"Ya ampun Greysia~ akhirnya lo masuk sekolah lagi" teriakan seseorang yang sudah tak asing bagi indera pendengar dari seorang Greysia.
Greysia yang tadinya memejamkan matanya dan tidur di meja kembali membuka dan melemparkan senyum tipis kepada teman-temannya yang baru datang. Dia juga menyambut pelukan mereka.
"Kemana aja lo ih kangen" rengekan Mila terdengar.
"Kalau pengen libur tuh pake surat kek sambil ngabarin ke kita, ini malah hilang tanpa kabar apa-apa" omel Riana.
"Gue tiga kali ke rumah lo tapi gak ada siapa-siapa... Gue kira lo diem-diem pindah sekolah kaya di film-film" kata Indira.
"Ada urusan yang gak bisa dihindarin" ujar Greysia.
"Urusan apa sampe bikin lo absen lima hari? Emang sepenting itu?" tanya Windy.
"Gak semua harus gue ceritain" jawab Greysia.
"Lo gak pernah cerita apa-apa tentang masalah lo" balas Windy dan Riana terlihat menahan tangan temannya itu.
"Gue punya hak untuk diam. Dan lo juga punya hak untuk gak ikut campur urusan orang lain" kata Greysia.
"Ya kalo misal masalah sepele lo bisa dong bilang kenapa lo absen kemaren, lagian juga gue nanyanya cuma alesan dasar aja gak minta di jelasin" ucap Windy.
Mila berbisik ke Windy, "Windy..." ucapnya.
"Yaudah pikir aja kenapa gue gak cerita ke elo... Lo kan pinter, ketua OSIS kebanggan para guru, anak-anak lain juga nyanjung elo kan, jadi bisa lah lo mikir sendiri sekecil apa masalah yang gue alamin"
Indira berusaha menengahi, "Udah pagi-pagi kenapa malah berantem sih"
"Iya, kan hari ini Greysia baru masuk sekolah jadi kita seneng-seneng aja ya? oke"
Dengan hati yang berat, Windy mengiyakan dan memilih duduk di bangkunya. Dia juga merasa tak enak dengan Greysia, mungkin perkataannya terlalu kasar membuat temannya itu tersinggung dan dia malah tak sadar akan hal itu alhasil pagi mereka menjadi tidak baik karenanya.
——
"Eh Win—dy... Lah ngapa tu anak?" heran Greysia saat menyapa temannya itu malah tak digubris.
Riana dan yang lain menghampirinya yang kebingungan di ambang pintu, "Kenapa Grey?" tanya Mila.
"Tuh temen lo kenapa dah?" tanyanya sembari menunjuk Windy menggunakan dagu.
"Masih gara-gara tadi pagi mungkin" tebak Indira.
"Lo udah selesai kumpulnya?" tanya Riana dan di balas anggukan Grey.
"Gue nyusul Windy dulu ya.." pamit gadis itu lalu berlari menyusul Windy yang telah jauh.
Windy terlihat duduk di pinggiran lapangan sendirian dan melamun. Jika sekilas mungkin saja orang akan mengira jika gadis itu terlalu fokus pada anak-anak yang sedang bermain futsal di lapangan.
Di kedua tangannya kini ada dua botol minuman yang ia bawa. Awal-awal Greysia menghembuskan napasnya pendek kemudian mulai menerbitkan senyumnya agar tak terlihat canggung saat mengobrol nanti dengan Windy.
Ia menyodorkan botolnya di hadapan Windy, "Ngapain di sini? Panas-panas gini" kata Greysia basa-basi.
Dia menggoyangkan botolnya karena tak segera temannya itu terima, "Gak di ambil nih? Percuma dong gue keluar uang kalo gak di minum" imbuhnya kemudian Windy mengambil minuman tersebut.
"Sorry buat yang tadi pagi, harusnya gue gak nanggepin lo sekasar itu. Maaf kalo lo tersinggung" ucap Greysia memulai percakapan.
"Kenapa lo yang minta maaf, harusnya gue yang ngomong gitu" balas Windy.
"Minta maaf bukan masalah siapa yang salah siapa yang enggak.. Siapapun bisa minta maaf di waktu apapun" ujar Greysia.
"Gue terlalu jahat ya? Gue kelepasan ngomong gitu, gue gak mikir dulu waktu ngomong malah ceplas ceplos aja. Harusnya gue tau batasan sampai mana harus ikut campur biar gak ada pihak lain yang di rugiin"
"Bagus deh kalau sekarang lo bisa ngerti, asal nanti jangan lo ulangin lagi ke orang lain. Mungkin ke gue tadi pagi gapapa karena kita temen jadi gak terlalu gue masukin ke hati, tapi gak semua orang bisa bodo amatan. Banyak orang yang sensitif, kalau lo salah ngomong mereka bisa aja ngamuk dan bikin diri lo bahaya"
"Maaf, gak bakal gue ulangin lagi. Gue juga udah enggak penasaran lagi sama masalah lo tapi kalau lo butuh temen curhat gue ada kapan pun. Jangan di simpen sendiri nanti jadi penyakit"
Greysia terkekeh, "Jangan perhatian gitu dong, gue jadi deg-degan nih"
"Ih gue serius! Kita itu temen, Grey... Sebagai temen gue juga gak mau ngelihat temennya terpuruk sendirian. Mungkin gue gak bisa bantu nyelesain masalah lo tapi seenggaknya gue bisa jadi sandaran. Selama ini lo cuma jadi tempat orang mengadu, lo juga butuh orang buat dengerin keluh kesah lo"
"Terima kasih, gue menghargai tawaran lo itu tapi maaf gue gak bisa. Gue masih bisa nyimpen sendiri kok"
"Jangan di pendam terus ya, lo punya temen gak sendirian"
"Thanks Windy Cantika yang lucu imut bingit~" seru Greysia memeluk Windy erat-erat.
Windy mendorong Greysia agar menjauh, "Sana ah lo jijik gue!!" kesalnya.
"Gak bisa makin nempel"
——
Sudah sekitar dua hari tantenya menginap di rumah nenek. Anak nenek ada 6, lima perempuan dan satu laki-laki. Tante yang menginap sekarang adalah putri nenek yang nomor 2. Memiliki 2 anak, laki-laki dan perempuan.
Tante Ririt, seorang single parents. Suaminya meninggal setahun yang lalu karena komplikasi. Beliau tinggal Bandung dan bekerja disana. Putranya putus sekolah saat menginjak bangku kelas 2 SMA, sedangkan putrinya tahun ini baru naik ke kelas 3 sekolah dasar.
"Kak Greysia" panggil gadis kecil berlari menuju Greysia yang baru saja pulang dari sekolah.
"Hei~" sapa balik gadis itu.
"Tebak, kakak bawa apa..."
Nana terlihat menggeleng dan menggembungkan pipinya lucu, "Apa? Jajan!"
"Seratus!!! Tada~~ Telur gulung kesukaan, Nana" ucap Greysia membuat Nana berseru riang dan membawa telur gulungnya berlari ke dalam rumah.
Setelah berganti baju dan makan, Greysia tak terlihat keluar dari kamarnya. Hanya sekali itupun sekedar mengambil cemilan di dapur dan kembali lagi ke kamar. Dia sibuk dengan segala buku catatan sejak tadi, dia harus menyalin kembali foto-foto papan tulis ke bukunya.
Dia juga harus belajar, karena besok ada ulangan akhir semester. Keseringan tidur di kelas dan tidak memperhatikan membuatnya jadi repot seperti ini. Tetapi ia juga tidak menyesali, hal paling nyaman ialah tidur saat guru berdongeng. Entah kenapa mimpinya menjadi sangat indah.
Tak terasa malam semakin larut, jam pada layar ponselnya menampakkan angka 22:04. Sudah terlalu malam dan ia seperti harus menghirup udara sebentar. Ia akhirnya keluar kamar setelah beberapa jam mengurung diri di sana. Dia ingin mengembalikan wadah cemilan yang ia ambil tadi.
Saat melewati depan kamar mandi tiba-tiba suara orang terjatuh dan merintih minta tolong. Greysia yang sedang berada dekat sana langsung membuka pintu kamar mandi yang tak terkunci. Disana neneknya terduduk di lantai seakan tak bisa menggerakkan badannya.
"Nenek astaga.." ucapnya kemudian berjongkok di sebelah neneknya.
"Nenek gapapa? Dimana yang sakit? Tenang dulu nek ambil napas harus tetap sadar ya, Grey telpon ambulan dulu" katanya.
"Tan tante.. Tante Ririt" panggil Greysia.
Setelah beberapa saat tak mendapat balasan atas panggilannya, dia izin ke nenek sebentar untuk memanggil tantenya barang kali beliau sudah tidur sehingga tak menyahuti panggilannya.
Kamar tantenya ada di depan, pintunya tak tertutup dibiarkan terbuka setengah. Greysia melongok ke pintu, rasa kecewa terbesit di hatinya melihat tante dan anak laki-lakinya yang malah asik melihat televisi sembari tertawa-tawa. Apa keadaan nenek adalah lelucon? umpatnya dalam hati.
"Tante!" bentaknya membuat dua orang itu menoleh bebarengan.
"Eh Grey kenapa?" tanya Tante Ririt.
"Nenek jatuh dan tante gak tahu?"
"Oh itu suara ibu? Tante kira kucing tadi, biasanya kan kucing suka masuk rumah" ucapnya enteng.
Greysia menggeleng tak percaya, "Terus tante gak lihat gitu? Terus ini udah tahu kenapa masih duduk manis di kamar? Tante ada perasaan gak sih? Kalo nenek kenapa-kenapa gimana? Tante anaknya bukan sih kok gini ke nenek" amuk Greysia membanting pintu kamar Tantenya dan pergi.
Rasanya jantungnya seperti akan copot untungnya ambulan datang dengan cepat dan melarikan nenek ke rumah sakit agar segera mendapatkan penanganan. Setidaknya ia bisa sedikit bernapas lebih lega. Greysia terduduk di kursi tunggu yang berada di depan UGD.
Mulutnya komat kamit merampalkan segala doa untuk keselamatan nenek. Terpeleset di kamar mandi bagi usianya saja sudah berbahaya apalagi di usia nenek yang sudah tua ini. Bohong jika Grey tak memikirkan hal aneh-aneh.
Dia sendiri di sana, Tante Ririt tak bisa datang ke rumah sakit atau lebih tepatnya tak mau begitupun anak laki-lakinya. Tadi ia sudah mengabari anak nenek ke 4 yang rumahnya tak jauh dari rumah nenek dan beliau sekarang sedang dalam perjalan ke rumah sakit.
Tujuh menit berlalu, sang dokter keluar bebarengan dengan tante dan sang suami datang di waktu yang tepat. Mereka bersyukur jika tak ada cidera serius di kepala nenek sehingga beliau dapat di pindahkan ke rawat inap. Kemudian dokter meminta tante untuk ikut dengannya. Sedangkan Greysia masuk ke dalam menemani nenek yang tertidur karena obat bius.