"Tentu saja boleh." Caelia tersenyum senang. Itu artinya, dia tidak perlu memikirkan cara agar berkesempatan untuk bertemu dengan Daniel kembali.
Sementara menunggu makanan datang, Daniel memilirkan mengenai makna kata Arcoíris yang entah mengapa terus menerus terngiang-ngiang di dalam otaknya.
Hingga akhirnya, salah seorang pelayan datang dan menyuguhkan banyak makanan di atas meja. Dilihatnya Caelia yang terlihat antusias dengan hal itu.
Daniel hanya memutar bola matanya sedikit malas. Seperti pengalaman sebelum-sebelumnya, para perempuan yang pernah Daniel coba kencani juga sama terlihat antusiasnya saat makanan baru saja tiba.
Pria itu meraih makanannya, meminum wine sedikit demi sedikit kemudian mulai makan.
Baru lima belas menit, Daniel tersentak saat Caelia, gadis di depannya itu tersenyum padanya dengan senyuman yang sangat lebar.
"Ada apa?" Tanya Daniel, menyadari bahwa Caelia seolah ingin mengatakan sesuatu.
"Aku ingin mencicip steak punya Om." Jawab Caelia dengan matanya yang mengedip lucu.
Daniel menghela napasnya. Dia mengambil salah satu bagian, kemudian menyuapinya pada gadis itu sehingga mereka tampak seolah menjadi pasangan romantis.
"Terima kasih, Om." Ucap Caelia di tengah kegiatannya mengunyah makanan.
"Kau tidak makan?" Daniel tidak melihat Caelia makan kembali. Pikirnya, gadis itu sudah kenyang.
"Sudah habis." Bersamaan dengan itu, garpu yang Daniel pegang terjatuh. Matanya segera mengamati meja makan dengan banyak piring kotor di atasnya.
Benar, sudah habis.
"Ada apa Om?" Daniel mengerjap. Buru-buru, dia berdeham, menjaga kembali wibawanya yang sempat nyaris menghilang karena tidak menyangka bahwa porsi makan Caelia cukup banyak.
Tiba-tiba, mata Daniel menelisik tubuh gadis itu yang terlihat kurus. Meski begitu, Caelia terbilang sedikit lebih gemuk daripada perempuan yang biasa dia temui hanya memiliki tulang dan kulit.
"Kenapa sama tubuh Caeya? Apa Caeya gemuk Om?" Tanya Caelia, menyadari tatapan Daniel yang mengamati tubuhnya.
"Tidak." Daniel hanya bisa mengatakannya dengan datar. Dia tidak mau banyak berekspresi dengan gadis ini. Takut gadis labil ini berharap banyak padanya.
"Caeya gak gemuk kok, Om. Cuman emang payudara Caeya sedikit lebih besar dari yang seumuran Caeya jad—"
"Kau tidak perlu menjelaskannya." Potong Daniel sebelum gadis itu berbicara lebih liar lagi. Caelia adalah perempuan yang cukup berbahaya.
"Ya sudah... atau, mungkin Om mau melihatnya?" Daniel mendelik mendengarkan hal itu. Bagaimana bisa Caelia mengatakan sesuatu semacam ini dengan mudahnya seolah tanpa beban sedikitpun?
Melihat mata Daniel yang menajam, Caelia tersenyum sembari mengangkat kedua jarinya, membentuk huruf V.
"Sorry. Caeya hanya bercanda." Katanya.
Daniel hanya bisa menghela napasnya. Dia benar-benar tidak habis pikir lagi. Gadis cantik di depannya ini penuh dengan banyak kejutan yang tak pernah Daniel bayangkan sebelumnya.
"Bawa buku itu besok." Ucap Daniel dengan suaranya yang terdengar dingin.
Pria tampan itu sedang memegang gelas wine dengan kedua jarinya. Dia terlihat sexy saat ini. Terlebih, saat otot-otot Daniel mengetat sempurna dibalik kemeja yang dikenakan. Benar-benar menggugah selera.
"Ke sekolah?" Daniel mengangguk.
Bukan ini maksud dari rencananya. Astaga, Caelia kelabakan sendiri jika seperti ini. Yang gadis itu inginkan adalah, dia datang ke rumah Daniel, berduaan dengan pria itu sehingga bisa lebih dekat lagi.
"Biar Caeya antarkan saja nanti besok malam." Tawar Caeya.
Daniel sudah mengerti apa yang sedang direncanakan gadis ini. Dalam hatinya, dia tertawa kecil. Tidak menyangka Caelia akan berpikir sampai ke situ.
"Hm." Meski begitu, Daniel tetap mengiyakan apa yang Caelia inginkan. Dia sama saja mengijinkan seseorang masuk ke kehidupannya.
Bagi Daniel, sesuatu seperti rumah atau mansion adalah hal yang sama dengan kehidupan. Artinya, jika Daniel mengijinkan seseorang untuk masuk, maka seseorang itu akan terperangkap dengan kehidupannya.
Dan selama ini, semua perempuan yang Daniel kencani, tak ada yang dia ijinkan untuk datang ke rumahnya.
***
Mansion mewah milik keluarga Adyatama tampak ramai saat ini. Seluruh keluarga sedang berkumpul, bercanda tawa di ruang keluarga.
"Papa, Daniel adalah seorang pedofil." Keramaian yang ada di sini diawali oleh Nathan, si cerewet tentunya.
Dia baru saja masuk ke dalam kamar Daniel, kemudian membuka pesan masuk milik Caelia yang memanggilnya dengan sebutan 'Om'.
Uhuk!
Sontak, Evanne dan Yudistira sama-sama tersedak minuman yang saat ini sedang mereka minum. Keduanya saling pandang satu sama lain, kemudian beralih memandang Daniel yang sedang fokus pada buku bacaannya.
Daniel yang merasa tengah menjadi bahan pembicaraan sekaligus fokus dari apa yang kehebohan yang Nathan buat, menghela napasnya. Dia menutup buku miliknya, menoleh ke arah Yudistira dan Evanne yang menatapnya seolah meminta penjelasan.
"Itu tidak benar." Bantah Daniel dengan sangat tegas.
"Apa itu Caelia?" Tanya Yudisitira.
Bukannya Daniel yang menjawab, justru Nathan yang menyahut. "Iya! Tadi, aku lihat pesan dari Caelia yang memanggil Daniel dengan sebutan Om!" Sahut Nathan, mengundang amarah pada Daniel.
Tanduk iblis seakan mulai tubuh di atas kepala pria itu. Matanya menyorot tajam, seolah berniat membunuh adik kembarnya.
"Selisih usia kami sepuluh tahun. Bukankah memang seharusnya dia memanggilku dengan sebutan itu?" Daniel membuat sebuah pembelaan.
Yudistira dan Evanne mengangguk bersamaan, menyetujui ucapan pria itu. "Ya, memang seharusnya kau dipanggil dengan sebutan Om oleh nya. Tetapi, tidak seharusnya kau menjadikannya seorang kekasih." Tegur Evanne.
Daniel rasanya ingin mengatakan dengan jelas bahwa Caelia bukanlah kekasihnya. Dia hanya tertarik dengan sesuatu tersembunyi yang sepertinya gadis itu miliki.
Daniel entah mengapa merasa yakin bahwa Caelia menyembunyikan sesuatu yang sangat penting.
Tetapi, sayangnya bibir Daniel tidak bisa menyangkal hal itu. Entah mengapa, hati dan bibirnya seolah tertutup sangat rapat tanpa mau memberi keterangan atau pembelaan.
"Bertahun-tahun menolak banyak model dan artis. Ternyata, seleranya adalah gadis SMA." Cibir Nathan.
"Daripada kau? Memilih gadis yang usianya lebih tua lima tahun darimu. Sudah begitu, dia sangat jutek dan dingin. Sepertinya kau tidak dianggap olehnya." Balas Daniel tidak mau kalah. Dia sudah terlanjur tersulut emosi oleh Nathan, kembarannya hingga tanpa sadar mengatakan rahasia Nathan yang selama ini dia simpan baik-baik.
"Nathan?!" Suara Yudistira yang membentak Nathan membuat kembaran Daniel tersebut terdiam kaku. Dia menelan ludahnya kasar, melotot menatap Daniel penuh kebencian.
"Daniel sialan!" Umpatnya pada sang kakak kembar.
"Siapa, Nathan?!" Kini, giliran Evanne yang bertanya dengan suaranya yang meninggi.
Nathan menghela napasnya sejenak. Jika sudah begini, tak ada pilihan selain mengaku. "Dia... ehm, aku bertemu dengannya di... Club."
Nyaris saja Yudistira menjitak kepala putranya jika saja tak ada seorang pelayan yang tiba-tiba saja datang.
"Maaf, Tuan. Di depan ada tamunya Tuan Muda Daniel. Namanya Caelia." Kata pelayan tersebut.
Daniel menghela napasnya. Dia tahu gadis itu memang akan datang hari ini. Tetapi, mengapa situasinya sangat tidak tepat?
"Bawa dia ke depan Papa, Daniel! Papa harus tahu apakah kau diam-diam memperkosanya hingga dia mau denganmu."