Tak terasa 10 hari telah berlalu dengan bagitu saja, ujian semester pun juga telah usai. Kini semua murid sedang menghirup napas penuh kelegaan setelah seminggu harus bercengkrama dengan segala jenis kata yang memusingkan kepala.
Masih sekitar seperempat jam lagi bel pulang sekolah akan berbunyi. Sebagian para murid ini banyak yang leha-leha di kelas ataupun di luar kelas sembari menunggu gerbang sekolah di bukakan. Tak heran rasanya jika suara gaduh terdengar setiap melewati pintu-pintu kelas. Jika para senior kelas sembilan, mungkin tak ada waktu lebih lama lagi sebelum surat kelulusan keluar dan berganti dengan lingkungan baru juga teman-teman yang baru.
"Mila minjem tipe x dong" seru Aldi menghampiri bangku Mila.
Buru-buru Mila menyembunyikan harta bendanya pada kolong meja, "Enggak mau tuh... Kalo lo yang minjem pasti gak balik"
Aldi mendengus lalu melengos kencang, "Windy Windy Windy... Pinjem tipe x kamu dong, baby"
"Aku sih NO, gak tau yang lain" tolak Windy.
Riana membalas, "Aku juga No"
Indira ikut menambahi, "No juga..."
"Pelit lo pada" kesalnya lalu berbalik pergi.
"Gue gak di tanyain?" ucap Greysia menghentikan langkah laki-laki itu.
"Gue? Nanya ke elo? Hah, gak salah? Mana mungkin gue nanya ke orang yang pulpen aja minjem setiap hari, buku tulis juga ngomongnya minjem tapi di bawa sampe besok-besok di balikin waktu halamannya udah abis. Ngeledek ya?"
"Yaudah terserah"
"Ada tipe x?"
"Gak punya hahahahaha"
Kesal pastinya, remaja itu mengambil buku LKS milik Riana kemudian melemparkannya kearah Greysia yang masih menertawakannya dengan semua gigi yang terpampang nyata. Namun dengan mudah Greysia dapat menghindari lemparan buku itu.
"Eh Al sore nanti lo gak ngeband?" tanya Greysia.
"Miskin.. Si Agil sama Dio sore nanti ada sparing, gue gak ada uang dan Nanda orang modelan nempel doang selalu gak ada uang buat patungan" jawab Aldi.
"Sparingnya dimana? Kok gue gak denger apa-apa dari sekolah"
"Lah malah tanya gua, lu kan yang tim intinya sekolah kenapa malah nanya?"
"Ya gue gak tau dodol makanya nanya elo"
Kemudian Greysia memanggil Agil yang sedang mengadakan konser di belakang kelas dengan yang lainnya.
"A gila!!" panggilnya pada laki-laki itu.
Agil menoleh lalu dengan langkah menggebu mendekat ke Greysia dan menabok bahu gadis itu.
"Dibilang kalo manggil yang bener masih aja diterusin" omelnya.
"Yee salah sendiri nama lu Agil Ardian, gak salah dong gue"
"Salah menggal katanya bego"
"Iya iya dih"
"Jadi kenapa manggil? Kangen lo? atau si Mila yang kangen gue? Hai Mila mwah"
"Yee si kambing pake muah-muahan segala... Lo sore nanti sparing sama siapa?"
"Sama Ronggolawe"
"Yang cewek juga? Kok gue gak denger apa-apa kalo anak volly mau sparing atau jangan-jangan gue di anak tirikan?"
"Mungkin ya.. Tapi Greysia yang sparing cuma tim putra, lagian pelatih kita aja beda anjir si elu main di samain aja. Beda schedule"
"Dimana? Mau nonton dong gue sapa tau bisa cuci mata hehe"
"Cowok mulu lu... Ada gue masih aja bahas cowok"
"Mas mantan udah diem aja ya gak usah sok ikut campur. Jangan melewati batas. Jadi dimana?"
"Ya di Ronggolawe-nya lah, sekitar jam dua-an lah palingan. Kalo lo mau nonton bawain minuman ya gue takut airnya gak cocok sama tenggorokan mahal gue"
"Fuck, muka lo gak seberapa gaya lo selangit"
"Cuma elo yang mandang muka gue gak ada apa-apanya. Cuma elo Grey yang padangannya kabur, kasihan gue"
"Pergi sana lo tai"
"Fine, jangan lupa minumannya ya" ujar Agil lalu pergi kembali menuju belakangan kelas seperti tadi.
Bel pertanda pulang telah di bunyikan, anak-anak yang lain kini berhamburan pergi keluar kelas untuk pulang kerumah masing-masing begitu pula Greysia dan yang lain. Mereka berjalan bersama menuju tempat parkir sekolah dimana sepeda mereka terparkir disana.
"Lo langsung pulang?" tanya Riana.
"Iya, udah lengket pengen mandi" balas Greysia.
Kemudian dua orang laki-laki satu kelas mereka menghampiri Greysia yang masih mengobrol.
"Balik Grey?" tanya Ragil salah satu dari mereka.
Greysia menoleh sejenak kemudian berpamitan dengan Riana, "Gue duluan ya, dadah Riana"
Sesampainya di perkarangan rumah, Greysia memarkirkan sepedanya dengan hati-hati. Dia berdiri di depan pintu, merogoh kedalam tasnya mencari kunci rumah yang ia simpan. Saat ia hendak memasukkan kedalam lubang kunci, pintu sudah terlebih dahulu terbuka.
Tentu saja dia bingung padahal sebelum ia berangkat sekolah tadi ia telah mengunci rumah ini. Buru-buru ia masuk kedalam rumah yang tak terlihat berantakan sama sekali. Namun suara gaduh terdengar dari kamarnya, saat ia mengintip kedalam kamarnya telah hancur di obrak-abrik.
"Bunda!" bentak gadis itu menghentikan pergerakan ibunya.
Dengan langkah menggebu ia menyahut sebuah buku yang di pegang wanita itu.
"Bunda apa-apaan sih? Kenapa masuk ke kamar aku?!!"
"Bunda mau bakar semua sampah ini"
Gadis itu menggeleng frustasi, dia kehabisan kata-kata terlebih dahulu sedangkan dadanya telah naik turun menahan emosi. Saat ia menoleh ke kiri tepatnya dibawah meja, matanya membesar.
"Tugas—kenapa—kenapa bunda hancurin tugas aku?! Bunda gak tahu seberapa penting tugas ini, aku udah berhari-hari ngerjain ini buat di kirim lomba besok siang!"
"Bunda gak perduli. Gara-gara kamu dan hobi gak berguna kamu itu bikin nilai kamu anjlok. Udah berapa kali bunda bilang gak usah gambar lagi, gak usah nulis-nulis lagi, fokus belajar jadi nomor satu atau enggak sama sekali!"
"Iya gak ada gunanya tapi aku milih untuk enggak sama sekali. Ini hobi aku dan bunda gak berhak ikut campur sama hidup aku!"
"Kamu pikir siapa orang tua disini? Berani-beraninya bilang seperti itu ke bunda, kamu tahu siapa yang ngelahirin kamu kalo bukan bunda? Sebagai anak kamu itu harus menuruti apa yang orang tuanya suruh!"
"Bunda bilang menuruti? Ini namanya memaksa, bunda selalu menuntut aku ini itu bahkan gak ngasih aku kesempatan buat ngebuktiin ke bunda kalau apa yang aku lakuin itu suatu saat nanti bakal jadi hal besar!"
"Tutup mulut kamu ya! Kalo kamu gak jadi nomor satu, jangan berharap bisa melakukan apa yang kamu mau" ancam wanita itu lalu merobek buku gambar Greysia menjadi dua kemudian melemparkan begitu saja ke lantai.
Setelah hanya dirinya sendiri yang berada di ruangan itu, tubuhnya menjadi lemas. Pundaknya bergetar dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Menangis sekeras-kerasnya meringkuk di lantai yang dingin.
Rasanya ingin mengeluh, mengharapkan hidupnya yang dapat di putar balikkan waktu agar ia bisa memperbaiki dari awal. Ia tak yakin bisa kuat jika seperti ini terus kedepannya, entah sampai kapan ia harus menahan dan menangis sendirian seperti sekarang.
——
Greysia masih berdiri mematung di depan papan tulis dengan sebuah kertas ranking tertempel di sana. Kecewa, sedih, bimbang, dan marah bercampur menjadi satu. Pikirannya kosong melihat namanya berada pada daftar nomor 5 di kelasnya. Entah harus berkata apa nanti jika bundanya bertanya tentang hal ini, dia tak tahu harus berbuat apa.
Matanya berair hampir membuat setetes air mata keluar dari sang penampung sebelum pundaknya di tepuk dan Riana berdiri tepat di sampingnya tersenyum kepadanya menyemangati dirinya agar tak terlalu memikirkan ranking sekarang.
"Semangat Grey, ini masih semester satu kelas delapan. Buat UN nanti harus jadi nomor satu oke? Kita berjuang bareng-bareng, ranking lima itu bukan angka yang buruk kok. Kerja bagus Greysia" ucapnya meyakinkan.
Greysia membalasnya dengan mengangguk tak lupa dengan senyuman yang biasa ia berikan kepada teman-temannya. Entahlah sampai kapan ia tersenyum seperti orang bodoh seperti ini. Jika kebanyakan orang tersenyum membuat hati mereka menjadi hangat, namun baginya senyum sudah seperti belati yang menggores sedikit demi sedikit.
Demi menepati janji bodohnya ia melakukan semua ini dan berharap sesuatu kembali kepadanya. Penantian yang tak berujung menginginkan jika dia masih di ingat dan di kenang dalam benak seseorang yang ia yakini selalu ada di sisinya. Harapan kosong yang entah sampai kapan ia selalu harapkan.