Chereads / I Will Tell You, Maybe Later / Chapter 1 - When I Want to Speak, Please Listen to Me #1

I Will Tell You, Maybe Later

🇮🇩wetiartika
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - When I Want to Speak, Please Listen to Me #1

"Di usia berapa kamu bakalan menikah, Sam.." sayup terdengar suara Ibu yang berlomba dengan desis tumisan bawang.

Aku melihat bahu Kak Sam makin terkulai. Aku menghela nafas panjang. Hanya bisa bersabar dengan pertanyaan Ibu yang sudah sama persis dengan pertanyaan ibu-ibu komplek ketika hari raya atau saat kondangan pernikahan. Kami berdua saling menatap, lantas memalingkan wajah. Menatap kosong pada gerabah berbentuk kura-kura, burung, dan hewan lainnnya yang tersusun rapi di atas lemari kayu. Bersih tanpa debu.

"Tuh lihat kakakmu itu, Ning. Orang kota sudah merasuki jiwa raganya. Dia terpengaruh bukan hanya dengan dandanannya yang makin necis, tapi kelakuannya juga! Ibu ngomong malah nggak dijawab!!" Ibu jelas sedang kesal, pikirku. Kentara sekali dari bunyi sudip yang berdentang-dentung di atas kuali.

"Bu, Mas Sam belum ada satu jam di rumah. Habis menempuh perjalanan jauh, kita harusnya tanya kabar"

"Kabar apa? Sudah kok tadi! Jelas-jelas Mas mu itu sehat. Apa salah ibu tanya begitu ke anak tertua, laki-laki pula, umur sudah matang, sudah usia menikah. Tuh lihat! Andi anak Budhe Narti sudah punya anak 2, usianya sudah 30 tahun, persis sama seperti Mas mu itu tanggal dan tahun lahirnya. Apa kamu nggak kepikiran?!" Jelas sekali Ibu bukan hanya pandai memotong bawang, kan? tapi juga mahir memotong kalimat orang.

Aku menyerah, memberi kode kepada Mas Sam untuk ke depan, duduk di beranda, memamerkan macam-macam bunga di halaman rumah jauh lebih baik daripada mendengarkan kalimat-kalimat bernas milik Ibu.

Kami berdua cekikikan menahan tawa, suara Ibu yang marah terdengar jelas sampai ke ruang tamu "Dasar! Punya anak kok dua-duanya mirip kelakuan bapaknya. Orang tua lagi ngomong malah ditinggal pergi!"

***

"Maafin Ibu ya, Mas" Desisku membuka obrolan setelah selesai menyiram bunga-bunga. Aku menghela nafas panjang, langit sudah mulai mendung. Jangan bilang sia-sia aktivitasku barusan.

"Iya, Dek. Mas sudah tahu kok sifat Ibu, maklum, beliau cuma khawatir dengan keadaan Mas."

"Tapi seingat Ning, Ibu dulu nggak begitu kan, Mas?" Aku kembali mengingat Ibu yang rasanya sudah makin banyak berubah. Ibu yang dulu dengan yang sekarang, sudah seperti orang yang berbeda.

Mas menggeleng. "Kalau dulu, kita masih kecil, Dek. Belum ada khawatir dan ambil hati dari apapun yang disampaikan Ibu. Sekarang coba lihat. Mas sudah kerja, kamu sudah hampir tamat kuliah. Dunia kita meluas, sudut pandang kita tentang apapun sudah mulai berubah, kita sudah jarang di rumah, jadi merasa kalau Ibu sudah jadi orang yang berbeda,"

Aku mengangguk tipis, mungkin membenarkan ucapan Mas yang sudah hampir setahun belum kutemui. Sebenarnya apapun yang diucapkan Mas Sam tadi lebih banyak benarnya.

Secara fisik, aku sadar Ibu sudah menua. Guratan wajahnya bermunculan, belum lagi warna rambutnya yang mulai lebih banyak uban berwarna putih. Mungkin karena Ibu lebih banyak sendiri, banyak diam di rumah membuatnya bosan. Terlebih Bapak cuma ada di rumah dari pukul 5 sore. Pukul 6.30 pagi sudah harus berangkat untuk kerja.

Ibu melipat hari dengan kesendirian yang lebih dominan. Kalau dulu Ibu sering menonton televisi. Subuh sudah terdengar ceramah kondang yang tegas dari ustadzah terkenal, tapi agaknya televisi sudah jarang nyala karena siaran yang makin ke sini makin tidak memuaskan.

Sebagai gantinya, belakangan Ibu senang ikut pengajian, arisan ibu-ibu RT, bahkan bergabung ke kelompok karyawisata yang puncak kegiatannya adalah mengunjungi situs-situs pemakaman para alim ulama. Mas Sam benar, Ibu mungkin tidak berubah, Ibu selama ini hanya tidak menunjukkan sikap aslinya karena kami berdua masih ada di rumah. Ibu masih ada teman bicara, 20.000 kata-kata yang diproduksinya masih ada pendengar setia, tetapi pasti Ibu kebingungan ketika satu persatu kami meninggalkan rumah.

Lingkungan membuat Ibu banyak berubah, barangkali karena tekanan sosial juga. Ibu sendiri pasti tahu alasan mengapa Mas Sam belum menikah, yang tidak tahu alasannya itu adalah aku. Mengapa aku tidak tahu?

"Ning boleh nanya, Mas?" kataku. Melirik segan kepadanya. Ia tengah memainkan gawainya, menonton siaran ulang pertandingan sepak bola sepertinya.

"Sejak kapan kamu izin dulu kalau mau nanya, Ning? Hahaha. Ngobrol sama mahasiswi dan anak sekretaris umum BEM memang beda! Sekarang apa-apa pake izin dulu. Bagus sih, Adeknya Mas jadi lebih sopan. " Katanya sambil mengacak jilbabku.

Aku tertawa mengabaikan ejekannya. "Memangnya kenapa, Mas?" kataku. Kalimat selanjutnya menggantung dan terbawa angin sore yang berhembus agak lebih kencang dari biasanya.

Hening kembali menyelimuti kami berdua. Aku mengutuk kebodohanku. Belum ada 15 menit sejak aku menyalahkan Ibu yang bertanya urusan "Kapan nikah", bisa-bisanya aku cari gara-gara dengan memantik perkara yang sama. Duh!

"Kenapa Mas belum menikah?" Ia menoleh ke arahku. Aku mengangguk tipis. Wajahku menyiratkan "tidak apa-apa kalau sulit dijawab," Mas Sam tertawa melihat wajahku.

Hujan turun bersamaan dengan helaan nafas panjang yang dikeluarkan Mas Sam. Aku jadi menyesal menanyakan hal yang sudah jelas, Mas Sam sendiri barangkali tidak tahu akan menjawab dengan alasan apa.

"Dek, Mas nggak mau meromantisasi pernikahan. Pernikahan itu persiapannya sederhana kalau dilihat dari segi materi. Seperti kata Ibu, tunggu apa lagi? Gaji sudah mencukupi, usia sudah matang, belum lagi wajah Mas nggak bikin malu kalau diajak kondangan, tapi sebenarnya menikah nggak sesederhana itu, Dek. Rumit." Aku menatap ke dalam mata Mas Sam yang makin kelabu.

"Rumit sekali sampai harus bikin Mas berkali-kali mikir. Menata ulang semuanya dari awal.."

"Rumit kenapa, Mas?" tanyaku. Pelan. Pelan sekali. Aku tahu membicarakan perkara pernikahan adalah sesuatu yang sangat kami berdua hindari selama ini. Mas Sam dan aku seperti sudah menyepakati untuk tidak membicarakan hal ini. Aku tahu aku sudah melangkah terlalu jauh, tapi juga sayang untuk memutus percakapan ini.

Mas Sam memperbaiki cara duduknya. Ia meluruskan kaki. "Rumit karena..."

"Ini kakak beradik sudah benar-benar nggak ada kangennya sama Ibu, ya. Dipanggil makan dari tadi nggak ada yang muncul! Ayo masuk, dingin, sudah yang kena hujan, belum makan, nyari gara-gara terus memang!" Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Geregetan dengan waktu kedatangan Ibu yang sungguh tidak pas sama sekali.

Kami bertiga pun masuk beriringan, tercium bau sambal ampela, aroma sayur asam yang segar dan ikan bakar yang pedas manis sempurna membuatku memaafkan Ibu. Masakan Ibu yang lezat, sama sekali tidak pernah berubah.

"Pernikahan itu rumit? Ada apa sebenarnya?" Pertanyaan itu pelan-pelan mundur dan kembali bersembunyi di sebuah sudut di kepalaku. Suatu hari, aku yakin akan mengetahui jawabannya.

***

Part 1.

(bersambung ke part 2)