Chereads / MELANTHA / Chapter 18 - KHAWATIR

Chapter 18 - KHAWATIR

Masih di hari yang sama namun waktu dan tempat yang berbeda. Setelah hampir 10 jam harinya ia habiskan di sekolah, Jayco yang saat itu ingin segera menyusul Greysia di rumah sakit terpaksa ia urungkan.

Mamanya tak mengizinkan. Beliau ingin putranya pulang terlebih dahulu dan istirahat sebentar terlebih kemarin putranya itu telah menemani Greysia dari siang sampe malam hari. Dan menurutnya sekarang adalah waktu untuk putranya istirahat sejenak, melemaskan diri di rumah.

"Sayang, sini makan dulu mama udah masakin makanan kesukaan kamu waktu kecil" ujar wanita berambut bob memanggil putranya yang sedang menonton televisi.

Jayco yang mendengar suara mamanya beranjak dari tempat dan berjalan menuju meja pantry yang ada di dapur. Laki-laki itu menopang dagunya menggunakan tangan kiri menatap punggung mamanya yang sedang mengambil piring di lemari panjang yang menempel pada dinding.

Dia duduk di kursi tinggi saat mamanya berbalik dan manaruh sepiring masakan cumi dan perkedel kentang. Diam-diam laki-laki itu mengambili danging irisan cumi dan memakannya saat mamanya sedang mengambil nasi di sebuah piring.

"Eh Jacob kok malah di gadoin sih" seru mamanya yang memergoki kelakuan putranya itu.

Jayco kaget lalu cengegesan sendiri, "Enak sih ma... Udah lama gak ngerasain ini, meskipun di Kanada juga beberapa kali bikin tapi vibes-nya beda sama di Indonesia" ujarnya.

"Iya suka-suka kamu aja. Ini nasinya, makan yang banyak" ucap ibunya memberikan sepiring nasi putih.

"Thank you, mom" seru Jayco mulai menaruh lauk pauk keatas piring nasinya.

Jayco mulai menyantap makanannya dengan lahap. Lidahnya seakan bersenang-senang di dalam sana menikmati makanan yang masuk kedalam mulut. Dia sudah lama berada di Indonesia akan tetapi rasa rindunya pada negeri ini seakan tak pernah berhenti. Sedangkan ibunya sedang sibuk membereskan meja kompor dan peralatan lainnya.

Setelah selesai makan, wanita itu mengambil piring kotor putranya untuk ia cuci. Jayco masih mengunyah sisa makanan yang ada di mulutnya lalu tak lama ia meminum segelas jus jeruk yang baru saja ia tuang dari botol.

"Habis ini mama mau kamu tetap di rumah Jacob. Mama gak mau kalo kamu pergi ke rumah sakit lagi" ujar wanita itu membelakangi putranya, tangannya sibuk dengan spons berbusa dan piring.

"Gak bisa gitu dong ma. Aku udah nurutin kata mama buat gak ke rumah sakit waktu pulang sekolah, kalo nanti aku juga gak boleh ke sana artinya mama gak tanggung jawab sama perkataan mama sendiri" bantah laki-laki itu.

"Jacob, mama cuma gak pengen kamu kecapean. Kemarin udah cukup kan seharian nemenin temen kamu, sekarang kamu istirahat aja di rumah"

"Ma, aku sehat gak perlu istirahat. Lagian aku seneng kok disana, dia temen lama aku ma dan dia butuh aku"

"Jangan bantah mama! Mama cuma gak mau kamu kecapean, kamu harus banyak istirahat"

"Mom, come on... Apa gak cukup selama 8 tahun aku turutin kemauan mama sama papa buat stay di Kanada yang bahkan aku sendiri gak mau tinggal disana. Aku sekarang udah di Indonesia ma jadi biarin aku seneng-seneng sama temen masa kecil aku"

"Gak bisa. Bisa besok aja kan? masih ada banyak waktu kok gak harus sekarang. Nanti kamu drop dan mama gak mau kamu sakit lagi"

"Yang tahu kebatasan diriku cuma aku ma. Aku bakal istirahat kalo capek, lagipula aku baik-baik aja. Ayo lah ma ini demi Jacob. Mengertilah"

Wanita itu tiba-tiba terhuyung, tangannya kirinya menyangga tubuhnya dan yang kanan memijat pelipisnya, "Mama pusing kalo kamu kaya gini ke mama" ujarnya.

"Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa jaga diri ma. Lagipun kalo aku sampai drop disana kan tempat yang pas, sama-sama di rumah sakit. Mama gak perlu khawatir"

"Yasudah. Jangan pulang terlalu malam. Minum obatnya kalau kepala kamu sakit lagi" ujar wanita itu akhirnya pasrah menuruti apa yang putranya minta.

Laki-laki itu berseru senang berhasil membujuk mamanya, dia menghampiri mamanya lalu memberikan ciuman terima kasih yang kemudian langsung berlari meninggalkan dapur dan pergi ke kamarnya untuk bersiap.

Jayco mengganti pakaiannya yang lebih terlihat rapi sebelum pergi menemui Greysia. Laki-laki itu bahkan menyemprotkan minyak wangi lebih banyak dari biasanya. Buru-buru dia menyambar kunci mobil yang berada di gantungan diatas meja belajarnya. Dia dengan langkah yang cepat menuruni anak tangga dan menghampiri mamanya berpamitan.

"Jacob pergi dulu ya ma" pamitnya yang kemudian mencium kening ibunya.

"Hati-hati bawa mobilnya" seru wanita itu.

Jayco hanya mendengar, laki-laki itu sudah terlebih dahulu keluar dari dalam rumahnya dan berjalan mendekati mobil putih yang sedang terparkir di teras rumahnya. Mobil itu milik papanya yang baru beberapa hari lalu di beli untuk di gunakan istrinya di rumah, namun papanya lupa jika istri tercintanya itu tidak bisa mengendarai mobil itu sendiri. Jadilah Jayco yang menggunakan mobil itu.

Dia menjalankan mesin, tangan kirinya menurunkan rem tangan mobil dan memasukkan gigi mobil dengan lihai. Kakinya menginjak pelan gas dengan hati-hati. Tangannya bahkan terlihat gesit mengendalikan roda pengemudi yang ada di hadapannya. Sesekali dia melirik layar ponsel yang memperlihatkan sebuah maps menuju rumah sakit, karena dia memang belum tahu menahu jalan ibu kota.

Setelah hampir satu jam perjalanan, mobil itu telah terparkir di basement gedung rumah sakit. Dia berjalan menuju lift dengan satu paper bag hitam di tangannya. Lift itu membawanya ke lantai satu dimana tempat resepsionis berada dan dari sana ia harus naik lagi menuju lantai 3 dimana Greysia di rawat.

Tangannya membuka pintu kamar yang kemarin ia kunjungi namun saat pintu terbuka ruangan itu telah kosong dan rapih membuat Jayco kebingungan mencari keberadaan Greysia yang tak ada di kamarnya.

Dia berlari menuju pintu lift lagi, kembali ke lantai satu dan menanyakan kepada petugas resepsionis yang ada di sana.

"Ada yang bisa di bantu mas?" tanya seorang petugas perempuan.

"Maaf mbak, bisa cek ruangan Lavender nomer 321 itu kapan ya pasiennya keluar?" ujar Jayco kepada petugas itu.

"Sebentar ya mas saya cek dulu" ucap si petugas lalu mengutak-atik komputernya mengecek sesuatu.

"Tadi pagi mas. Sekitar pukul tujuh kurang" katanya.

"Makasih mbak" ucap Jayco mengusap kasar mukanya.

Dia kembali ke basement, berdiri di samping mobilnya terlihat sedang menelfon seseorang.

"Ma..." panggil Jayco saat sambungannya terhubung.

"Hallo iya kenapa sayang? Kamu baik-baik aja kan?" tanya mamanya.

"Aku gak kenapa-kenapa ma. Ma, aku boleh minta alamat om yang jualin rumahnya ke papa waktu itu" ujarnya.

"Boleh, memangnya ada apa?"

"Aku mau ke rumah temanku ma. Dia gak ada di rumah sakit, tadi pagi dia pulang tanpa bilang apa-apa sama aku"

"Yaudah mama kirim alamatnya ke kamu. Kamu hati-hati di jalan jangan ngebut"

"Iya makasih ma"

"Telpon mama kalau ada apa-apa"

"Iya ma"

Jayco segera masuk kedalam mobil, alamat yang diberikan mamanya telah masuk dan ia pasang ke maps yang di ponselnya. Syukurlah alamat itu tidak terlalu jauh dari sini jadi tidak terlalu membuang banyak waktu untuk perjalanan saja.

Setelah terlihat hotel di kanan jalan, seratus meter ke depan dia harus belok ke kiri. Saat mobilnya telah berbelok ke kiri matanya tak asing melihat lingkungan sekitar. Dia familiar dan mulai mengingat dan mencari letak rumah Greysia waktu pertama kali dia menemui gadis itu.

Mobilnya berhenti di sebuah rumah putih dengan halaman kecil di depannya. Jayco berdiri di depan pagar menatap sekeliling apakah ada sebuah kehidupan dari dalam rumah. Rumah itu sepi, sama seperti hal yang ia dapati saat pertama kali berkunjung kemari beberapa waktu lalu. Memikirkan hal itu saja membuat pikiran percobaan bunuh diri itu melintas lagi di pikiran Jayco. Cepat-cepat laki-laki itu sedikit berlari mendekat ke pintu lalu mengetuknya dengan pikiran yang was-was.

Tak ada respon di ketukan ke pertama dan juga ke dua. Jayco semakin khawatir, bolak-balik dia mengintip jendela siapa tahu dia melihat Greysia yang jalan mendekat namun tak ada siapa-siapa di dalam rumah itu.

"Grey kamu di rumah?" ujar Jayco sedikit berteriak.

Dia mengetuk lagi, "Grey... Apa dia pergi ya?" ujarnya bertanya-tanya.

Tak berselang lama, pintu itu terbuka lalu seorang gadis pun muncul dari balik pintu dengan wajah yang sedikit kaget melihat Jayco mendatanginya ke rumah.

"Kok lo tau?" itu kalimat pertama yang ia ucapkan pada laki-laki itu.

"Aku nanya mama... Kamu kenapa pulang gak bilang sama aku?" kali ini Jayco yang menanyakan itu.

"Sorry, gue gak bilang lo dulu. Lagipula gue udah jauh lebih baik jadi kalo pulang pun gapapa kan"

"Meskipun gitu kamu harusnya bilang sama aku Greysia"

"Maaf" sesal gadis itu.

Jayco menghela napas berat, bagaimanapun dia tidak boleh marah hanya karena hal seperti ini. Dia harus mencoba memahami gadis itu. Saat Greysia menoleh ke depan sana untuk melihat mobil putih yang terparkir, Jayco langsung mengetahui memar merah di pipi gadis itu.

"Ini kenapa?" tanya Jayco sembari menyentuh pipi Jacob namun segera di tepis oleh sang empu.

"Agh... Eh enggak kenapa-kenapa" elak gadis itu.

"Jangan bohong, itu kenapa bilang sama aku"

"Gak kenapa-kenapa, udahlah ini bukan masalah yang besar"

"Greysia, stop kaya gini. Stop bilang gak kenapa-kenapa, aku khawatir sama kamu, aku gak bisa lihat kamu seperti ini, Grey"

"Terus gue harus apa?! Kalopun gue cerita ke elo, hidup gue gak ada yang berubah!!" ujar Greysia dengan nada tinggi.

Jayco tertegun, laki-laki itu sangat kaget melihat Greysia menyentaknya seperti itu. Sehancur inikah teman masa kecilnya dulu hingga dia tak diberi kesempatan untuk menyatakan rasa kekhawatirannya ini?

Greysia menangis, dia tak punya kepercayaan pada orang lagi. Dia takut dikecewakan oleh orang jika mereka tahu semenyedihkan apa dirinya dimasa lalu.

"Gue udah capek buat bertahan sama keadaan yang terus memaksa gue buat berhenti dan harusnya waktu itu lo gak usah ketok pintu rumah ini, lo gak usah bawa gue ke rumah sakit. Gue lebih bersyukur kalo mati aja waktu itu" seru Greysia putus asa.

"Grey, aku gak tahu pasti apa yang udah terjadi sama kamu sampai buat kamu kaya gini. Tapi, bunuh diri bukan jalan satu-satunya! Buka mata kamu Grey, masih banyak orang yang peduli sama kamu, kamu gak sendirian di dunia ini. Kalopun gak ada yang peduli sama kamu, aku ada di sini. Aku di pihak kamu, aku support kamu kapan pun... Kamu gak sendirian Greysia" ujar Jayco.

"Grey dengerin aku. Meskipun hari-hari kamu hancur, bukan berarti hidup kamu juga hancur. Kamu lahir sehat dan bisa bertahan sampai sejauh ini itu udah mukjizat yang luar bisa dari Tuhan. Kamu hebat udah bertahan, kamu cewek yang kuat Grey. Don't give up and love yourself, kamu udah sering di sakitin sama orang lain, jadi kamu jangan sakitin diri kamu sendiri. Kasihan... Jiwa dan raga kamu udah sama-sama capek, jadi istirahat, hibur diri kamu sendiri. Tolong jangan kaya gini Grey"

Gadis itu pasrah, dia hanya ingin dimengerti. Tangisnya seketika pecah, benar-benar pecah kali ini. Pikirannya berantakan, dan lagi-lagi dia menunjukkan sisi kelamnya pada Jayco. Dia hanya diam saja saat laki-laki itu membawanya dalam dekapan hangatnya. Bahu yang tadinya ia terus tegakkan untuk bertahan kali ini lemas jatuh dihadapan Jayco.

Jayco mengelus lembut surai gadis itu, sesekali tangannya yang lain menepuk-nepuk lembut punggung Greysia. Sebutir air mata lolos begitu saja di pipinya, entah mengapa dia ikut sedih melihat keadaan temannya ini.

"I'm so sorry for everything, I will be here with you. I promise. I will protect you from anything, we make a new story and you try to reconcile everything that happened. Your a good girl, Greysia"

"Kalo kamu gak punya alasan untuk bertahan, jadikan aku alasan satu-satunya. Biar sama seperti aku jadikan kamu alasan untuk aku berjuang selama ini"

Samar tapi pasti, gadis itu mengangguk dari dalam sana. Dia mulai menautkan tangannya membalas pelukan Jayco, "Jangan tinggalin gue saat gue udah bener-bener percaya sama lo" ujar Greysia.

Dagunya ia taruh di pucuk kepala Greysia. Entahlah bagaimana caranya menjelaskan keadaan sekarang, tetapi jantungnya tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Aku janji gak akan ninggalin kamu lagi. Terima kasih kalo kamu mau kasih kepercayaan itu ke aku, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk gak ngecewain kamu. Jadi, hiduplah untuk aku Grey" ujar laki-laki itu.

Gadis itu hanya mengiyakan tanpa mengucap kata apapun. Bibirnya seakan terkunci hingga tak sepatah katapun lolos dari mulutnya. Dia yang masih berada di pelukan Jayco bisa dengan mudah mendengar detak jantung laki-laki itu. Detak yang sama dengan irama jantungnya.