"Jangan menyontek kerjakan sendiri-sendiri atau nanti lembar jawaban akan bapak ambil" ucap Pak Hendra selaku pengawas ujian hari ini.
"Absensinya kalau sudah bawa ke depan" imbuhnya lagi.
Pemilik nomor absen terakhir beranjak dari kursinya sembari membawa dua lembar kertas absensi kelas. Diserahkannya kepada Pak Hendra lalu kembali lagi untuk mengerjalan soal-soal yang masih belum terisi.
"Kok ini kosong satu? Absen setelah Gio Candra nomor lima belas siapa?" tanyanya.
"Greysia, Pak" jawab salah satu dari enam belas siswa tersebut.
"Loh Greysia tidak hadir? Ini udah dari ujian pertama atau cuma ini?"
"Dari tadi pagi, Pak... Dia gak kasih kabar apa-apa ke kita"
"Yaudah dilanjutkan saja" kemudian beliau meninggal bangkunya keluar kelas.
Sedangkan di rumah sakit gadis itu baru terlelap sepuluh menit yang lalu setelah semalaman berjaga meski sudah di larang oleh Tante Vira. Dia tak mau masuk ke sekolah sementara waktu, sempat tak di beri izin oleh sang tante namun akhirnya Tante Vira hanya bisa mengalah.
Anak-anak nenek tak banyak yang datang karena berada di perantauan dan tak dapat izin untuk libur. Mereka hanya dapat menelpon menanyakan keadaan sang ibu untuk memastikannya baik-baik saja.
"Kamu mau tak belikan sarapan dulu tah?" tanya Om Imam kepada istrinya.
"Boleh, Mas... Sekalian belikan untuk Greysia, dia belum makan apa-apa sejak pulang sekolah kemarin katanya nanti takut kenapa-kenapa" ujar Tante Vira.
Om Imam mengangguk, "Dia suka apa biasanya? Gudeg mau?"
"Jangan, dia gak doyan. Belikan bubur ayam saja"
"Ya sudah, Mas pergi dulu kalau ada yang perlu di beli lagi telpon saja"
"Iya, hati-hati Mas"
Tante Vira tersenyum kearah suaminya, lalu berbalik lagi menatap wajah sang ibu yang masih belum membuka matanya. Hatinya merasa nelangsa, di umur setua ini ibunya harus merasakan sakit. Tulang selangkangannya patah membuat beliau harus berdiam diri di atas kasur dan menghindari aktivitas penggunaan kaki selama kurun waktu satu tahun ke depan.
"Cepat sembuh ya, Bu" bisiknya pelan.
———
Langit malam terhiasi bintang yang menyebar di angkasa ditambah sang rembulan yang bersinar bulat terang membuat langit seperti lukisan. Malam itu dengan pundak yang terasa berat kian lemas, sejenak ia melupakan semua hal yang terjadi akhir-akhir ini.
Kepalanya terasa sedikit pusing namun ia juga merasakan kelegaan setelah beberapa hari dirundung kegelisahan. Sembari menikmati sapuan dingin dari angin yang menerba kulit wajahnya.
"Eh Kak Grey?" seru seseorang dari belakangnya membuat gadis itu terlonjak kaget.
Greysia sempat mengumpat pelan sebelum ia melontarkan tatapan tajam kepada orang itu, "Bangke lo" kesalnya.
Orang itu bukannya merasa bersalah malah tertawa terbahak dan duduk di samping Greysia yang cemberut. "Ini pertemuan kita yang ke dua ya? Kebetulan apa takdir nih?" ucapnya.
"Sial yang ada" balas Greysia sewot.
"Jangan gitu dong, sial beneran nanti nyesel... Eh ngomong-ngomong lo ngapain di sini sendirian?"
"Lagi cari udara segar. Lo sendiri ngapain?"
"Ngikut bokap"
"Bokap lo sakit?"
"Enggak, lagi nengokin mantan ibu mertuanya"
"Mantan? Kenapa di tengokin kan udah gak ada hubungan apa-apa sama anaknya"
"Masih, anaknya bokap tinggal sama beliau makanya bokap lagi jengukin. Katanya beberapa hari yang lalu jatuh dan harus di rawat disini"
"Oh, syukur deh kalo bokap lo gak kenapa-kenapa... Meski gak kenal, syukur aja deh"
"Hahaha iya deh... Btw, langitnya cakep ya padahal kemaren mendung banget. Pasti ini gara-gara lo lihat langit makanya dia bersiap untuk memancarkan keindahan"
"Basi lo, sorry sebelum lo terlalu ngarep jauh gue gak tertarik sama cowok kaya lo"
"Dih pede banget lo mbak? Tipe gue juga bukan elo kalik, gue sukanya yang tinggi, putih, langsing, lucu, cakep, bibirnya merah delima alami, rambutnya lurus panjang hitam mengkilat, sukanya manja"
"Sedih gue kalo jadi orang tua lo, anaknya sinting kaya gini halunya tinggi"
"Kayaknya malah gue yang sedih sama mereka. Sedih karena gue belum di pertemuan dengan kakak gue"
"No comment deh takut salah ngomong"
Terdengar samar anak laki-laki itu tertawa, dia melirik dalam diam gadis di sampingnya dengan senyum tipis memancarkan kehangatan. Bukan karena dia suka dengan Greysia namun perasaan senang bertemu dengan gadis ini.
Sakunya bergetar, buru-buru ia merogoh ponsel yang berada pada sakunya lalu menggeser tombol telepon yang tampil pada layar ponsel. Dia sedikit menjauh untuk mengangkat telepon dari seseorang.
"Halo, Pah?" ujarnya.
"Oh ini lagi di taman rumah sakit sebentar sambil nungguin papa tadi. Papanya udah selesai?"
"Iya, aku kesana sekarang. Oke oke" kemudian sambungan terputus.
"Siapa? bokap lo?" tanya Greysia.
Laki-laki itu mengangguk, "Maaf ya, Kak, gue gak bisa temenin lo lebih lama soalnya bokap udah suruh balik"
"Yaudah sana nanti bokap lo nungguin lama lagi"
"Beneran maaf ya"
"Santai aja"
"Duluan ya Kak"
"Nama lo siapa? Waktu itu gue mau nanya lo nya udah cabut duluan"
Dia mengulurkan tangannya, "Gue Erik" lalu dia mengimbuhi. "Erik Kamada" ucapnya dengan senyum yang terbit dari bibirnya.
Mendengar nama itu membuat bola mata Greysia membulat. Nama yang terdengar tidak asing baginya. Nama yang mengingatkannya pada sosok laki-laki yang paling di benci seumur hidupnya.
"Kak kok bengong?"
"Eh enggak-enggak"
"Yaudah gue duluan ya, bye~"
Dada Greysia naik turun entah kenapa tiba-tiba ia merasa sesak pada dadanya. Jantungnya juga berdetak jauh lebih cepat dari tadi. Dia menggeleng, mengusir segala pikiran yang melintas pada otaknya.
"Enggak Grey pasti cuma kebetulan aja namanya sama" ucapnya pada dirinya sendiri.
Tak berselang lama, Greysia pun mengikuti jejak Erik. Gadis itu beranjak dari taman dan memutuskan untuk kembali ke dalam setelah ia rasa mungkin orang yang menjenguk nenek telah pulang karena ini juga sudah lewat dari jam kunjungan di rumah sakit.
Di setiap lorong ia terus memijat pelipisnya yang terkadang terasa pusing. Sesekali saat ia mengedipkan mata dan saat terbuka pasti ada momen dimana pandangannya terasa gelap sesaat. Sesampainya di depan ruangan nenek ia berpapasan dengan Tante Vira yang kebetulan membuka pintu kamar.
"Udah balik?" tanya Tante Vira lalu Greysia mengangguk.
Tante Vira menarik pergelangan tangan keponakannya itu menjauhi ruang inap nenek. Beliau mendudukkan gadis itu di bangku panjang yang ada di lorong rumah sakit.
"Kenapa kamu gak bilang kalau hari ini ada ujian di sekolah?" hardik Tante Vira.
"Tante tau dari mana?"
"Apa itu penting sekarang? Greysia kamu itu seorang pelajar dan tugas seorang pelajar itu ya belajar. Kok bisa-bisanya kamu bolos sekolah saat ada ujian semester hari ini, sekolah bukan untuk main-main Greysia!"
"Udahlah tante, aku pusing"
"Kamu pulang sekarang. Pulang, belajar, istirahat, besok harus ke sekolah jangan bolos lagi. Paham?"
"Tan... Gak mau pulang, aku ambil buku aja sama seragamnya ke sini. Aku belajar di sini aja ya"
"Mbak Ririt udah balik ke Bandung tadi siang. Kamu pulang aja di rumah gak ada siapa-siapa"
"Beneran? Yaudah aku pamit dulu ke nenek"
Tante Vira mengantarkan gadis itu untuk berpamitan dengan nenek. Sebagai tante yang tinggal tak jauh dengan rumah ibunya menjadikan dirinya sebagai orang memiliki tanggung jawab bagi ibunya maupun Greysia. Apalagi untuk Greysia, dia lebih membutuhkan banyak perhatian dari orang dewasa di usianya yang masih semuda ini.
Setelah bersalaman, Tante Vira mengelus puncak kepala Greysia dengan lembut.
"Biar di anter sama Om Imam aja ya, Omnya lagi ngerokok di bawah tadi udah tante bilangin. Kamunya samper aja, ini udah malam gak baik kalo anak gadis pulang sendirian" ujarnya.
"Iya, maaf ya tante gak bisa nemenin jaga nenek"
"Gapapa, ini tugas tante sebagai anaknya. Istirahat ya"
"Permisi tante"