"Hentikan!"
Suara itu menghentikan Papa yang hendak menamparku.
"Mama?" Papa terlihat terkejut melihat kedatangan oma yang tiba-tiba.
"Apa-apaan kamu, Abrham?" Oma berjalan mendekati aku dan Papa.
Wajah cantiknya tak pudar meski kini umurnya hampir menginjak kepala tujuh.
"Kenapa kamu, Alicia?" tanya Oma sembari mengelus rambutku dengan lembut.
Aku sama sekali tak menjawab, jika mengingat itu rasa benci kembali hadir lagi. Dimana aku saat kecil hidup bersama Oma, sedangkan papa merantau ke kota.
Keluarga papa memang kaya tapi sering mengalami jatuh bangun.
"Cia, hei oma tanya kenapa kamu diam saja?" cibir Oma ia mentapku dalam.
"Aku tidak apa-apa," jawabku ketus.
Hati ini tahu siapa yang menyayangiku dengan tulus dan siapa yang hanya berpura-pura.
"Dan siapa wanita ini, Bram?" tanya Oma mendekati Zena lalu, memperhatikan wajahny dengan seksama.
"Dia--," ucap papa terbata-bata.
Baru kali ini aku melihat seorang Abraham Ferguson Monata merasa gugup.
"Dia calon istriku, Ma," ungkap Papa, matanya menatap kearah Zena penuh cinta.
Sangat berbeda saat papa menatap mama, saat berada bersama mama papa tak menunjukkan sifat baik.
Kala itu saat aku hendak masuk ke dalam ruangan tempat dimana mama di rawat.
Papa sedang memaki-maki mama, mengatai bahkan menghina wanita yang telah melahirkan aku ke dunia ini.
"Kapan kamu bangun, Laura. Aku juga butuh belaian, jangan salahkan aku jika aku memiliki wanita lain."
Kata itu yang selalu terdengar di telingaku, sejak saat itu juga ada rasa benci menyelinap dalam hati.
"Apa, kamu teman sekolah Cia?" terdengar Oma menyebut namaku.
"Iya, Ma. Aku dan Alicia berteman dekat," ujar Zena dengan wajah sumringah.
Teman dekat? Ya itu dulu, sekarang aku tak sudi menganggapmu sahabat. Kenal dengan dirimu saja bagiku suatu kesalahan.
"Berarti Bram kamu seperti menikahi anakmu sendiri," kata Oma tak henti-hentinya wanita tua itu tersenyum.
"Menjijikan," celaku.
Spontan saja mulutku berkata, Oma dan Papa langsung menatap kearah ku tajam.
Wajah Oma terlihat marah begitu juga dengan Papa.
Rahang papa mengertak menahan emosi.
"Kamu bilang apa, Cia?" Perlahan Oma berjalan mendekatiku.
"Menjijikan!"
Plak...
Satu tamparan mendarat di pipiku pagi ini, membuat darah di dalam tubuhku mendidih.
"Jaga bicaramu, Cia. Apa kamu sudah tak punya sopan santun! Hah!"Oma berteriak sangat keras membuat beberapa asisten rumah tangga menengok kearah ruang makan.
"Kenapa? Memang kenyataan, laki-laki yang suka gonta-ganti wanita itu menjijikan!" teriaku. Aku tak mau kalah dengan Oma, walaupun beliau lebih tua tapi aku tak peduli.
"Bram, urus dulu anakmu ini. Kenapa mulutnya kotor sekali. Apa Laura tak pernah mengejaringa?"
Heh, mama lagi kenapa jika aku menjadi anak yang pemrontak harus seorang mama yang di salahkan. Tugas membimbing anak bukannya tugas kedua orang tua?
Kenapa disini hanya mama saja yang di salahkan? Lalu bagaimana dengan papa?
"Alicia, jaga ucapamu!" bentak Papa, kedua bola matanya menatapku tajam.
"Sudah, Mas, malu di dengar karyawan di rumah," ucap Zena mencoba menenangkan papa.
Jujur saja berada di depan Meraka berdua membuat aku merasa muak. Apalagi Oma dengan segala sandiwara yang ia buat.
"Kalau papa ingin aku baik ubah dulu sikap papa," kalimat itu keluar dari mulutku. Membuat hatiku sedikit lega.
"Cia, apa maksud kamu?" Oma yang sedang duduk di kursi meja makan segera beranjak bangun.
"Apa pantas istri sedang suami asik-asikan bersama wanita lain, hargai perasaan mama, apa karena mama sudah tak berdaya lagi itu yang membuat papa tega melakukan ini kepada mama? Iya?"
Plak!!!
Papa menamparku sangat keras, membuat pipi ini terasa amat perih.
"Anak kecil tau apa? Jangan coba mengurui papamu! Paham!"
"Mas." Zena berlari menghampiri papa," sudah jangan begitu Mas, dia masih kecil."
Mendegar kata-kata itu membuat telingaku geli, Zena berusaha merendamkan kemarahan seorang Abraham.
Aku yakin ini semua adalah sandiwara.
Betul kata syair dunia hanya pangung sandiwara.
Zena mencoba menenangkan papa, segara aku langkahkan kakiku menuju pintu depan.
"Ganti pakaianmu ingat banyak metting hari ini!" teriak Papa.
**************
Sungguh pagi yang menjengkelkan, entah mengapa hidupku di kelilingi orang-orang bermuka dua alias pengkhianat dan juga munafik.
Kulajukan mobil dengah kecepatan tinggi, yah inilah caraku melampiaskan kemarahan.
Tujuanku kali ini adalah tempat Bryan seorang bartender di sebuah diskotik.
Lima belas menit berlalu kini aku sampai di rumah Bryan.
Tak lama dia keluar dari dalam rumah sambil membawa dua paper back.
"Nih, pagi-pagi mau buat apa?" ujarnya sambil menggelengkan kepala.
"Buat syarat," kataku lalu mengambil paper back dari tangannya.
"Alicia lu tu cantik anak orang kaya ceo pula, seperti apa para collega perusahaan lu nanti tahu rekan bisnisnya doyan mabuk pagi hari," celoteh Bryan dengan gaya mentor.
"Berisik amat si, Lu. Yang penting dapat duit kan. Hari ini gua ada metting tapi gua males banget."
"Hahaha."
Tiba-tiba Bryan tertawa, apakah ada yang aneh pada diriku. Setelah mendengar kata metting, Bryan tertawa lepas.
"Ya udah gua cabut dulu ya," aku pamit.
Namun, entah mengapa saat aku hendak masuk ke dalam mobil Bryan berlari mengejarku dan mengatakan sesuatu.
"Kalau kamu tidak keberatan bisa enggak nanti malam ke bar?" ucap Bryan dengan sungguh, sekilas kupandangi wajahnya ia nampak sangat serius.
"Aku enggak janji ya tergantung metting, dan malam ini gua mau jaga mama."
"Lah, mami lo masih sakit," Bryan nampak terkejut.
"Iya, mama masih sakit. Gua berharap mama segera bangun dari koma dan lu tahu kemarin mama sempet sadar habis itu koma lagi. Gua enggak tahu kok bisa gitu ya, oh iya makasih ya, bye," Aku masuk kedalam mobil.
Hari ini lalu lintas nampak lengang, membuatku dengan mudah membawa mobil dengan kecepatan tinggi.
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, suasana kantor nampak ramai para karyawan terlihat berdatangan.
Aku masih mengenakan pakaian yang tadi, langkah kakiku berjalan menuju anak tangga.
Didepan nampak pak Yusril saptam kantor yang setiap paginya memeriksa para karyawan.
Ketika aku hendak masuk kedalam pintu utama.
Pak Yusril menghadangku, mungkin dia tak tahu siapa yang berada di depannya.
"Mohon maaf periksa dulu ya, Mbak. Sebelum masuk," tutur pak Yusril ramah.
"Ini aku," kataku sambil melepas topi dan kacamata yang aku kenakan.
"Ya ampun ibu Alicia silahkan masuk," katanya.
"Hem." Akuntansi berjalan menuju pintu utama.
Buru-buru aku berjalan menuju ruang ganti. Menganti pakaian yang aku kenakan karena sebentar lagi metting akan di laksanakan.
Akan tetapi saat aku berjalan menuju ruang ganti seseorang menabrak tubuh ini dengan keras.
Prang!!!
Botol minuman yang aku beli jatuh dan pecah di lantai.
"Maafkan, saya ibu," tuturnya lelaki di depanku ini.
Kini semua karyawan menatap kearah kami berdua. Aku hanya terdiam tanganku mengepal erat, sungguh aku merasa sangat emosi.
"Ada apa ini?" Seseorang menghampiri kami berdua.
Bersambung....