Andini menutup tubuhnya dengan selimut tebal. Keringat bercucuran meski pendingin ruangan dinyalakan. Tak ada kata yang terucap dari bibir wanita itu setelah semua yang dia lakukan bersama suami yang sudah mengkhianatinya. Tak ingin menyerah, tak ingin juga dianggap kalah. Dia ingin membuat suaminya menyesal telah menduakan dia.
Sedangkan lelaki yang ada di sampingnya itu tertidur dengan lelap. Padahal waktu sudah menunjuk pukul lima sore dan sudah bisa dipastikan lelaki itu belum menunaikan salat ashar.
Andini terbaring membelakangi sang suami yang masih berada dalam satu selimut yang sama dengannya. Hari ini dia lampiaskan semuanya kepada suami yang sudah mengkhianatinya. Berada di atas membuat dia berkuasa atas Galang, suaminya. Permainan yang mungkin tak pernah mereka lakukan sebelumnya. Dan hari ini Andini melakukannya.
"Din, kamu hebat. Tumben kamu mau di atas. Ga biasanya. Sepertinya kamu sedang mencari perhatianku, ya?" ucap Galang sambil memeluk Andini dari belakang.
"Hanya ingin tahu bagaimana rasanya berkuasa. Dengan di atas aku bisa melakukan apa saja." Andini menggigit bibir bawahnya. Sakit.. bukan bibir. Tapi hati. Menahan tangisnya agar tidak keluar. Sakit karena kesal pada orang yang menyakitinya tapi tak sadar sudah menyakiti.
"Astaghfirullah.. sudah jam lima, kenapa kamu ga bangunin aku, Din? aku telat salat ashar." Galang langsung berdiri mencari celana panjangnya. Lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Andini bergeming di atas ranjang king size miliknya. Menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Di mana di sana lah laki-laki itu berada. 'Kamu tidak akan melupakan semuanya Mas. Bahkan saat nanti kamu berada di atas tubuh istri mudamu, bayangan permainan kita tadi akan membekas di otakmu.' batin Andini sambil tersenyum miring.
"Din, kamu ga salat? salat sana. Sudah mau magrib. Harusnya kamu sadar diri kalau aku menikah lagi itu karena kamu sendiri. Kamu yang tidak mau dididik olehku. Kamu ga pernah mau nurut." ucap Galang saat keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Lagi males, Mas. Apalagi kalau kamu ceramahin terus. Muak aku dengernya. Nasehatin orang emang gampang sih Mas. Tapi ngelakuinnya yang susah," Andini kemudian duduk. Dia masih menutup tubuhnya dengan selimut. Dia melihat Galang beberapa kali menelan ludah saat melihatnya.
"Terserah kamulah Din. Capek aku nasehatin kamu. Lebih baik aku membimbing orang yang mau kubimbing. Bukan pembangkang sepertimu," ucap Galang. Laki-laki itu mengambil sendiri kaos dari dalam almari lalu memakainya. Dan sesaat setelahnya, Dia pergi meninggalkan kamar Andini.
Andini akhirnya turun dari ranjang. Dia melempar selimutnya sehingga tak ada selembar kainpun menempel di tubuhnya. Dia masuk ke kamar mandi untuk mandi besar. Dan di sanalah dia tumpahkan semuanya. Sekuat-kuatnya seorang wanita, tetap saja dia adalah makhluk yang lemah. Yang membutuhkan sandaran ketika sedang terpuruk seperti sekarang.
"Memangnya kalau aku salat harus bilang sama kamu, Mas? memang salatku belum sempurna. Semua butuh waktu. Kita sama-sama pernah berada di masa jahiliah. Kalau kamu ternyata lebih dulu menemukan hidayah, kenapa kamu tidak menungguku? kenapa kamu tidak mau menuntunku? agar aku juga bisa menemukan hidayahku. Aku juga ingin sepertimu. Tapi butuh proses. Dan semua harus dari hati. Bukan paksaan. Tapi kamu anggap aku pembangkang. Dan karena itu pula kamu menikah lagi dengan perempuan yang selalu kau sebut lebih sholeha dariku," gumam Andini. Dia menyalakan showernya. Tak peduli jam berapa ini. Yang dia tahu ini terlalu berat untuk dijalaninya. Merasakan derasnya air yang setidaknya bisa mendinginkan otaknya.
Flashback On
Dua bulan yang lalu.
"Hoek Hoek.." Andini memuntahkan semua yang ada di dalam perutnya.
"Dini!!! kamu minum lagi?" Galang menarik rambut Andini dari belakang.
"Awwww sakit mas.. Aku hanya minum sedikit. Tadi ada acara sama temen. Ga enak kalau ga ikut minum. Lagian dulu kamu juga sering minum," jawab Andini sambil menahan sakit di kepalanya akibat terlalu banyak minum minuman keras.
"Ngelawan aja kalau dikasih tahu. Lama-lama muak aku sama sikapmu. Taubat Din, taubat. Sampai kapan hidupmu akan seperti ini terus? melakukan hal-hal yang melalaikan dari mengingat Allah." Galang masih mencengkram rambut Andini agar istrinya itu tetap terjaga. Padahal Andini sudah sempoyongan membawa tubuhnya.
"Hahaha.. taubat? nanti aja Mas. Kalau aku sudah tua. Aku masih ingin senang-senang dengan teman-temanku."
"Nunggu tua? kamu pikir kematian mau menunggu kamu sampai tua? kita ga tahu kapan kita mati, Din? sadar donk."
"Iya iya Mas. Aku sadar koq. Piss Mas Piss." Andini mengacungkan dua jarinya sambil tertawa.
"Ya sudah kamu memang sudah tidak bisa diatur lagi. Sudah aku putuskan Din. Aku kan menikah lagi. Angga butuh ibu sholeha yang bisa membimbingnya. Bukan wanita sepertimu yang jauh dari Allah."
"Ya sudah nikah saja lagi Mas. Kalau itu bisa membuatmu senang. Hahaha."
Galang melepaskan cengkramannya dari rambut Andini. Lalu meninggalkan Andini seorang diri.
Flashback off
"Allah membenciku, Allah tidak sayang padaku. Makanya aku dikasih cobaan seperti ini. Ga aku ga mau salat. Buat apa salat. Lagi pula tidak akan mengubah keadaan. Mas Galang sudah bukan milikku seorang. Tapi ada orang lain yang lebih baik dariku. Lebih baik segalanya dariku." Andini terisak. Sekuat tenaga dia menahan agar aimatanya tak tumpah.
Sampai akhirnya dia mengambil mukena dan sajadah. Mengerjakan salat empat rakaat. Meski sudah terlambat karena waktu magrib hampir tiba.
**
"Mbak Andini mau salat bareng kita ga Mas?" tanya wanita yang kini menjadi istri kedua Galang. Mereka berdua ditambah dengan Angga kini berada di mushala di dalam rumah. Mereka bertiga akan menunaikan salat magrib berjamaah.
"Paling dia ga salat, Kar."
"Panggil dulu aja Mas. Ajak dia pelan-pelan. Dia pasti mau salat Mas."
"Udah susah ngajakin dia. Aku udah capek dengan sikapnya yang tidak pernah mau diajak ke jalan yang benar. Selalu saja semaunya sendiri.
"Jangan pernah lelah untuk mengajak istrimu ke jalan yang benar Mas. Mungkin tidak sekarang. Tapi teruslah bimbing dia dengan cara yang baik."
"Sudahlah Kar. Biarkan saja. Ayo kita salat. Ayo Angga kamu di sebelah Papa. Salat yang bener ya. Jadi anak sholih." Galang mengusap-usap kepala Angga yang tertutup kopyah putih.
"Iya Papa. Aku mau colat tama Papa dan Bunda," ucap Angga.
Dari kejauhan seseorang melihat kebersamaan itu. 'Harusnya aku yang berada di belakangmu Mas. Bukan dia.' Airmata mengalir dari pelupuk matanya. Sakit sekali menyaksikan suami dan anaknya yang kini dekat dengan perempuan lain menggantikan posisinya. Andini kuat, tapi dia seketika akan menjadi lemah saat menyangkut anaknya, darah dagingnya, yang kini tak lagi dekat dengannya.