Seorang pemuda berjalan santai di lorong menuju ke arah kantin sekolah. Melewati beberapa kerumunan anak-anak gadis yang menatapnya dengan tatapan memuja seolah-olah dia adalah malaikat yang turun ke bumi. Pemuda itu tidak menghiraukan, tujuannya hanya mendatangi seorang gadis yang sedang duduk di meja kantin bersama teman-temannya sembari memainkan rambut yang menjadi simbol kecantikan anak-anak perempuan. Gadis itu Augine, terlihat bingung saat melihat Giovani berdiri dihadapannya dan mengatakan ingin bicara empat mata. Pertama kalinya seorang Giovani mendatangi seorang gadis untuk mengajak bicara berdua saja, biasanya ia akan menolak jika gadis lain memintanya begitu tapi kali ini dia sendiri yang meminta seorang gadis. Augine nampak kaget, ia tak merespon cepat karena memang ini tidak pernah ia perkirakan. Sama halnya dengan Augine, Lily dan yang lain juga nampak heran melihat kelakuan Giovani. Namun, tak berselang beberapa lama Augine nampak menormalkan ekspresi wajahnya.
"Maaf, tuan Wang kau bicara apa? Aku rasa pendengaranku kurang jelas, bisa kau ulangi?" tanya Augine.
"Kita harus bicara berdua, sekarang!" ucap Giovani dengan nada memerintah, benar-benar anak laki-laki dominan kesukaan gadis-gadis di sekolah ini.
Batin Augine bersorak gembira, sepertinya Giovani sudah mulai menyukai Augine. Tidak bisa, ia tidak boleh terlihat senang. Ia harus bersikap lebih jual mahal, biarkan saja Giovani mengemis dulu.
"Kau tak lihat, aku sedang istirahat bersama teman-temanku. Aku tak ada waktu untuk bicara denganmu karena itu membuang waktuku," balas Augine membuat Lily menatapnya kaget.
'Apa Augine bodoh? Kesempatan tidak datang dua kali,' teriak batin Lily.
Giovani terkekeh sinis mendengar penuturan Augine, "Bicara denganku tidak akan membuang waktu yang kau gunakan untuk bergossip, mulut lebar."
Augine menatap Giovani kaget, gadis itu nampak kesal mendengar julukan tidak menyenangkan diakhir penuturan Giovani padanya.
"Apa?! Aku tak akan pergi," ucap Augine.
"Aku tidak sedang meminta, aku sedang memerintah. Mau tidak mau kau harus ikut aku, jika tidak aku akan memberitahu Mr. Thompson kalau kau yang meletakkan permen karet dikursinya, " balas Giovani panjang lebar.
"Apa?! Kau tidak bisa melakukan itu," balas Augine terpancing.
"Aku bisa, dan kau harus menghabiskan libur musim panasmu dengan mengulang semua materi miliknya," balas Giovani.
"Argh, baiklah aku ikut," ucap Augine pasrah.
"Kau tidak akan menang berdebat denganku," ucap Giovani dengan seringai mengejek kemudian pergi meninggalkan kantin.
"Ikuti aku."
"Ugh sial, bagaimana dia bisa terlihat brengsek dan tampan disaat bersamaan?" ucap Augine kesal setengah mati lalu mengikuti Giovani.
"Iya dan sialnya kau menyukai si brengsek itu," ucap Lily dengan helaan nafas yang diangguki teman-temannya.
Augine melangkahkan kakinya mengikuti kemana Giovani melangkah. Mereka berdua sampai di atap, tempat dimana biasanya anak-anak seusia mereka suka membolos dan merokok bersama. Augine menghentikan langkahnya saat melihat Giovani berhenti dan menatap kearah siswa yang sedang bermain baseball. Mereka mengalami keheningan beberapa saat, hingga rasanya Augine ingin mengutuk waktu. Setidaknya jangan dengan aura dingin yang Giovani keluarkan sejak mereka tiba di atap, dia lebih rela Giovani dia tidak menghiraukannya sama sekali.
Giovani berbalik dan menatap Augine datar. Gio nampak mengamati Augine dari segala sisi, tahi lalat di pergelangan kaki.
"Hey, kau mau bicara atau apa?" tanya Augine pada akhirnya.
"Kau tahu tentang kepala kucing?" tanya Giovani.
Augine mengernyit, "Maksudmu?"
"Kau mengirim sebuah kepala kucing pada Gloria?" tanya Giovani lagi.
"Apa?! Kau mengira kalau aku mengirim hal seperti itu ke adikmu?" tanya Augine.
"Kau tidak memiliki hubungan baik dengannya kan?" balas Giovani.
"Tentu, tapi aku tidak tertarik menyakitinya dengan cara meneror," balas Augine.
"Sungguh?! Lalu dengan apa kau akan melakukannya? Masuk ke kamarnya saat dia tertidur?" balas Giovani sembari mendekati Augine dengan suara mengintimidasi.
"Kalau aku memang ingin balas dendam aku lebih baik memukulnya secara terang-terangan, itu lebih baik daripada bersikap seperti psiko," balas Augine sedikit geram.
Giovani mendekat, mensejajarkan wajahnya dan Augine sehingga mereka bisa merasakan deru nafas satu sama lain. Pandangan mata Augine tertuju ke bawah, entah kenapa ia tak punya keberanian sedikitpun untuk menatap mata milik Giovani.
"Kau tahu? Karena aku tak memiliki bukti yang kuat aku akan membebaskanmu, tapi kau masuk kedalam daftar hitamku. Jika itu adalah kau dan sampai adikku kenapa-napa aku akan melakukan hal lebih buruk dari yang kau kira," ucap Giovani dingin.
Augine tak menjawab, ia seperti bisu dalam sesaat. Giovani berjongkok dihadapan Augine, meraih tali sepatu milik Augine dan mengikatnya karena memang sejak tadi tali sepatu ini tidak terikat sama sekali. Semua perlakuan itu tidak lepas dari pandangan Augine, seharusnya pipinya menghangat tapi ia terlalu takut dengan ancaman Giovani sebelumnya. Giovani berdiri dan meninggalkan Augine di atap sendirian, sepertinya Augine tidak berbohong kalau memang bukan dia yang meneror Gloria.
Giovani melangkahkan kaki tangga dan berniat kembali ke kelasnya. Pikirannya kembali pada Augine, tidak ada tahi lalat di pergelangan kaki Augine. Kalau begitu kecil kemungkinan untuk Augine adalah seorang peneror.
Setibanya dikelas Giovani tidak mendapati siapapun didalam, mungkin karena ini masih waktu istirahat makan siang untuk semua orang. Giovani mendudukkan dirinya dikursi, kepalanya sangat berat akibat tidur terlalu sebentar. Giovani mulai memposisikan dirinya untuk tidur, entah sejak kapan ia sudah hanyut kedalam mimpinya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat kearahnya, tapi sayangnya kepalanya terlalu berat untuk sekedar membuka mata. Rasa pening menjalar ke seluruh kepalanya dan dia tidak memiliki cukup tenaga untuk menahannya. Suara langkah itu terhenti bersamaan dengan elusan pada surai Giovani. Elusan lembut yang bisa membuat Giovani tenang dalam tidurnya seolah-olah ini adalah nyanyian yang biasa Hillary nyanyikan saat ia masih kecil. Giovani tak memiliki tenaga yang cukup, sejak tadi meskipun ia berusaha membuka matanya untuk melihat sosok yang mengelus rambutnya tapi kantuknya malam makin parah. Giovani seperti dipaksa tidur pada tiap elusan yang ia rasakan.
Akhirnya, Giovani hanyut tak sadarkan diri tanpa memperdulikan sosok yang sedari tadi tersenyum sambil mengelus rambutnya. Sosok yang berusaha memberikan kenyaman pada Giovani, walaupun harus berlaku seperti ini. Mengetahui Giovani tidak menolak perlakuannya sosok itu tersenyum senang. Jari-jarinya menelusuri wajah Giovani yang bagaikan sebuah pahatan patung kayu sempurna. Mengusap pelan bibir merah muda Giovani. Sosok itu mendekat, berusaha menyentuh Giovani lebih jauh tapi sebuah suara menghentikan aksinya. Tubuh sosok misterius itu mematung mendengar kalimat yang keluar dari mulut orang yang baru datang itu.
"Aku akan membunuhmu jika kau berpikir untuk melakukan hal lebih dari itu," ucap sebuah suara terdengar menusuk dan dingin.
Gloria, disana berdiri Gloria dengan tatapan tajam menatap kearah sosok misterius itu. Sayangnya Gloria nampak berbeda dengan tatapan kosongnya dan kuku tangan yang menyerupai cakar. Ia terlihat siap mencabik sosok di hadapannya ini jika memang diperlukan. Jangan lupakan senyuman aneh yang Gloria tampilkan pada wajahnya.
Dia bukan Gloria!