Chereads / Ciuman Hangat Bos Arogan / Chapter 21 - Aroma Yang Mudah Dikenali

Chapter 21 - Aroma Yang Mudah Dikenali

Setelah melewati perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Melalui suasana pegunungan dan juga perbukitan yang begitu sejuk. Mereka akhirnya berhenti di sebuah bangunan yang cukup luas dengan suasana pegunungan yang menenangkan.

"Sanatorium?" Ryan Fernandez memandang sekeliling lokasi itu. Dia melihat beberapa perawat sedang berjalan-jalan bersama beberapa orang yang berpakaian seorang pasien. "Apakah kalian pikir aku sudah gila?" kesal Ryan karena mereka sudah menganggapnya sudah tak waras.

"Coba buka matamu dengan lebar! Sanatorium ini bukanlah rumah sakit jiwa," tegas Reine Fernandez pada kakak laki-lakinya.

Sanatorium itu hanyalah sebuah tempat khusus bagi mereka yang mengalami depresi. Entah itu depresi berat atau ringan yang hanya akan menjalani rawat jalan. Mereka semua akan mendapatkan perawatan yang terbaik di sana dengan seorang dokter yang hebat dan sangat kompeten.

Ryan akhirnya berjalan mengikuti adiknya yang sudah duluan. Dia menyadari jika Steve masih juga belum keluar dari mobilnya.

"Cepatlah keluar, Steve! Kamu bukan seorang sopir!" kesal Ryan karena asistennya itu tak segera menyusul mereka berdua.

Steve yang tadinya tak ingin ikut masuk, terpaksa keluar dari mobil dan menyusul mereka berdua. Hal itu dilakukannya bukan karena takut pada Ryan ataupun Reine, ia hanya tak mau jika sepupunya itu membuat keributan karena dirinya.

Tak ingin mengikuti Reine yang sudah memasuki gedung, Ryan dan Steve memilih untuk menunggu di sebuah ruangan yang cukup lebar dengan kursi yang berjajar rapi.

"Kita duduk di sini saja dulu," ajak Ryan pada sepupunya. Mereka berdua akhirnya duduk di sana sembari menunggu seseorang yang sedang ditemui oleh Reine.

Di sisi lain, Reine sedang berjalan sendirian mencari sebuah ruangan sesuai dengan petunjuk dari seorang perawat yang ditemuinya tadi. Tak berapa lama, akhirnya dia menemukan sebuah ruangan yang sejak tadi dicarinya.

Dengan sangat pelan, Reine mengetuk pintu di hadapannya. Sebuah suara yang terdengar lembut menyapa dan mempersilakan dia untuk masuk.

"Evelyn apa kabarmu?" sapa Reine pada sahabat lamanya itu. Mereka pernah tinggal di asrama yang sama saat masih kuliah. Sayangnya, sahabatnya itu memiliki urusan penting yang harus diselesaikan.

Perempuan yang cukup cantik dengan seragam dokter itu langsung bangkit dan memeluk sahabatnya. Sudah cukup lama mereka tak lagi tinggal di tempat yang sama.

"Reine .... Aku sangat merindukanmu. Ini sudah terlalu lama," ucapnya lirih tanpa melepaskan pelukannya.

Mereka berdua adalah dua sahabat yang sudah cukup lama tak berjumpa. Entah berapa lama, serasa bagai setelah kehidupan bagi mereka berdua. Meskipun mereka berdua kuliah di jurusan yang berbeda, Reine dan Evelyn tinggal di ruangan yang sama. Mereka berbagi banyak hal bersama.

"Di mana kakakmu? Bukankah dia yang akan berkonsultasi? Ataukah kamu juga ingin konsultasi dengan dokter sehebat aku?" goda Evelyn pada sahabatnya. Perempuan itu sangat tahu kisah menyakitkan yang dialami oleh Reine. Mereka selalu membagikan beban hidupnya satu sama lain.

"Jangan meledek aku, Eve! Aku semakin tersiksa saat kembali ke tanah air. Bisa memandangnya namu tak bisa memilikinya menjadi sebuah siksaan mengerikan bagiku," ungkap Reine atas perasaan di dalam hatinya. Selama bertahun-tahun dia harus terus menahan perasaannya pada Steve. Hal itu sangat menyakitkan baginya.

Evelyn melepaskan pelukannya lalu membuka pintu ruangan itu. Dia tak mendapati siapapun di sana.

Perempuan itu ingin melihat sosok lelaki yang selama ini diceritakan oleh sahabatnya.

"Di mana kakakmu? Kenapa tak ikut masuk ke sini?" tanya Evelyn dalam wajahnya yang sangat penasaran

"Sepertinya mereka menunggu di luar." Reine tak terlalu yakin di mana mereka berada. Dia mencoba untuk menghubunginya namun tak tersambung. Bahkan beberapa pesan yang dikirimkannya juga gagal.

Setelah tak bisa menghubungi mereka berdua, Reine berpikir jika hanya ada satu cara untuk menemukan dua lelaki yang datang bersamanya itu.

"Kita cari saja ke depan," ajak Evelyn pada sahabatnya. Sepertinya mereka berdua benar-benar satu hati. Bahkan Reine dan Evelyn memiliki pemikiran yang sama untuk mencari mereka ke depan.

Akhirnya ... dua perempuan tadi beranjak keluar meninggalkan ruangan itu. Mereka harus menemukan seseorang yang juga datang bersama Reine.

"Selain kakakmu, siapa lagi yang datang bersamamu?" tanya Evelyn sembari terus melangkah menuju ke pintu masuk utama Sanatorium itu.

"Sepupuku," jawab Reine singkat.

"Apa!" Dalam ekspresi terkejut, Evelyn tersenyum melihat sahabatnya itu. Dia sangat tahu jika sosok lelaki yang dicintai oleh Reine adalah sepupunya. Bisa jadi seseorang yang datang adalah orang yang sama.

Melewati ruang tunggu di depan pintu utama, mereka sama sekali tak menemukan siapapun. Akhirnya kedua perempuan itu keluar dari gedung itu. Ternyata ... mereka berdua sedang duduk di sebuah bangku yang ada di taman depan Sanatorium.

"Itu mereka!" tunjuk Reine pada dua orang lelaki yang duduk membelakanginya. Dari kejauhan mereka berdua tampak sedang duduk bersama tanpa melakukan apapun.

Dua perempuan cantik itu akhirnya berjalan ke arah taman. Mereka sedang menyusul kakak laki-laki dan juga sepupu dari Reine itu.

Semakin mendekat, Reine mempercepat langkahnya dan sengaja mengejutkan Ryan dengan menutup kedua mata lelaki itu. Rasanya sangat menyenangkan saat melihat wajah panik dari kakak laki-lakinya.

"Apa-apaan kamu, Reine!" protes Ryan saat adik perempuannya itu datang dan mengerjainya.

"Bagaimana kamu tahu jika ini aku?" Reine merasa penasaran dengan alasan Ryan bisa sangat yakin jika itu dirinya.

Ryan menarik adiknya lalu mendekatkan wajahnya ke arah tengkuk leher Reine. Seolah dia akan mencium perempuan muda yang selalu mengganggunya itu. Lelaki itu sama sekali tak peduli, saat Steve membulatkan mata ketika Ryan memperlakukan adiknya sedikit berlebihan.

"Dari aroma tubuhmu saja, aku sudah bisa mengenali kamu, Reine," jawab Ryan tanpa menjelaskan lebih rinci. Dia pun melirik Steve yang mendadak sangat kesal padanya. "Lihatlah matamu hampir terlepas dari tempatnya," sindir lelaki itu pada sepupunya.

"Aku akan mengenalkan sahabatku padamu. Dia adalah seorang psikiater hebat," ujar Reine sangat bersemangat.

"Apakah dia cantik? Aku tak mau konsultasi jika dia tak cantik," ancam Ryan tanpa menyadari jika seseorang yang sedang dibicarakan sudah berada di belakangnya.

Bahkan Steve juga tak menyadari sosok perempuan yang berdiri tak jauh dari mereka. Dia hanya fokus pada Reine yang sejak tadi begitu dekat dekat kakak laki-lakinya.

"Dia Dokter Evelyn, seorang psikiater dan juga sahabat dekatku." Reine memandang sosok perempuan berseragam dokter itu. Melemparkan sebuah isyarat agar dia segera menghampiri mereka bertiga.

"Datanglah ke sini, Eve!" panggil Reine pada sahabatnya itu.

Awalnya ... Ryan sama sekali tak tertarik dengan sahabat adiknya itu. Bahkan tak sedikit pun, ia menyambut kedatangan Evelyn di sana. Bersikap tak acuh dan seolah tak peduli pada perempuan itu.