"Cepetan geh gue tungguin" ujar Greysia kepada Sarang.
Teman perempuannya itu mengangguk dan masuk ke salah satu bilik kamar mandi sedangkan dia menunggu sembari bermain ponsel di dekat wastafel. Memang dasarnya dia receh kalau bermain ponsel pasti tertawa-tawa sendiri seperti orang gila.
Dia sempat ditegur oleh Sarang karena terdengar menyeramkan saat mendengar gadis itu tiba-tiba tertawa apalagi di kamar mandi yang hanya ada mereka berdua. Tawa cekikikannya itu terlalu halus dan terdengar samar kadang kala juga seperti orang kehabisan udara, hik hik hik gitu.
"Sinting ngapain sih lo kesambet?" ujar Sarang dari dalam bilik.
"Video lewat aja lucu" balas Greysia.
Tak lama pintu bilik terbuka dan Sarang pun berjalan mendekat Greysia lalu berdiri di samping gadis itu sembari mencuci tangannya juga merapihkan penampilannya yang mungkin sedikit terlihat berantakan.
"Kemaren gue di tawarin sama pak Mugi buat dateng ke pameran" ucap Greysia.
"Terus lo setuju?" tanya Sarang.
"Enggak, jauh di Surabaya. Sebenarnya sih mau tapi gue gak yakin bakal di izinin meski dari sekolah yang nyuruh"
"Bego, lo bilang aja mau. Kapan lagi kan lo lihat pameran gak keluar budget. Tahun depan?"
"Gak bisa lah, orangnya bilang yang pergi khusus anak kelas sebelas. Mungkin nanti orangnya nanya gue lagi atau udah nyuruh Reva yang gantiin gue"
"Dasar, orang kaya gue cari kesempatan lonya dapet malah di kasihin ke orang lain"
"Ya berarti bukan rejeki gue aja udah. Lagian gue udah nyerah sama hal berbau seni"
"Nyokap lo lagi?"
"Hmm, hal yang gak dapet restu nyokap gak bakal berujung baik. Semalem gue bikin mural, sebelum berangkat feeling udah gak enak. Gue selalu percaya sama bad feeling yang gue rasain dan beneran, semalem dikejar satpam gara-gara ketahuan. Gila kan?"
"Hidup lo emang anti mainstream" ucap Sarang berjalan ke tempat tisu yang ada di sebelah Greysia.
Greysia memasukkan ponselnya ke saku kemeja lagi. Gadis itu bercermin sebentar lalu memerhatikan tangan Sarang yang sedang dikeringkan dengan tisu. Hanya sebatas itu sebenarnya. Namun ada yang janggal tertangkap netra seorang Greysia.
Dia menyentuh tangan kanan temannya itu membuat sang empu berhenti melakukan aktivitasnya sebentar. Greysia mengangkat pergelangan Sarang hingga berjarak dua jengkal dari wajahnya. Ibu jarinya mengelus permukaan kulit Sarang yang terlihat jelas bekas luka melintang juga menyilang tak hanya satu. Sedikit mengering dengan pinggiran luka yang masih tampak merah.
"Dari kapan?" tanyanya lalu Sarang segera menarik tangannya.
"Bukan urusan lo lah" balas Sarang.
"Udah sampai mana self harm lo?"
"Self harm apa sih? Ngaco ah dasar"
"Gak usah bohong, gue tahu itu bukan luka gak sengaja kebentur ataupun jatuh. Bilang ke gue dari kapan lo kaya gitu?"
Sembari menelan salivanya sendiri, dia terlihat sangat gugup. Seberusaha mungkin untuk tidak menatap manik mata teman di hadapannya sekarang. Dia juga sudah menyembunyikan tangannya ke belakang, bungkam.
Greysia pun menghela napas, dia memahami jika tak semudah itu mengatakan masalah yang dimiliki ke orang lain. Dia melemaskan bahunya, menyibak rambutnya ke belakang menggunakan jari-jarinya.
"Gue gak paksa lo buat cerita. Kalo lo gak mau juga gapapa, gue ngerti. Gue bakal ngeluangin waktu kapanpun itu kalo lo butuh gue atau siap untuk nyeritain tentang masalah lo ini. Lo gak sendirian, lo punya gue, gue temen lo yang bakal nemenin lo jadi jangan di pendem yang berakhir nyakitin diri lo sendiri, ya?" ucap Greysia lembut.
Sarang terdiam tak mengucapkan kata apapun, gadis itu menunduk termenung, saat ia mendongak terlihat jelas kelopak mata yang sayu menatap lurus ke bola mata teman di hadapannya kini. Namun tak lama Sarang segera memutus kontak itu, dia mengalihkan pandangan agar tak tertahan di suasana canggung.
"Em, kayaknya... kita udah kelamaan... di kamar mandi...nya" ujarnya kikuk.
Greysia menepuk bahu gadis itu, "Nyantai kalik kaya abis gue apain aja sampe grogi gitu" katanya.
"Yaudah yuk" imbuhnya.
Greysia berjalan terlebih dahulu barulah disusul Sarang di belakangnya. Dia menghela napas lalu berdecak, menoleh ke belakang menarik Sarang agar berjalan berdampingan seperti biasa.
Sedangkan Sarang sendiri, dia memegangi pergelangan tangannya sembari berpikir. "Grey..."
Yang di panggil menjawab dengan dehaman singkat.
"Soal tadi—jangan kasih tahu siapa-siapa ya"
"Bukan urusan gue buat nyebar masalah pribadi lo ke yang lain, kalo suatu saat nanti salah satu dari mereka ada yang nyadar dan nanya ke gue, percaya, gue bakal tanya ke lo dulu, bakal izin ke lo dulu sebelum jawab pertanyaan mereka" jawab Greysia tanpa ragu.
Sarang tersenyum lega, "Thanks, Grey"
Greysia mengangguk, "Yuk... Mau gue gandeng apa jalan sendiri?"
"Hah, sinting..."
"Lah si anjir malah ngatain"
——
Greysia menjauhkan ponselnya setelah sambungan terputus. Gadis remaja itu merasa galau setelah menelpon tantenya. Harusnya setelah mendengar jawaban Tante Vira yang mengizinkan untuk ikut mengunjungi pameran ia merasa lega, namun ini tidak sama sekali. Seiyanya Tante Vira, beliau tetap berkata untuk bertanya terlebih dahulu ke Bundanya.
Dan itu membuatnya gelisah.
Terlebih bundanya siang tadi datang dari Malang. Dalam benaknya terdalam ia menanyakan takdir kenapa harus hari ini ibunya itu pulang. Mengumpat saja rasanya tak memberi jawaban apa-apa.
Dari luar dia menengok ke dalam rumah melalui kaca. Perlu keberanian besar untuk melangkahkan kaki masuk kedalam, berdiri di hadapan bunda, dan meminta izin untuk mengunjungi pameran. Ini berhubungan dengan seni yang sangat bundanya benci.
"Nda—bunda" panggil Greysia.
Entah dari mana asalnya, ibunya itu menyahut. "Apa?"
"Bunda dimana?"
"Kamar mandi. Kenapa?"
"Nanti aja kalau bunda udah selesai"
"Yaudah tunggu"
Greysia memilih untuk menunggu di sofa ruang tengah saja sembari menyiapkan diri barangkali ia malah mendapatkan amukan seperti sebelumnya. Dia menghitung jumlah huruf pada namanya untuk menentukan bertanya atau tidak usah, namun jawabannya tidak usah.
"Kenapa?" tanya Erin tiba-tiba membuat Greysia terlonjak kaget tak karuan.
"Apa? Kenapa? Ada apa?" tanya wanita itu lagi.
Greysia mengelus dadanya yang degdegan. Dia menelan ludahnya, menghadap bundanya penuh ketar-ketir.
"Anu... Itu... Ada pameran di Surabaya dan pihak sana mengundang sekolah aku untuk datang ke acara itu... Terus... hmm—"
"Gak usah" tolak Erin mentah-mentah bahkan Greysia sendiri belum menyelesaikan ucapannya.
Wanita yang kini hampir berkepala empat itu beranjak tanpa menjelaskan sesuatu kepada putrinya. Greysia sendiri tak tahu harus berbuat apa untuk situasi sekarang. Bundanya selalu lari dengan segala tanda tanya bagi dia, membuatnya kebingungan sendiri dan berakhir mengalah lalu menuruti apa yang bundanya katakan.
Selalu seperti itu dan tak pernah berubah.
"Bunda tunggu dulu... Kita omongin lagi ya? Ini dari sekolah loh bunda, meskipun cuma pameran tapi dari berbagai murid yang ada, aku duluan yang dikasih kepercayaan" ucap Greysia kekeh berusaha membujuk sang Bunda.
"Besok bunda ke Jogja, ada yang harus di cek disana. Besok pagi sebelum berangkat, bunda bakal telpon guru kamu dan bilang kalau kamu gak bisa ikut ke pameran itu"
"Nda..." seru Greysia lemah.
"Gak usah berkecimpung di dunia seni lagi. Apapun alasannya, pilihan bunda tetep bulat. Lebih baik kamu fokus belajar, dua tahun terakhir nilai kamu lebih menyedihkan daripada sebelumnya. Inget, jadi nomor satu atau enggak sama sekali"
"Bunda egois" kata Greysia terdengar kecewa. Sangat kecewa.
Dia beranjak meninggalkan sang ibu dengan langkah penuh kesal. Selalu begini. Dia benci saat semua hobi dan keahliannya di bidang seni selalu di tentang oleh ibunya sendiri. Belajar, belajar, belajar, itu saja yang selalu di katakan.
Bahkan, belajar pun tak membuat hatinya menjadi lega. Semua itu hanya menjadikan dirinya terlihat sangat menyedihkan.