Harus menerima sebuah pengusiran yang cukup melukai harga dirinya, Ryan Fernandez memutuskan untuk meninggalkan hotel itu. Untuk sementara dia harus memberikan sedikit waktu untuk sosok perempuan itu. Memaksakan keinginannya pun juga akan sangat percuma.
Angel bukanlah sosok perempuan yang begitu gampang ditaklukkan lalu bisa dibuangnya kapan saja. Hal itu membuat Ryan merasa sangat tertantang dengan wanita yang baru saja disewanya itu.
Sampai di rumahnya, Ryan itu melihat adik perempuannya yang baru saja selesai berbicara dengan sang tuan rumah. Sebenarnya dia tak ingin pulang ke rumah kelurganya itu. Namun Diana Fernandez terus saja menghubunginya, dan Ryan ... tak pernah bisa menolak keinginan ibunya. Mau tak mau dia pun pulang ke rumah Keluarga Fernandez.
"Ryan! Aku ingin berbincang denganmu sebentar," ucap Reine pada kakak laki-lakinya.
Pria itu memandang adiknya penuh tanya, Ryan penasaran dengan apa yang ingin ditanyakan oleh adik perempuan yang sudah cukup lama tinggal di luar negeri. Ada perasaan tak enak saat Reine mulai menghampirinya. Sebuah firasat buruk yang sangat terasa dan seolah sangat mengancamnya.
"Soal apa?" Tanpa basa-basi, Ryan langsung saja menanyakan hal itu secara langsung pada adiknya.
"Papa dan mama sudah sepakat untuk membawamu ke psikiater. Minggu depan aku akan membuat janji dengan sahabat dekatku yang menjadi lulusan terbaik di kampusku. Kebetulan sekali dia sedang berada di negara ini." Reine mencoba menjelaskan rencana kedua orang tuanya untuk membawa kakaknya itu ke psikiater.
"Kalian pikir aku sudah tak waras? Bahkan kalian memperlakukan aku seperti orang gila," kesal Ryan pada mereka semua. Dia tak bisa mengerti, apa yang sebenarnya telah dipikirkan oleh seluruh orang di rumah mewah itu.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Ryan bergegas masuk ke dalam kamar dalam suasana hati yang sangat buruk. Dia tak habis pikir jika kelurganya beranggapan jika dirinya sudah gila. Duduk sendirian dalam suasana tak nyaman dan tentunya sangat kesal. Ryan terus memandang langit-langit-langit di dalam kamarnya.
Secara mengejutkan Juan Fernandez sudah berdiri di depan kamarnya dan menatapnya sangat tajam. Sebagai orang tua, dia hanya ingin anaknya hidup dengan sebaik mungkin. Entah bagaimana caranya, dia akan berusaha mengupayakan yang terbaik untuk Ryan.
"Jika kamu masih waras ... minggu depan temui psikiater! Konsultasikan ... mengapa kamu tak bisa berhenti mempermainkan wanita!" Juan Fernandez tak lagi menahan diri seperti biasanya. Dia sengaja meluapkan segala kekesalan di dalam dirinya.
"Aku hanya belum menemukan sosok perempuan yang tepat saja, Pa!" seru Ryan pada seorang penguasa dari rumah itu. Alasan itu juga yang membuat Ryan terlalu malas untuk pulang. Pria tua itu pasti selalu mencari masalah dengannya.
Tak pernah sekali pun Ryan langsung mendengarkan ucapan ayahnya. Hal itu semakin membuat pria tua itu semakin murka atas anaknya sendiri. Wajahnya sangat geram dalam emosi yang menggelora, seolah akan meledakkan kepalanya.
"Papa tak ingin berdebat denganmu! Papa akan meminta Reine untuk menemanimu Minggu depan," tegas Juan Fernandez sebelum keluar dari kamar anaknya. Dia sudah tak bisa mentolerir anak sulungnya lagi. Terlalu banyak hal yang telah dilakukan oleh Ryan dan sangat mempermalukan keluarganya.
Ryan hanya tersenyum kecut memandang kepergian ayahnya. Rasanya sangat menyesakkan saat pria tua itu mencoba memaksakan keinginannya. Entah mengapa, Juan Fernandez tiba-tiba begitu peduli padanya. Semoga saja hal itu bukanlah sebuah rencana yang sedang disusun oleh keluarga besarnya.
Sejak awal, dia sama sekali tak tertarik untuk kembali ke rumah itu. Dan ternyata ... firasatnya benar-benar terjadi. Ada-ada saja yang terjadi di dalam rumah itu.
"Itu semua demi kebaikanmu!" celetuk Reine yang tiba-tiba sudah berada di sana. Perempuan itu bisa melihat kekesalan Ryan atas ayahnya. Pria itu sudah tak bisa dirinya lagi.
"Apakah kamu datang ingin mendukung keinginan papa? Lebih baik kamu keluar dari sini," usir Ryan pada adik perempuan yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya.
Bukannya keluar dari kamar itu, Reine justru masuk ke dalam kamar kakaknya lalu duduk di sebelahnya. Perempuan itu menatap lekat pada sosok pria yang tampak begitu kesal atas kejadian tadi.
"Papa dan mama sangat mengkhawatirkan dirimu. Kumohon ... lakukanlah untuk mama," bujuk Reine dalam tutur katanya yang begitu lembut dan juga sangat perhatian.
Mendengar kata 'mama' hati Ryan Fernandez bergetar hebat. Nama itu selalu saja membuatnya tak berdaya. Seorang ibu adalah penguasa seluruh hidupnya. Dia tak mungkin bisa menolak atau menyanggah setiap kata yang diucapkan oleh Diana Fernandez.
"Okay! Aku akan berangkat bersamamu, Reine. Bukankah kamu juga harus ke kantor?" Ryan tentunya sangat mengingat jika adiknya itu mulai mengurus perusahaan ayahnya. Pria tua itu secara perlahan melepaskan perusahaan pada Reine.
Sebuah jawaban yang cukup melegakan bagi Reine. Rasanya sangat tenang setelah kakaknya itu sudah menyetujui apa yang diinginkan oleh keluarganya.
"Apakah kamu tak kembali bersama Steve?" tanya perempuan yang sejak tadi terus memandangi wajah kakaknya.
"Hari ini aku tak ke kantor. Steve yang mengurus semua pekerjaanku," jawab Ryan masih dalam wajah yang begitu masam karena masih belum bisa menerima keputusan keluarganya.
Reine merasa ada yang aneh dengan kakaknya, seharian penuh dia tak berapa di rumah Keluarga Fernandez ataupun apartemennya. Lalu ... Kemana sebenarnya Ryan pergi? Pertanyaan itu yang sejak seharian mengusik kepalanya.
Sejak pagi dia menghubungi saudara laki-lakinya itu, sama sekali tak ada jawaban dari Ryan. Perempuan itu akhirnya mendapatkan sebuah tempat di mana selama ini Ryan tinggal. Reine juga tak mendapati siapapun di sana. Dia pun semakin penasaran dengan aktivitas apa saja yang sudah dilakukan oleh Ryan seharian itu.
"Apakah seharian kamu menghabiskan waktu bersama seorang perempuan?" tanya Reine pada kakaknya. Rasanya dia juga tak bisa menerima jika Ryan terus-menerus mempermainkan wanita. Dia juga merasa tersakiti jika sosok pria yang disayanginya berbuat semena-mena.
"Ya!" Dua huruf yang dikatakan oleh Ryan sudah menjelaskan semuanya. Pria itu tak ingin menjelaskan apa saja yang sudah dilakukannya selama seharian itu. Dia memilih terdiam saja dan membuat Reine semakin penasaran akan semua yang sudah dilakukannya.
Perempuan itu menarik rambutnya sendiri dengan frustrasi. Akhirnya dia mulai memahami kekhawatiran ayah dan juga ibunya akan Ryan. Rasanya sungguh sangat memperihatinkan di mata Reine saat melihat kelakuan kakaknya.
"Pantas saja Mama benar-benar sangat stress memikirkan kamu, Ryan," ucap Reine tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku akan berusaha untuk mempercepat pertemuan kalian berdua. Kamu tak perlu khawatir, temenku adalah seorang perempuan yang sangat cantik dan juga baik." Ingin rasanya Reine segera melakukan pertemuan dengan sahabatnya itu. Sayangnya ... psikiater itu sedang mengurus beberapa pekerjaannya sendiri.