saat aku menguasai bola, satu orang dari tim lawan mendorong bahuku keras. Dengan keadaan tidak seimbang karena aku mempertahankan bola, akhirnya aku limbung. Badanku terasa seperti ingin remuk saat itu juga. Sakit sekali pemirsa. 

Mungkin ada bagian tubuhku yang lecet, mengingat aku jatuh sangat keras tadi.

"WOI KOK MAIN KOTOR SIH?!" Kuyakini itu suara Ezhar. Terlihat sekali.

Timku tak melanjutkan permainan. Mereka malah mengerubungiku begitu juga dengan beberapa teman kelasku. Aih, mereka tidak tau apa kalau ini terasa engap.

"Dar, lo gapapa?"

Astaga matanya. Tidak bisa lihat apa? Aku saja masih terbaring dengan nafas terengah dan ternyata lutut juga sikuku berdarah. Ajun masih bertanya? Tidak penting sekali.

Aku menutup mataku dengan sebelah tanganku yang terluka di telapaknya, silau gaizzz.

"Ra, minum dulu nih!"

Ah, Ezhar memang pengertian.

Aku langsung duduk dan meminum air mineral yang dibawakan Ezhar. "Makasih."

"Kalian bubar deh, engap gue." Bodoamat sudah.

"Heh kita tuh khawatir malah disuruh bubar," ucap Tia—Bu Bendahara kelas.

"Gue ga minta lo pada ngumpul, lagian gue abis lari-larian lo pada ngerubungin gue. Makin engap sial!"

"Hooh gih! Lo pada bubar!"

"Lo juga Ezhar Mahartama!"

"Gue gendong ke UKS, naik punggung gue!"

Loh tumben sekali Ezhar baik, tadi saja dia nyinyir padaku. Ah, mungkin aku harus sakit dulu supaya Ezhar tergugah hatinya dan tidak solimi.

Aku mendengus. "Lecet doang gue bisa sendiri."

"Bebal banget lo babu!"

Ezhar malah menggendongku seperti karung beras. Ya Tuhan apa tubuhku seringan itu?

"Lo yang babu!"

Aku tidak tau apa yang terjadi di lapangan basket saat ini. Yang aku dengar sebelum Ezhar membawaku pergi menjauh adalah wasit yang hanya memberikan kartu kuning kepada tim lawan.

Heran, harusnya didiskualifikasi langsung bukan? Karena kasarnya permainan tadi sudah melampaui batas. Aku sendiri memang tidak masalah dengan luka di tubuhku, hanya saja aku tadi benar-benar terpental dari tempatku menguasai bola.

Apakah mata wasit yang sayangnya anak OSIS itu buta?

Itu adalah pelanggaran yang fatal. Aku jadi miris. Apa wasitnya sudah disogok dengan uang? Mungkin saja iya, karena di tahun lalu wasit selalu memberikan keadilan untuk para pemain basket.

Aku jadi tidak terima.

Mereka membuat lutut dan sikuku terasa kebas dan juga terlihat jelek.

"Makanya punya badan berisi kek dikit, ini udah kayak kapas aja. Makan doang banyak badan kayak cabe keriting!"

Ezhar benar-benar ya mulutnya! Minta dirobek!!

"Julid mulu tu mulut, gue jahit tau rasa lo!"

Remaja lelaki di depanku ini sebenarnya anak baik, cuma terkadang mulut cabainya itu sulit sekali untuk direm. Julidnya luar biasa.

"Badan kek kapas gini pantes kena senggol dikit langsung mental." Julid sekali permisa.

PLAK!

Persetan dengan kesakitan, nyatanya tanganku masih kuat untuk menabok mulut ciwi-nya Ezhar. Makin seksi tidak.

Ezhar melotot kepadaku dan menutup mulutnya dengan satu tangannya. Seolah tak percaya dengan apa yang kulakukan. "Ra, ya allah. Titisan muka malaikat hati iblis!"

Aku memandangnya sinis. "Bodoh! Siapapun bakalan mental kalo disenggol kayak tadi, kecuali Bu Mona sih."

Dia malah tertawa, memang seseru itu ya kalau menistakan guru sendiri.

"Badan Bu Mona itu semok semok aduhai loh jangan salah, babe." Dia tertawa lagi.

"Makan tu seksi," ujarku sambil memasukkan kapas yang masih bersih yang tadi kuambil di kotak P3K di sampingku.

"Huek, Ra! Bekas kaki lo tadi ya?"

"Bekas pantat gue noh!"

Dia berlagak muntah di depanku. Siapa suruh jadi orang menyebalkan sekali.

Setelah drama yang dia mainkan selesai, dia beralih membersihkan luka di lututku seperti sebelumnya. Manis sekali, seperti anjing di rumah tetanggaku.

Ezhar memilih pergi melanjutkan jadi suporter dadakan dan aku lebih memilih berbaring di ranjang UKS. Aku sangat bersyukur bisa bersekolah di sini, UKS saja diberi AC. Tetapi, kenapa kelasku tidak diberi AC ya. Ah, maksudku kelas lain juga. Mungkin karena ini sekolah negeri biasa kali ya, coba kalau di swasta. Makmur hidupku.

Ponselku berdering.

Oh, ya! Sebelum Ezhar kembali jadi suporter tadi aku sempat menyuruhnya membelikan jus mangga dan juga mengambilkan ponselku di kelas. Syukur anaknya manut, walaupun dengan sedikit ngedumel.

"Halo, ma."

Iya, kanjeng ratu yang telepon.

"Kamu masuk UKS ceunah. Kunaon, ce?"

"Jatuh waktu main basket, lecet doang ini ma."

"Ari kunaon tiasa ngajengkang?"

"Kedorong." Mamaku ini kepo sekali orangnya. Tidak cukup dengan satu pertanyaan.

"Mama jemput ka sekolah mau?"

Tumben

"Mama ga kerja?"

"Ur dad home, jadi mama teu masuk kerja"

Ma, please! Language.

Mama ini entah punya kerabat dari mana saja. Bahasanya selalu campur-campur.

Aing lieur, ma.

Kami berbincang cukup lama dan katanya mama jadi kesini, bersama papa. Berasa seperti anak TK aku kalau seperti ini. Tapi ya tidak apa-apa, kan jadi punya pasukan aku hehe.

Di luar sana masih terdengar kebisingan para suporter basket. Aih aku ingin main lagi. Lutut dan sikuku sudah diperban Ezhar tadi. Sudah tidak terlihat jeleknya.

Aku bosan. 

Akhirnya, aku nekat untuk terjun kembali ke lapangan. Dari kejauhan sudah terlihat jika aku tidak digantikan. Kelas edan!

Berbincang dengan wasit sebentar dan akhirnya aku langsung masuk ke pertandingan. 

"CACA LEMPAR BOLANYA KE GUE BODOH JANGAN KUASAIN SENDIRI!"

Aku kesal, kalau Caca menguasai bola sendirian lebih cepat lawan untuk merebut bolanya.

Caca melihat kaget ke arahku. "Lo ngapain balik heh!"

Caca malah berhenti. Aku menepuk jidatku. Hadeh! Benar kan, bola sudah direbut lawan. Caca bodoh! Hih gemas aku.

"KAMPRET!"

Aku berlari mengejar pembawa bola. Sialnya dia mendekati arah ring. Dengan sekuat tenaga seperti Satria Baja Hitam aku berlari mengejar dan

BOOM!

Bola berhasil kutampik sebelum melampui ring. Ternyata memang tubuhku seringan itu untuk lompat setinggi-tingginya.

"YASH!"

"DARA I LOVE YOU!"

Sorakan para penonton terdengar begitu memekakan telinga. Aku memang sehebat itu untuk diberi ciut-ciutan.

Tidak apa kan sombong sekali-kali?

Ternyata tim lawan sama sekali belum mendapatkan point. Ini adalah sebuah keberuntungan.

Setelah menjatuhkanku tadi kelas menye-menye itu terkena karma; tidak bisa memasukkan bola.

"Dar, lutut lo sehat?"

"Sehat kok! Ga kayak otak lo yang kudu dibawa ke dokter syaraf."