Langit malam itu begitu kelam sekelam jelaga. Awan hitam bergulung-gulung menyelimuti langit berbintang, seolah telah mengetahui sebuah tragedi besar yang akan terjadi. Angin terus berhembus kencang seakan ingin menemani kelamnya siraman hujan di malam itu. Suara guruh menggelegar terdengar dari dalam ruangan yang cukup besar. Kilatan cahaya petir terus masuk melalui jendela-jendela ruangan yang tinggi, hingga hampir menyentuh langit-langit. Jendela tinggi itu hampir mengelilingi satu ruangan. Sehingga segelap apapun ruangan itu, maka akan teranglah seketika jikalau petir mulai menyambar.
"Ve Bezarius," ujar sosok dengan jubah hitam pada bocah lelaki yang tengah bersimpuh di hadapannya. Kepalanya menunduk, tubuh kurusnya bergetar, sedang napasnya memburu. Begitu pasrah ketika seseorang berjubah lainnya memegangi kedua lengannya dari belakang.
"Aku, sebagai orang yang memikul chain penghukuman... sekarang juga akan mengadilimu." Sosok berjubah dengan tudung kepala yang menutupi sebagian besar wajahnya mendekati. Melepaskan sarung tangan hitamnya. Bocah itu mendongak, menatap ngeri pada sosoknya. "Dosamu adalah... Adanya dirimu didunia ini."
Pandora Heart
Seseorang pernah berkata, "tempat itu diliputi kegelapan, bagaimanapun juga... bukan berarti tidak ada cahaya sedikitpun."
.
.
.
"Tuan muda! Dimanakah kau tuan muda Ve?" teriak seorang perempuan paruh baya. Suaranya menggema disepanjang koridor mansion yang sangat megah itu.
"Tuan muda!"
" Kau yang disana! Tunggu sebentar!" serunya pada sosok bocah dengan surai kelam yang sedang berjalan di koridor.
"Jimmy!"
"Y-Yak!" bocah itu menghentikan langkahnya, menoleh ke sumber suara. Terkejut mendapati sosok perempuan paruh baya tiba-tiba meraih kedua lengannya.
"Kamu adalah pelayan yang selalu bersama dengan tuan muda, jadi kau pasti tahu dimana tuan muda Ve sembunyi!" alis perempuan itu menukik tajam. Aura Miss Kate terlihat sangat menyeramkan baginya.
"Miss Kate, a-apa yang terjadi pada tuan muda?" tanyanya. Mata sipitnya membulat, mengkerjap menampakkan wajah tak berdosanya.
"Hampir waktunya untuk pesta, tapi aku tidak menemukannya dimanapun!" kata Miss Kate setengah putus asa. "Ja-jangan bilang dia berencana untuk memboikot!?" frustasinya.
"Um, Uh. Aku sebenarnya belum melihat tuan muda sejak selesai sarapan..." ujar Jimmy seraya mengalihkan pandangannya, tubuhnya bergerak-gerak gelisah. Kentara sekali bocah itu mengelak.
"aku teringat sesuatu Jimmy. Aku mendengar sesuatu dari tuan muda. Dia bilang bahwa kamu benar-benar takut pada kucing, benarkah?" perempuan itu menyodorkan seekor kucing pada Jimmy, menyeringai lebar. Benar saja, sontak Jimmy langsung melompat menjauh. Ngeri menatap seekor kucing manis di genggaman tangan perempuan itu. Tubuhnya beringsut mendekati dinding dibelakangnya.
"Da-danau! Dia dan Nona Lisanna menuju danau!" seru Jimmy dengan nada ketakutannya. Sembari mata yang mengawasi pergerakan makhluk berbulu itu.
"Ho! Ho! Ho! Jadi di danau?! Baiklah! Ayo pergi dan tangkap dia!" Miss Kate berseru sembari melenggang pergi bersama dua orang pelayan lainnya, meninggalkan Jimmy yang menatap ngeri kucing manis itu menjauh.
<3 pandora heart <3
Terdengar kikihan halus dibalik pintu lemari yang dicakar-cakar kucing manis. "tuan muda.... berhentilah bermain dan keluarlah!" Kata Jimmy ketika memasuki ruang kamar. Lalu terdengar dobrakan pintu lemari.
"Ha ha ha! Kerja bagus Jimmy!" Sosok bocah dengan rambut blonde keluar dari lemari kecil, sedang dirangkulannya terdapat bocah perempuan manis.
"Ahhh... Miss Kate pasti akan marah..." frustasi Jimmy. Pipinya yang gembul tertarik ke bawah mengikuti ujung bibirnya. Membuat mimik memelas.
"Hehe, aku yakin juga begitu Jimmy." Cengir Ve tanpa rasa bersalah.
"Baiklah! Hari ini ayo kita melihat sekeliling taman belakang!" ujar Ve bersemangat. Baru saja Ve dan Jimmy melangkah, kedua anak itu merasa tubuhnya melayang. Kaki kecilnya bergerak-gerak di udara.
"Jadi kalian bersembunyi disini huh?" tangan kekar lelaki paruh baya itu dengan mudahnya menarik dan mengangkat kerah belakang dua anak lelaki yang hendak kabur.
"Sepertinya aku telah berhasil menangkap sepasang bocah bandel!" seru lelaki paruh baya itu dengan seringaian.
"Paman Oscar!" teriak Ve sambil memberontak. Melihat dua bocah itu bergerak tak karuan sang Paman melepaskan cengkramannya.
"Benar-benar kalian berdua..." ujar sang Paman sembari menghela napas. Ve, Jimmy dan Lisanna memasang muka bersalah. Terduduk diam di atas sofa empuk. Bersiap-siap mendengarkan ceramah sang paman.
"Kalian tidak seharusnya melakukan hal-hal yang akan membuat para pelayan khawatir." Nasehat sang paman. Melirik ketiga bocah yang terdiam menundukkan kepalanya. Bocah berambut blonde tiba-tiba mengangkat kepalanya, menatap sosok paruh baya itu dengan bibir mengerucut.
"Tapi! Mereka bahkan lebih tegang dari biasanya. Kan aku jadi ingin sedikit mengerjai mereka." Protes Ve. Mendengar alasan itu sang paman tergelak.
"Haha! Tidakkah kau pikir itu malah membuat mereka lebih tegang?" mendengar itu Ve memalingkan pandangannya ke depan. Masih dengan muka masamnya.
"Kau adalah pewaris darah Bezarius, dimana Bezarius sendiri adalah salah satu dari empat keluarga kerajaan besar. Dan ini sudah waktunya bagimu untuk melakukan ritual pengangkatanmu sebagai penerus keluarga Bezarius." Ve mencebik lesu, lalu menghela napasnya panjang.
"Yeah! Tentang itu... kenapa aku harus melakukan hal itu sih?" keluh Ve. Mendengar keluhan Ve dengan nada yang imut membuat paman Oscar tergelak lagi. Bocah berambut blonde itu terlihat menggemaskan ketika merasa kesal.
"Hahaha! Itu adalah takdir bagi penerus empat keluarga terkuat yang menginjak usia lima belas tahun. Cobalah untuk menerima hal itu."
"Yeah, kurasa sudah sepatutnya aku merasa bahagia bisa datang ke mansion untuk alasan itu." Bibirnya mengulas senyum hambar setengah dipaksa. Sejenak merenung. Ini adalah pertama kalinya dia bisa keluar dari rumahnya. Hal tersebut telah menjadi tradisi, bahwa anak bangsawan yang belum melalui upacara masuknya usia dewasa atau saat lima belas tahun maka tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan sosial. Upacara tersebut bertujuan untuk mengenalkan masyarakat dan para bangsawan pada penerusnya. Selama lima belas tahun itulah, Ve berada di mansionnya. Belajar mengenai sosial ekonomi dan pemerintahan. Ve tertawa jenaka di pikirannya, mengingat betapa gigihnya dia berusaha hanya untuk mendapatkan sedikit perhatian dari orang yang paling dia kagumi. Miris, bahwa orang tersebut bahkan tidak sedikitpun menatap dirinya. Bahkan enggan hanya untuk melirik.
"Tempat ini sangat menyenangkan! ... Bahkan meski sudah dua hari disini, masih ada banyak tempat yang belum aku lihat!" Balas Ve dengan semangat. Raut mukanya seketika cerah kembali. Ve sadar, sekarang bukan saatnya dia muram. Ini adalah hal yang dinantinya. Awal perjalanannya untuk membuktikan bahwa dirinya layak dihargai. Setidaknya, mungkin suatu hari nanti orang tersebut akan sedikit menatapnya.
"Bukankah mansion ini sangat indah? Tempat ini sepertinya dibangun lebih dari dua ratus tahun yang lalu, tapi sekarang tempat ini digunakan untuk pelaksanaan upacara pengangkatan penerus Bezarius." Jelas Paman Siwon. "Karena ini bukan tempat dimana kamu bisa seenaknya datang dan pergi, aku pikir kita bisa melakukan sesuatu yang menyenangkan selain upacara pengangkatan!" lanjutnya. Membuat ketiga bocah lesu tersebut kembali ceria.
"Ya! Kau juga datang saat upacara kan paman?"
"Ah..."
".... sebenarnya, ayahmu yang seharusnya melakukan tugas itu. Aku menyesal untuk menggantikan tempatnya." Ujarnya dengan sorot mata sendu.
"Hey, kau berkata apa sih paman, bagiku kau lebih seperti sosok ayah. Aku malah lebih senang kau yang melakukannya!" ujar Ve dengan raut wajah cerianya. Matanya membuat lengkungan sempurna.
"Yeah, tentu saja." sang paman tersenyum simpul. Entah mengapa senyuman Ve itu membuat hati Siwon berdenyut. Dalam kata manis yang diucapkannya, dia paham betul sebarapa hambar rasanya. Semanis apapun visual senyuman Ve, tapi siapa yang tahu akan kehambaran hatinya yang terdalam jika menyangkut ayahnya.
"Ah! Barang yang kau minta sudah jadi tepat pada waktunya." Sang paman melangkah menuju lemari agak besar di sudut ruangan.
"Ini akan sedikit sempit sepertinya, tapi kurasa itu bukan masalah." Memberikan peti kayu seukuran koper pebisnis ke Ve.
"Baguslah, terima kasih paman!" menunjukan cengiran kotak khasnya.
"Tuan Oscar!"
BANG! BANG! BANG!
Terdengar ketukan pintu yang keras, dengan suara teriakan khas Miss Kate menggema di ruangan. Sontak membuat orang-orang diruangan itu terlonjak kaget.
"Apakah Tuan muda Ve bersama mu?!" teriak Miss Kate dari luar ruangan. Seketika Ve dan Jimmy panik.
"Tolong paman! Apa aku boleh bermain sedikit lebih lama?" pinta Ve dengan raut memelas.
"Tuan Muda! Tidak boleh! Bukankah kau berjanji untuk berhenti menjelajah mansion pukul 4 sore?!" Protes Jimmy. Dia tidak ingin Tuannya telat dalam acara yang sangat penting. Sudah menjadi tugas dan kewajibannya untuk memastikan Tuan mudanya melakukan pekerjaannya.
"Tutup mulutmu! Aku bilang kan hanya sedikit lebih lama!?!" ujar Ve dengan sedikit membentak kesal. Membuat Jimmy merasa bersalah sudah menaikkan suaranya pada Tuannya.
"EEEEKkkkkk!!! Huwaaa!! Maafkan aku!! Maafkan aku!!" rengek Jimmy.
"Hey! Jangan membully Jimmy terlalu banyak, Okey?" nasehat paman Oscar sedikit berbisik, merasa kasihan melihat Jimmy depresi dan merengek. Jimmy adalah pelayan kecil Ve yang setia. Hatinya sangat lembut dan penuh kasih sayang. Baginya Ve adalah hidupnya, membuat Ve tersenyum dan dihargai semua orang adalah tujuan hidupnya. Ve adalah segala yang teratas dari prioritas hidupnya. Ve adalah definisi pusat rotasi dalam hidup Jimmy. Bahkan mungkin jika dibandingkan dengan sosok seorang ibu, Jimmy bahkan lebih gila. Karena apapun yang Ve minta, Jimmy akan menuruti.
"Kau butuh waktu untuk memberikan benda ini bukan? Jadi keluarlah dari sini!" ujar paman Oscar tersenyum simpul. Ve dan Jimmy mulai melangkah mendekati jendela besar ketika suara nyaring Miss Kate terdengar lagi.
"Dengar Ve! Kau tidak boleh mengacaukan pesta hari ini!" ujar paman Oscar sembari menuding Ve.
"Tentu saja!" sahut Ve.
"Jika sedikit saja kau melakukan hal yang akan menghambat. Aku akan memanggil wakil dari "Abyss"." Ancam Paman Siwon. Sejenak hening menyelimuti ruangan, membuat bulu kuduk Ve bergidik.
"Maaf, tapi ancaman seperti itu tidak akan bekerja padaku!" balas Ve dengan cengiran kotaknya.
Ketiga anak itu melompat melalui jendela besar di ruangan itu. Berlari kecil menyusuri taman belakang yang rimbun. Melewati taman berbunga yang indah. Mansion ini terletak di dataran tinggi. Berbagai tanaman tumbuh terawat disini, meskipun tempat ini hanya digunakan saat perayaan pengangkatan.
Ketiganya menaiki tangga menuju ke taman belakang. Tempat yang tinggi membuat udara segar yang berhembus sangat nyaman. Langkah kaki Ve baru saja menapaki beranda yang sangat panjang, dan atap yang tinggi ketika Lisanna menarik pelan tangan Ve.
"Um... Kak."
"Huh?" sahut Ve.
"Abyss itu apa?" tanya Lisanna polos.
"Umm, itu adalah penjara dimana orang jahat akan dimasukan. Rumornya jika kau masuk ke dalamnya, kau tidak akan pernah bisa kembali lagi."
"Apakah penjara itu seperti yang kita lihat dibuku beberapa waktu lalu?" tanya Lisanna penasaran.
"Betul!" jawab Ve yang sibuk membuka peti kayu yang dibawanya.
"Wakil yang datang dari "Abyss" akan menangkap orang-orang yang melakukan hal yang kejam. Katanya ada sosok makhluk yang akan membawa mereka ke tempat yang mengerikan." Imbuh Jimmy.
"Tapi sebelum kita menceritakan padamu lebih jauh... Coba lihat ini Jim!" Ve menyodorkan jubah putih yang nampak indah dan mahal. Jimmy sejenak terdiam mengamati jubah itu.
"Ini... Bukankah ini sedikit kekecilan Tuan?" tangan kecilnya berusaha membentangkan jubah putih.
"Huh?" Ve terkekeh melihat ekspresi imut Jimmy "Tak masalah, lagi pula itu jubah untuk kau pakai saat upacara pengangkatanku." Ve tersenyum simpul.
"Ehhh??" mata sipit Jimmy membulat.
"Itu benar, karena kau akan menghadiri upacara itu dan baju yang akan aku pinjamkan kebesaran untukmu, makanya aku meminta paman untuk mengecilkannya."
"Ehhh? Tapi... tapi... aku tidak pernah mendengar hal ini. Aku tidak bisa menerima ini Tuan Muda." Jimmy menggeleng keras. Menyodorkan paksa jubah putih di tangannya.
"Tentu saja. Tapi jika aku memaksamu untuk menerimanya bagaimana huh?!" ujar Ve sedikit membentak. Melihat Jimmy yang merengek sedih ketika dibentak adalah kesenangan tersendiri bagi Ve. Menurutnya, ekspresi Jimmy yang gelisah dan ketakutan adalah yang terimut.
"Tapi aku tidak bisa." Rengek Jimmy lagi "Tolong cari orang lain segera mungkin." Pinta Jimmy keras kepala. Jimmy mungkin saja seorang penurut, namun bukan tidak mungkin dia akan menolak permintaan Ve. Jika dibalik penolakannya adalah untuk kebaikan Ve.
"Hey, jangan khawatir Jim." Ve menepuk punggung Jimmy halus. "Lagipula tugasmu hanya menaruh jubah di punggungku. Sebenarnya bukan masalah ada atau tidaknya dirimu. Tapi kau..." belum selesai Ve berucap Jimmy menyela.
"Tidak! Tugas seperti itu tidak layak untukku Tuan. Aku hanyalah pelayan biasa!"
"Tidak Jim," Ve menyentuh pundak Jimmy halus. Menatap lurus ke mata Jimmy. Iris zamrud nya melembut seiring ulas senyum penuh makna.
"Kau tidak melakukan hal itu sebagai pelayan. Tapi aku ingin kau melakukan tugas itu sebagai seorang teman." Mata emerald itu begitu lembut tercermin di iris kecoklatan Jimmy.
"Hah?!" sejenak Jimmy tersipu, mendengar begitu besar kepercayaan yang diberikan Ve kepadanya. Tapi dia langsung sadar statusnya. Kepalanya menggeleng cepat, membuat rambut kelamnya ikut bergerak-gerak gemas.
"Itu semakin tidak mungkin! Bagaimana bisa seorang pelayan yang dipungut dari panti asuhan memiliki status yang sama dengan temanmu! Kau akan menjadi bahan kritikan dan gunjingan para bangsawan Tuan!" protes Jimmy tak terima.
Ve terdiam mendengar alasan logis Jimmy. Ada raut wajah sendu yang muncul ketika Jimmy menjelaskan alasannya. Ve tersenyum simpul, namun terlihat hambar. Nyatanya meskipun dia terlahir punya seorang ayah. Dia merasa sendiri. Dalam benaknya, nasibnya bahkan tidak lebih beruntung dari Jimmy.
"Tidak." Sahut Ve dengan nada lemah. "Lagipula aku tidak mengkhawatirkan hal itu." Lanjutnya.
"Tuan Besar akan marah padaku!" Jimmy tidak kehabisan akal.
"Tenang saja. Beliau bahkan tidak pulang ke rumah pada ulang tahun anaknya. Aku yakin, dia tidak akan datang kemari hanya untuk memarahimu." Balas Ve dengan senyuman kecut terlukis di wajahnya. Jimmy sangat paham perasaan Ve melalui ekspresi wajahnya yang terlihat terluka.
Jimmy sudah tidak punya alasan lagi untuk memprotes keinginan Ve. Ketiganya terdiam ketika angin berhembus kencang. Membawa angin segar dan sejuk, membuat tubuh ketiganya sedikit bergetar. Ve masih terdiam menikmati hembusan angin ketika telinganya menangkap suara melodi yang mengalun samar-samar.
"Tuan muda?" panggil Jimmy ketika melihat Ve terdiam.
"Suara apa ini?" gumamnya.
"Huh?" sahut dua yang lain.
"Kalian mendengarnya?" tanya Ve. Melodi indah itu mengalun lembut dan samar. Begitu familiar di telinganya. Membuat Ve penasaran. Bagai sihir, melodi itu memesonakan Ve, membuatnya tak sadar melangkahkan kakinya mendekati alunan melodi. Langkah kakinya menjauhi beranda, mendekati taman yang dikelilingi pepohonan dan semak yang rimbun. Jimmy mengikuti langkah Ve di belakangnya.
Langkah kaki Ve terhenti ketika dia merasakan getaran di permukaan tanah. Sekejap mata, tanah yang dia pijaki bergetar dan longsor. Membuat tubuhnya itu terjerembab ke dasar lubang. Jimmy yang berada tepat di belakangnya ikut terjerembab ketika hendak meraih tangan Ve. Tubuh Jimmy menindih Ve yang terlentang di atas tanah. Longsoran tanah itu membuat lubang yang cukup besar.
"Ughh! Itu menyakitkan. Hey Jim, kau masih hidup kan?" tanya Ve. Sedikit mengernyit ngilu di punggungnya.
"Se- sepertinya..." lirih Jimmy mencoba bangkit.
Kedua bocah lelaki itu masih terduduk ketika matanya menangkap pemandangan satu pohon sangat besar dan sebuah salib yang cukup besar di bawahnya. Pohon dengan diameter hampir dua meter itu tumbuh menjulang. Sepertinya ujungnya melampaui gua kecil itu dan membentuk semak belukar diatasnya.
"Tempat ini... mungkinkah... Kuburan?" tanya Jimmy pelan. Mencoba bangkit dari atas tubuh Ve.
"Kelihatannya, tapi... hanya ada satu kuburan disini." Balas Ve mendekati salib yang menempel di pohon besar. Iris emerald Ve menangkap sebuah benda bulat dengan rantai kecil panjang tersampir di lengan salib.
"Namanya sudah memudar, aku tak bisa membacanya." Ujar Jimmy sambil mengamati ukiran nama di salib.
Ve menghiraukan gumaman Jimmy, benda bulat keemasan itu merenggut semua atensinya. Baru saja tangannya menyentuh permukaan benda itu. Ketika tiba-tiba dia merasakan sesuatu di jantungnya. Perasaan yang begitu familiar dan mengganggunya. Ve membuka benda bulat itu. Nampaknya itu seperti sejenis arloji saku. Ada tuas pemutar di bagian atas. Dia mencoba untuk memutar tuas itu perlahan. Gugup melingkupi batinnya. Dia masih penasaran apakah melodi tadi berasal dari benda mirip arloji ini.
Suara detikan jam memenuhi gendang telinganya. Ketika tersadar Ve telah berada di tempat yang berbeda. Dia berada di sebuah ruangan yang nampak seperti kamar anak perempuan. Nampak di sekelilingnya terdapat lemari penuh dengan boneka yang tertata rapi. Ada beberapa jendela yang besar dan tinggi hampir menyentuh atap. Setiap jendela terdapat tirai panjang yang menjuntai. Lantainya seperti papan catur yang sangat luas. Ada sebuah sofa empuk dan panjang. Di depan sofa terdapat sebuah meja dengan bunga yang sangat cantik.
"Dimana?" gumam Ve. Tentu saja tidak ada yang menyahutnya. Dia sendirian di tempat itu.
Bocah berambut blonde itu sedikit tersentak ketika mendengar kekehan halus. Kekehan itu perlahan-lahan semakin mengeras. Membuat Ve terkejut dan ketakutan. Bulu kuduknya meremang. Tungkai kakinya terasa kaku.
"Kembali! Akhirnya dia kembali!!!" suara lengkingan itu mengejutkan Ve. Dan saat itulah Ve menyadari bahwa boneka-boneka di lemari yang terkekeh dan berbicara. Satu persatu dari puluhan boneka yang tertata rapi itu saling berbisik.
"Sangat menyenangkan..."
"Dia pasti sangat senang...."
"Ya, tentu saja!! karena dia telah menunggu sangat lama..."
Celotehan boneka-boneka menyeramkan itu membuat syok Ve. Tubuhnya terdiam tak bergerak dengan mata yang membulat ngeri. Lidahnya kelu hanya untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Semuanya, tolong diam. Kalian sedikit menakutinya." Suara lembut dan menyenangkan terdengar di balik punggungnya. Mendengar perintah itu seketika suara-suara yang menyeramkan dan memekikkan telinga dari boneka-boneka itu berhenti. Perlahan Ve mencoba untuk menggerakkan kepalanya, menoleh ke sumber suara manis itu. Iris hijau Ve manangkap sosok anak dengan rambut hitam panjang menjuntai, gaun putihnya sangat indah dan pas di tubuhnya.
"Kau... kau adalah..." gumam anak itu. "Aku tahu! Kau datang untukku! Aku sangat senang!" Tanpa basa-basi anak itu menghambur ke pelukan Ve. Sontak membuat Ve kaget dan tersipu.
"A-Apaa?!" seru Ve setengah gugup.
"Semua orang membenciku... itulah kenapa tidak ada yang datang untuk menemuiku!" gumam anak itu di pelukan Ve.
"Tunggu sebentar! Aku tak paham apa yang kau katakan! Dan, tempat apa ini!?" Ve mendorong tubuh anak itu menjauh darinya.
"Apa yang kau katakan? Kau.. bukankah kau selalu datang kesini?" anak itu berputar ke tengah ruangan, membentangkan kedua tangannya.
"aku?" gumam Ve. Dia sama sekali tidak mengingatnya.
"Ya, kamu. Kapan saja aku merasa sedih, kau selalu ada disisiku. Selama kau disini, aku tidak peduli meskipun aku tidak bisa pergi dari tempat ini." Terang anak itu. Kata-kata anak itu membuat Ve bingung. Dia bahkan baru saja berkunjung ke mansion dua hari yang lalu. Anak itu dan tempat mengerikan ini tidak pernah ada di ingatannya.
"Kau... sebenarnya kau itu apa?" tanya Ve sedikit bergidik ngeri.
"Aku...?" gumam anak berambut panjang itu, menjatuhkan boneka barbie yang dipegangnya. Seketika ruangan yang penuh warna itu memudar. Gelap perlahan meliputi ruangan itu. Pekikan mengerikan menggema di seluruh ruangan. Sosok anak berambut panjang itu menghilang meninggalkan sosok Ve yang diam bergidik. Suara-suara melengking terus menggema tanpa henti, membuat pening kepala Ve. Tanpa sadar dirinya berteriak.
"BERHENTIIIII!!!!!"
Ruangan itu tiba-tiba hening. Gelap meliputi seluruh ruangan. Menyisakan dirinya yang terdiam sendiri. Ketika itu Ve merasa ada sosok yang menyentuh punggungnya. Membisikkan sesuatu di samping telinganya.
"Aku akan membunuhmu." Bisik suara lembut itu. Seketika lantai yang dipijaknya runtuh. Membuat tubuhnya terjerembab melayang jatuh. Saat tubuhnya terasa melayang jatuh, ada sosok yang mencengkeram kerah bajunya.
"Aku tidak akan memaafkanmu..."
"Aku tidak akan pernah... tidak akan pernah!!!" sosok itu menggeram.
"Jangan pernah lupa!!"
"Kemanapun kau lari dan sembunyi, aku akan menemukanmu apapun yang terjadi.!!"
"Le-lepas!!" Ve mencoba memberontak. Mencoba melepaskan cengkeraman sosok mengerikan itu. Ekpresi wajahnya nyata menunjukan kengerian.
"Kenapa? Apakah aku membuatmu takut?" melihat Ve ketakutan sosok itu terkekeh.
"Hehehe, bagus... aku akan membuatmu takut." Sosok itu meraih jemari Ve. Menautkan miliknya dengan milik Ve. Kepalanya mengusak ke leher Ve di tengah tubuhnya yang melayang jatuh.
"Ratapan..."
"Menggigil ketakutan..."
"Keputusasaan..."
"semua itu, aku akan dengan lembut mengajarimu segalanya!!"
.
.
.
.
"Tuan muda!!" seru Jimmy sembari menepuk bahu Ve cukup keras.
Tepukan dan teriakan Jimmy membuat Ve tersentak dan tersadar. Sejenak bocah itu geming, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Memproses apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang dialaminya tadi cukup nyata dan terlampau nyata, bahkan dia masih merasakan kengerian dari kutukan anak yang mencengkeram kerahnya. Matanya mengkerjap sangat pelan dan mencoba menarik napas terdalamnya lalu menghembuskan perlahan.
Jimmy nampak khawatir dengan tuannya yang sedari tadi melamun dan tak bergerak sedikitpun dari depan salib besar itu.
"Apa yang terjadi? Kau melamun dari tadi..." ujar Jimmy menatap wajah Ve yang memucat.
"... arloji itu... apakah terjadi sesuatu?" Tanya Jimmy. Matanya fokus pada arloji saku pada telapak tangan Ve.
Ve mengikuti fokus mata Jimmy. Perlahan membuka arloji yang masih tertutup di telapak tangannya. Aneh, hanya kata itu yang terlintas dipikirannya. Jam saku perunggu itu masih berdetik, terlihat sangat normal. Berbanding terbalik dengan penampakan fisik yang terlihat kuno. Suasana sunyi yang melingkupi membuat suara detikan sangat kentara. Seraya membuat Ve menyadari bahwa ada suatu hal yang tidak beres. Dia sangat yakin kalau alunan melodi yang tadi terdengar berasal dari arloji antik tersebut. Susunan melodi yang unik dan begitu akrab di telinganya.
Entah perasaan rindu tentang apa atau siapa, namun Ve yakin bahwa alunan melodi itu benar adanya. Kejadian mengerikan itu nyata dia alami. Hanya saja, satu hal yang mengganggunya. Perasaan nostalgia itu, terus mengusik hatinya. Membuatnya meragukan jati dirinya.
"... Apa yang baru saja terjadi?" gumamnya. Angin berhembus seraya menyapu kegelisahan Ve.
"Baiklah, ayo kembali." Ujar Ve. Mengambil kembali peti kayu yang tergeletak di lantai beranda.
"Apakah kau yakin tak apa untuk menyimpan jam itu?" tanya Jimmy khawatir.
"Tak apa. Nanti aku akan bertanya ke Paman tentang makam itu." Jawab Ve saraya menghampiri Lisanna.
"Baiklah. Ini tangkap!!" Ve melemparkan peti kayu berisi jubah putih. Dengan tubuh mungilnya dia berhasil menangkap peti kayu yang cukup besar itu.
"Mrs. Kate akan memberi tahu detailnya untuk malam ini." Lanjut Ve sebelum berbalik meninggalkan Jimmy. Belum beberapa langkah Ve berjalan Jimmy kembali protes.
"Tapi tuan muda!! Tidak ada alasan bagi orang sepertiku untuk hadir pada upacara itu!"
Ve menghentikan langkahnya, menengok ke arah Jimmy yang memasang wajah memohon. Ve sedikit terhibur betapa imutnya ekpresi wajah Jimmy.
"Aku tahu. Aku tidak akan memaksamu." Ucap Ve mendekati Jimmy yang berdiri mematung mengangkat peti kayu di kedua tangannya.
"Jika kau tidak datang, aku tidak apa-apa kok." Lanjut Ve, kedua lengannya terjulur ke bahu Jimmy. Jemarinya sedikit mencengkeram otot bahunya seraya menyeringai lebar.
Jimmy langsung paham bahwa dirinya tak bisa menolak lagi. Kakinya melemas dan terduduk. Tekanan yang diberikan Ve, luar biasa pengaruhnya bagi Jimmy. Lalu dia menatap punggung Ve dan Lisanna menjauh.
.
.
.
Ve berjalan menjauhi beranda taman itu, meninggalkan Jimmy yang masih terduduk lemas. Hening meliputi perjalanannya ke mansion utama. Pikirannya dipenuhi oleh rasa penasaran dan kebimbangan tentang kejadian yang baru saja dia alami. Sebagian dari pikirannya menyangkal bahwa itu semua hanya mimpi. Jemarinya terangkat menyentuh lehernya. Rasa cekikan sosok menyeramkan itu masih terasa. Bayangan sosok mengerikan itu kembali terlintas.
.
.
Jimmy masih terduduk di beranda taman di belakang mansion utama. Pikirannya masih bergelut, bimbang haruskah dia menghadiri upacara tersebut atau tidak. Tangan mungilnya menatap jubah putih yang dia bentangkan di depannya. Jimmy begitu sibuk berpikir tanpa menyadari ada sosok misterius yang mengincarnya.
"Bagusnya... Baju ini..." gumam sosok berjubah merah darah dibelakang Jimmy. Gumaman seorang wanita yang mengerikan. Sontak membuat Jimmy terlonjak. Namun semuanya terlambat bagi Jimmy untuk kabur. Ketika sosok tersebut telah berada tepat di belakang punggungnya.
"Maukah kau menunjukkan itu padaku juga?"
.
.
.
"Tuang muda Ve?" seru Miss Kate yang sudah berdiri di depan pintu besar ruang upacara pengangkatan. Memanggil Ve yang sudah memakai kemeja putih dengan dasi berlipatnya rapi. Lengannya bertumpu pada pegangan tangga pandangannya terus saja menuju ke luar jendela. Entah perasaan apa yang mengganggunya. Namun, kejadian tadi sore sepertinya turut serta mempengaruhinya, selain cuaca malam pengangkatan yang sangat mengerikan diluar ruangan.
.
.
.
"HAHAHAHA!! HAHAHAHA!!" tawa Jimmy memenuhi beranda taman belakang mansion utama.
"Lihat! Lihat! Lihat!" tubuh mungil itu berputa-putar, membuat jubahnya ikut bergerak indah. Helaian rambutnya ikut bergerak-gerak mengikuti alunan tubuhnya.
"Ini benar-benar cocok untukku! Tidakkah kau pikir aku seperti pangeran?!" serunya dengan suara yang asing. Tidak jauh dari tempat Jimmy berputar-putar sosok berjubah merah itu menyeringai.
"Oh! Tentu saja itu terlihat bagus padamu!" tubuh Jimmy berhenti berputar. Jemarinya menyentuh-nyentuh pakaiannya.
"Apakah kau menyukainya Doldam?" tanya gadis berjubah itu.
"Hmm... satu-satunya yang tak kusukai adalah kualitasnya yang rendah, tapi... ini benar-benar mudah untuk bergerak Dolldee!!" bibir mungil itu menyeringai bengis. Golden eyesnya nampak seredup langit kelam.
"Haruskah kita pergi sekarang?!" serunya riang.
"Kita akan memberikan pewaris Bezarius berkat terbesar yang tak terbayangkan!!" suara gadis bernama Doldam itu melengking, menyeringai kejam penuh dendam.
.
.
.
Upacara akan segera di mulai. Miss Kate sudah memanggil Ve beberapa kali. Dan untuk kesekian kalinya akhirnya Ve menyerah. Jimmy belum juga menampakkan batang hidungnya. Membuat Ve sedikit khawatir.
'Waktu sepertinya berdetik lebih cepat dari biasanya. Perasaan ini terasa seperti aku ditarik pada kegelapan terdalam.'