Chereads / Ciuman Hangat Bos Arogan / Chapter 7 - Bad Ryan

Chapter 7 - Bad Ryan

Malam itu, Reine masih saja duduk sendirian di pinggir kolam renang yang berada di samping rumah. Menatap kosong sebuah pemandangan malam yang cukup indah dengan taburan bintang-bintang.

"Apa yang kamu lakukan sendirian di sana, Reine?" Tiba-tiba saja, Juan Fernandez sudah berdiri di belakang anak perempuannya, menyentuh bahu kanan adik dari Ryan itu.

Sontak saja, Reine langsung bangkit dari tempat duduknya. Kemudian ia pun membalikkan badan untuk melihat seseorang yang berada di belakangnya.

"Papa!" Seketika itu juga Reine memeluk erat ayahnya. Sudah sangat lama, ia tak berjumpa dengan seorang pria yang sangat menyayanginya itu. "Aku sangat merindukan Papa," ungkapnya penuh haru.

Mereka berdua lalu duduk di sebuah kursi yang sama. Menikmati dinginnya malam yang bertaburan bintang di angkasa. Banyak hal yang ingin dicurahkan oleh pasangan ayah dan anak itu.

"Bagaimana kabarmu, Reine? Bukankah kamu tampak sangat kurus?" Juan memperhatikan Reine dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Meskipun anaknya itu terlihat sangat cantik, tubuhnya sedikit kurus dan kurang berisi.

"Aku baik-baik saja, Pa. Bukankah tubuh kurus telah menjadi trend baru-baru ini " Reine tersenyum hangat pada ayahnya. Dia bisa melihat kekhawatiran di wajah sosok pria yang sedang duduk bersamanya.

Juan Fernandez menyentuh pergelangan tangan anak perempuannya. Kemudian ia melingkarkan jemarinya di sana.

"Ini bukan trend, Reine! Kamu tampak seperti seorang perempuan yang tidak terurus. Mengapa kamu memilih tinggal di asrama daripada di apartemen yang sudah Papa siapkan?" tanya Juan Fernandez dengan penuh kasih sayang. Dia tak mengerti alasan dari anaknya itu lebih memilih hidup menderita sendirian daripada menikmati kemewahan yang diberikan oleh keluarganya.

Setulus mungkin, Reine mencoba untuk mengulas senyuman pada ayahnya. Bukan karena ingin menyia-nyiakan fasilitas yang diberikan oleh keluarganya, dia hanya ingin merasakan kehidupan penuh perjuangan yang sebenarnya.

"Di asrama jauh lebih nyaman, Pa. Aku juga bisa tinggal bersama dengan teman-teman lainnya," kilah Reine Fernandez pada sang ayah. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Reine saat itu, dia memilih untuk hidup susah payah untuk melampiaskan rasa sakitnya akan penolakan Steve.

Bahkan Reine pernah bekerja paruh waktu di sebuah cafe yang tak jauh dari asramanya. Memang sangat melelahkan, semua itu dilakukannya agar ia mampu melupakan cinta pertamanya.

"Apa kamu sudah bertemu Ryan? Kakakmu itu benar-benar telah membuat papa sakit kepala memikirkannya," keluh Juan Fernandez pada sosok perempuan yang sudah cukup lama tak ditemuinya.

"Tentu saja sudah, Pa. Tadi Ryan dan juga Steve yang menjemput aku ke bandara. Memangnya ... apa yang sudah dilakukan Ryan?" Reine tentunya menjadi cukup penasaran akan sesuatu yang tampak sangat membebani ayahnya.

Juan Fernandez memandang anak perempuannya dengan wajah bingung. Dia tak tahu harus memulai dari mana. Semua yang dilakukan oleh anak sulungnya itu telah berhasil menguras hati dan pikirannya.

"Selama ini ... Ryan selalu saja mempermainkan banyak perempuan. Sudah belasan perempuan yang mendatangi rumah kita untuk menuntut pertanggungjawaban dari kakakmu. Untung saja ... mereka tak kembali setelah kita memberikan sejumlah uang pada perempuan-perempuan itu," cerita Juan Fernandez pada sosok perempuan muda yang duduk di sebelahnya.

"Apakah Ryan mengakui perbuatannya?" Reine tak menyangka jika saudara laki-lakinya bisa menjadi seperti itu. Seingatnya ... Ryan begitu mencintai seorang perempuan yang dulu menjadi kekasihnya. "Bagaimana dengan kekasih Ryan?" tanyanya lagi.

Saat itu juga, Juan Fernandez menunjukkan perubahan ekspresi yang signifikan. Kekecewaannya dan juga kecemasannya atas Ryan terlalu besar dan sulit untuk ditahannya lagi.

"Perempuan itu tiba-tiba saja menghilang dan menjadikan Ryan seperti monster yang mengerikan," jawab seorang pria yang begitu prihatin melihat anak sulungnya yang terus saja bermain dengan banyak perempuannya.

Reine tak menyangka jika sosok yang telah membuat kakaknya menjadi tak punya hati adalah kekasihnya sendiri. Dia merasa ada yang aneh dengan kisah mereka. Sangat jelas diingatannya .... Ryan dan juga kekasihnya itu tampak saling mencintai satu sama lain. Bahkan mereka berdua telah merencanakan sebuah pernikahan.

"Apa yang sebenarnya telah terjadi, Pa?" tanya Reine pada ayahnya.

"Papa tak peduli, apa yang sudah terjadi di masa lalu Ryan. Papa hanya ingin Ryan bersikap sebagai pria yang baik bukan seperti sosok pria yang menjajakan dirinya," keluh Juan Fernandez atas segala kelakuan buruk yang selama ini selalu dilakukan oleh anak sulungnya. Hal itu benar-benar telah mempermalukan Keluarga Fernandez.

Hanya terdiam dan juga membenamkan diri dalam banyak pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban. Reine merasa tak berdaya berada dalam situasi seperti itu. Dia merasa jika Ryan membutuhkan bantuan seorang psikiater untuk memperbaiki dirinya.

"Dan satu lagi, Reine .... Ryan juga mengalami ketergantungan pada minuman keras. Papa sudah tak bisa lagi menanganinya." Selama ini Juan Fernandez seakan tak peduli pada anak sulungnya itu. Padahal sebenarnya dia sangat mengkhawatirkan kondisi kejiwaan dari anaknya itu.

"Andai aku seorang psikolog atau psikiater ... segalanya pasti akan jauh lebih mudah. Tiba-tiba aku merasa mengambil sebuah jurusan yang tak berguna." Reine tampak sangat menyesal tak bisa melakukan apapun untuk Ryan. Tak pernah dibayangkan sebelumnya jika kakaknya itu harus merasakan sakit hati yang cukup mengoyakkan hatinya.

Juan Fernandez merasa tersentuh dengan perkataan Reine yang harus saja. Dia baru menyadari jika anak perempuannya itu begitu peduli dengan saudara laki-lakinya. Rasanya sangat bangga memiliki seorang anak seperti dia.

"Tak perlu menyesalkan apapun. Kita bisa mencarikan seorang psikiater untuk membuat Ryan bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik lagi," hibur Juan Fernandez saat melihat kekecewaan Reine atas dirinya sendiri. Dia tak ingin jika anak perempuannya itu terus menyalahkan dirinya sendiri. "Lebih baik kita masuk, Reine. Udara sudah semakin dingin," pria itu menarik tangan anaknya agar bergegas masuk ke dalam rumah.

Baru juga masuk beberapa langkah memasuki ruang tengah rumah itu, mereka dikejutkan dengan keberadaan Steve yang sudah bersiap untuk pergi.

"Mau ke mana kamu, Steve?" Sebuah pertanyaan langsung dilontarkan oleh Juan Fernandez begitu melihat keponakannya itu akan pergi malam-malam begitu.

Seketika itu juga Steve langsung menghentikan langkahnya dan memalingkan wajah ke arah mereka. Dia tak menyangka jika Juan Fernandez dan juga Reine masih belum beristirahat. Padahal ia berencana untuk kabur secara diam-diam tanpa sepengetahuan mereka semua.

"Om .... " Steve tampak membelalakkan mata saat melihat mereka berdua. "Ada seseorang yang sedang membutuhkan bantuanku, Om," jawabnya dengan ragu-ragu.

"Jika bantuan itu tak benar-benar sangat darurat, lebih baik kamu pergi besok pagi saja," tegas Juan Fernandez pada seorang pria muda yang tak lain adalah keponakannya sendiri. "Temani kami mengobrol di sini!" Entah itu sebuah permintaan ataupun bujukan, bagi Steve ucapan itu justru terdengar seperti sebuah perintah untuk dirinya. Dia pun tak mungkin menolak hal itu.