Lagipula mawar di taman ini sudah tidak ada, yang ada hanya pohon-pohon kecil dan tanaman serba hijau, tuh. "Lalu kemana perginya semua mawar itu?" Lia bertanya dengan si pelayan lagi.
Masih dengan langkah kakinya yang menyusuri jalan di antara taman ini, dan juga payung di tangan Lia yang menutupi bagian atasnya dari sinar matahari. Saat Lia mengeluarkan satu tangannya, mencoba panasnya—apakah rasanya sama dengan di dunianya—rupanya sama, bodohnya Lia. Rasanya sama-sama menyengat di tangan, tapi hangat.
Yah ..., itulah matahari asal jangan terlalu dekat dengannya saja.
Matahari .... Matahari ....
.
.
.
Seorang perempuan muda turun dari kereta kuda miliknya, desain kereta kuda itu biasa saja—seperti kereta kuda yang dapat disewa murah, bagi bangsawan itu dengan mudahnya—seorang Nona dari keluarga bangsawan, orang kelas tinggi yang datang di tempat yang jauh dari rumahnya.
Nona itu memakai jubah yang menutupi seluruh tubuhnya, baik dari atas sampai bawah. Belum cukup itu saja ..., dia memakai topeng. Dapat dilihat bahwasannya dia akan melakukan sesuatu yang bersifat rahasia, bahkan pakaiannya tertutup dengan warna hitam. Seorang Nona bangsawan yang aneh,
Tapi tak aneh ketika melihat seorang pemuda yang muncul setelahnya, pemuda itu tersenyum melihat sang Nona yang menghampirinya. Penampilannya lain dengan si Nona yang tertutup sekali, si pemuda memakai pakaian biasa sebuah kemeja hitam dan celana panjang berwarna hitam. Sosoknya yang tinggi dan tegap itu sedang tersenyum.
Senyuman pemuda itu cerah sekali, saat si Nona melambaikan tangan padanya, mendekat padanya dan lalu memeluk pinggangnya.
"Aku merindukanmu!" ungkap si Nona dengan suara bahagianya, meski si pemuda tak dapat melihat wajah si Nona, dia tahu bahwa Nonanya itu tersenyum bahagia sama seperti senyumnya saat ini.
si pemuda membalas, baik pelukannya maupun ucapannya, "aku juga merindukanmu, Nona." mereka sudah lama sekali tidak bisa berpelukan seperti pasangan kekasih seperti biasanya. "aku sudah pulang Nona, apa kau bahagia?"
.
.
.
bzzzt ....
Lia merasakan kepalanya langsung berkunang-kunang, belum cukup itu saja. Tubuhnya tiba-tiba saja kehilangan energi membuatnya ambruk, payung bahkan menimpa tubuhnya membuatnya meringis kesakitan. Kemudian dengan perlahan, Lia menutup matanya membuat pelayan itu berteriak histeris—bahkan sesaat dia jatuh.
"Nyonya! Nyonya Duchess!"
"Tolong!"
****
Lia terbangun di kamarnya lagi, anehnya kepalanya masih sangatlah sakit. Saat pandangan Lia beralih ke langit-langit kamarnya, visinya masih kabur bahkan tak jelas melihat warna putih di atas itu, buram sekali.
"Kepalaku sakit ..., haus," Lia bergumam kecil, tenggorokannya kering dia ingin minum. Tapi mau merubah posisi menjadi duduk pun rasanya sulit sekali, badannya seperti bukan miliknya sendiri, aneh rasanya.
"Minum?" ada orang yang menyahut gumaman kecil Lia, Lia tidak tahu siapa itu.
Lia menutup matanya, "iya ..., minum." lalu membuka matanya lagi, kali ini pandangan Lia sudah agak terbiasa dengan cahaya dari atas dan bahkan warna langit-langit.
"Sebentar ..., " terdengar suara langkah kaki orang berjalan, Lia tak berpikiran aneh-aneh karena itu mungkin saja si pelayan itu kan? "ini ..., oh minumlah sambil duduk jangan tiduran seperti itu,"
Tapi ..., rasanya seperti suara seorang laki-laki dewasa? Pelayan Lia ganti jadi laki-laki ya ....
"Susah, sakit." keluh Lia masih dengan posisi terbaring, dengan tubuh ditutupi selimut sampai di atas dadanya.
"Kau mengeluh?"
Lia diam, tak mau menjawab. Energinya tak cukup untuk melakukan banyak percakapan, lagipula sepertinya orang ini bukan pelayan laki-laki deh. Rasanya ...,
'Kau ..., aneh,'
'Aku pergi, jangan menggangguku lagi.'
Bukankah ini orang itu? si iblis itu? Bagaimana dia bisa ada di sini! Lia tidak mau orang ini, ada di kamarnya—tempat di mana Lia beristirahat dengan tenang!
"Aku mau bantu kau, tapi matamu terpejam terus. Kau mau minum apa tidur?"
Lia tetap tidak memperdulikannya, sebetulnya Lia agak ketakutan. Orang ini—Duke itu, tak mungkin asal mendapatkan gelar semacam itu—Lia menyimpulkan bahwa gelar itu, pasti diberikan dengan alasan terkuat. Iblis, Iblis perenggut nyawa bagaimana tubuh ini bisa menikah dengannya? Gimana tubuh ini bisa jadi istrinya gila!
Tubuh yang ditempati Lia benar-benar punya keberanian yang menembus langit.
"Hei, kau gak jadi minum?"
'Dia masih di sini,' ujar Lia dalam hatinya yang bergelut, antara minum meredakan keringnya tenggorokan atau malah memilih ego untuk bersembunyi.
Baiklah, ego tak penting.
Lia lebih memilih minum, karena benar-benar menyakitkan. Ego dan hal lainnya bisa masalah belakangan, lagipula laki-laki ini—si Iblis ini—tak bakalan membunuh istrinya, yang bahkan sedang sakit, meski ya, Lia bukan istrinya. Raganya memang istrinya, terbukti dengan nama panggilannya 'Nyonya Duchess' nama panggilan yang hanya dapat dimiliki pasangan sah seorang Duke, tapi jiwanya yang ada di tubuh ini milik Lia.
Untung saja ada tameng amnesia, bilang saja kalau perilakunya yang aneh ini karena dia lupa ingatan, haha.
Memang agak licik dan munafik, tapi mau bagaimana lagi? Lia juga punya banyak hal yang perlu dia pikirkan, seperti bagaimana bisa jiwanya ada di tubuh ini, bagaimana caranya dia bisa kemari dan yang terpenting bagaimana membuat laki-laki ini pergi! Yang Lia mau itu ketenangan bukan perasaan ketakutan macam ini!
"Aku mau ..., minum." ujar Lia, kali ini matanya terbuka. Dia melawan semua perasaan tak menyenangkan yang ada di hatinya,
"Oke ..., sini kubantu," laki-laki itu membantunya, mendekati Lia membantunya menopang tubuh Lia agak bisa duduk untuk minum dengan benar. Tangannya menyentuh punggung Lia beberapa kali, Lia tidak nyaman karena tak pernah dekat dengan laki-laki, "ini, minum."
Gluk!
Gluk!
Bunyi suara Lia terdengar di ruangan yang perlahan sunyi ini, Lia minum dengan cepat seperti orang rakus yang sama sekali belum mendapat jatah minum dalam waktu yang lama. "Lagi ...." pinta Lia, Lia masih merasa haus, rasanya satu gelas cuma numpang lewat saja tadi. Tidak berlaku apa-apa pada tenggorokannya yang masih kering dan sakit.
"Aku ambilkan dulu lagi, bersandarlah dulu pada bagian tempat tidur, " awalnya Lia bersandar pada tangan laki-laki ini, ditopang oleh tangan besarnya—namun kali ini, dia didekatkan dan disandarkan pada bagian tempat tidur. "tidak sakit kan, menyandar di situ?"
"Tidak."
Lia menjawab seadanya, perlahan matanya melirik ke arah laki-laki itu—ternyata benar Duke itu, dilihat dari rambut pirangnya itu. Waktu kemarin Lia melihatnya dia terlihat acak-acakan, sekarang Duke itu terlihat rapi. Mungkin dia pergi bekerja? Karena bajunya serapi itu, kalau di rumah kan panas pakai baju lapis-lapis semacam itu.
Lia menunggu laki-laki itu—mari ganti dan panggil dia sebagai Duke—lebih tepatnya menunggu air minum yang dipesan Lia, rasanya terasa lama saat melihat Duke itu menuangkan air.
Ketika Lia sedang banyak bergumul dengan pikirannya, Duke itu datang. Yang Lia lihat dengan mata sejajarnya dengan tubuhnya adalah celananya, dan di bawahnya ada sepatu berwarna sama dengan si celana—warna hitam.
'Hitam ya?' pikir Lia, samar-samar Lia mengingat mimpi yang datang dikala Lia pingsan. Mimpi itu ..., bukankah agak sama kalau soal warna?