"Bagaimana kartu identitas Angel tak menunjukkan jika dia warga sini? Apakah dia seorang turis?" Ryan tak percaya jika kartu identitas yang dipakai untuk menyewa kamar hotel sama sekali tak membantunya.
Steve juga tak menyangka jika Angel berkebangsaan Amerika. Bahkan di dalam id card, dia tinggal di sebuah negara bagian di Amerika.
"Bukankah wajah Angel tampak seperti warga lokal?" tanya Steve pada sepupunya.
"Ternyata semua tak semudah dugaanku. Aku yakin ada sesuatu yang sengaja dirahasiakan oleh Angel." Ryan merasa telah kehilangan harapan terakhirnya. Perempuan itu tak bisa ditemukan di mana-mana, bak ditelan bumi.
Namun ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh Ryan. Segala kekecewaannya telah membuat pria itu melupakan sebuah informasi penting mengenai perempuan itu. Sudah beberapa kali, Ryan menarik rambutnya karena merasa begitu frustrasi. Baru kali ini ada seorang perempuan yang terlalu sulit untuk ditaklukkan.
"Antar aku ke apartemen, Steve. Suasana hatiku sangat buruk. Aku tak mungkin memperlihatkannya pada nyonya besar." Ryan berjalan lebih cepat menuju ke mobil yang tadi membawa mereka berdua. Dia tak ingin kembali ke kediaman Fernandez. Jika ayahnya sampai mengetahui kegalauan itu, pria itu pasti akan melakukan sesuatu yang tak terduga.
Tanpa banyak bertanya, Steve bergegas masuk ke dalam mobil. Dengan kecepatan tinggi, lelaki itu melajukan mobilnya menyusuri jalanan di malam hari. Jalanan yang cukup sepi membuat mereka berdua bisa dengan cepat berada di depan gedung pencakar langit di pusat kota. Steve menghentikan mobil di depan lobby apartemen itu.
"Keluarlah! Aku juga harus segera beristirahat. Seharusnya kamu membayarkan uang lembur padaku," cetus lelaki yang selama ini selalu banyak membantu Ryan dalam melakukan banyak pekerjaan.
"Dasar! Dengan sepupu sendiri saja kamu mata duitan ... " kesal Ryan pada lelaki yang sejak tadi bersamanya. Mereka berdua memang kerap bersitegang untuk masalah-masalah sepele. Tak jarang dua lelaki itu saling memukul hanya untuk melampiaskan ego masing-masing.
Steve tersenyum sinis pada sepupu dan juga bos-nya sendiri. Dia sama sekali tak mempermasalahkan besar kecilnya uang. Hanya saja, Ryan terlalu sering merepotkan dirinya dengan banyak kekacauan yang sangat merepotkan.
"Masuklah! Besok pagi aku akan menjemputmu untuk datang ke kantor," usir Steve pada bos-nya sendiri.
"Cihhh!" Ryan tampak sangat kesal karena Steve sengaja mengusirnya keluar. Tanpa diusir pun dia pasti juga akan segera meninggalkan mobil itu.
Begitu sepupunya telah pergi, Ryan langsung memasuki gedung pencakar langit itu. Dia bergegas ke apartemennya untuk melepaskan lelah dan juga kegusaran di dalam hatinya.
Begitu membuka pintu, Ryan melemparkan sepatunya ke sembarang arah. Membuka kancing kemejanya lalu membuangnya ke lantai seperti sampah. Lelaki itu berjalan menuju ke sebuah lemari kaca di mana ia biasa menyimpan beberapa botol minuman keras.
Diambilnya sebotol dalam sekejap saja, Ryan sudah hampir menghabiskan setengah dari isinya. Sebenarnya dulu Ryan bukanlah seorang peminum alkohol. Namun setelah kekasihnya tiba-tiba menghilang, dia seperti orang tak waras yang menenggak minuman memabukkan itu hingga tak sadarkan diri. Hal itu terjadi secara berulang kali. Untung saja ... Steve selalu berhasil menyelamatkan Ryan saat berada di antara hidup dan mati.
"Brengsek! Kemana perginya Angel?" Ryan berteriak sembari melemparkan sebuah gelas kaca yang berada di hadapannya. Dia merasa tak berguna, saat tak bisa menemukan seorang perempuan yang berhasil menggugah hatinya setelah sekian lama.
Rasa sakit kepala yang cukup menyiksa dirasakan Ryan setelah menghabiskan sebotol minuman itu. Dia beranjak menuju ke kamarnya dengan langkah yang terseok-seok dan hampir saja tersungkur ke lantai .
"Aku harus menemukanmu, Angel!" Lelaki itu terus bergumam dengan mata terpejam. Entah sadar atau tidak, Ryan sama sekali tak berhenti memanggil nama Angel. Hingga setelah beberapa lama, dia mulai tenggelam dalam mimpinya.
Waktu berjalan begitu cepat. Saat mentari pagi mulai menyapa, Ryan masih saja terlelap di dalam kamarnya. Dia telah melupakan sesuatu yang sangat penting. Lima menit lagi tak bangun, pintu kamarnya pasti akan berhasil diterobos oleh seseorang. Dan hal itu tentu saja benar ....
"Ryan!" teriak Reine di depan pintu apartemen dari kakaknya. Tak kunjung dibukakan pintu, perempuan itu langsung menerobos masuk tanpa menunggu sang empunya.
Menyaksikan kondisi apartemen yang hancur seperti kapal karam, Reine memijat pelipisnya sendiri. Sebuah ruangan yang sangat berantakan dan terlihat begitu memuakkan untuknya.
"Cepat bangun, Ryan!" Perempuan itu kembali berteriak keras sembari menarik paksa sosok lelaki yang masih saja terlelap di atas ranjang. Tak kunjung bangun, Reine langsung mengambil sebotol air mineral di dalam tasnya dan mengguyur kepala Ryan.
"Apa-apaan ini!" protes Ryan yang terpaksa bangkit dari ranjang saat merasakan guyuran air di kepalanya. Dia memaksakan diri untuk membuka matanya dan melihat sosok orang yang berani melakukan hal seperti itu padanya.
"Reine! Kamu sudah gila?" seru Ryan yang masih berada di antara sadar dan tidak.
Perempuan itu justru terkekeh, dengan senyuman lebar penuh kemenangan. Reine merasa sangat puas bisa melakukan hal itu pada saudara laki-lakinya.
"Kamu yang sudah gila, Ryan! Bagaimana kamu bisa tinggal di tempat yang menjijikkan ini? Lihatlah! Sepertinya gudang tua yang sangat kotor. Cepat bersihkan dirimu! Kita akan berangkat menemui temanku," ucap Reine dalam nada dingin penuh kekesalan. Rasanya tak tahan berapa di sebuah apartemen di mana kakaknya tinggal.
"Teman apa? Aku tak mau dijodohkan dengan temanmu itu!" tolak Ryan atas perkataan adiknya. Sepertinya lelaki itu telah melupakan jika mereka akan bertemu dengan seorang psikiater.
Merasa tak tahan dengan kondisi Ryan yang sangat menyedihkan itu, Reine pun mendorongnya hingga memasuki kamar mandi. Dia harus memaksa Ryan untuk segera bergegas.
"Mana ada temanku yang mau dijodohkan denganmu? Dasar bodoh! Bersiaplah! Kita bertemu dengan psikiater, sebelum papa menyeret tubuhmu yang sangat menyedihkan itu," terang Reine pada lelaki yang tak hidup dengan baik.
Reine keluar dari kamar itu, memandang sekeliling ruangan. Apartemen itu tergolong luas dan cukup mewah. Hanya saja, lelaki bodoh itu sangat tak berguna hingga menyulapnya menjadi sangat menjijikkan.
Perempuan itu berdiri di dekat jendela kaca besar dengan pemandangan seluruh kota. Reine menghela nafasnya pelan, tersenyum tipis pada dirinya sendiri.
"Bahkan aku tak jauh menyedihkan dari dirimu, Ryan," ucapnya lirih dalam raut muka yang berubah drastis. Hanya luka dan kesedihan yang tersirat dalam setiap guratan wajah Reine.
Perempuan itu masih saja tak mampu melepaskan perasaannya pada Steve. Terlalu sulit bagi Reine untuk melupakan sepupunya itu.
"Reine!" Sebuah suara yang sangat familiar terdengar di belakang perempuan itu.
Reine membalikkan badannya dan terkejut mendapati seseorang yang sudah berdiri tak jauh darinya.