Kelas siang ini selesai dengan cepat, Ebi segera memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas. Termasuk buku milik Alfa yang tergeletak di atas meja, di masukkannya ke dalam tas berwarna hitam itu.
Gadis itu mulai beranjak dengan dua tas yang ia bawa. Berjalan keluar menuju kelas seni yang tak jauh dari tempatnya. Langkahnya memelan, ia mencoba untuk mengintip melalui jendela.
Memperhatikan Alfa yang sedang duduk sambil memperhatikan lukisannya tanpa ekspresi. Ebi menghela, dan segera berjalan masuk menghampiri Alfa.
"Tas kamu," ucapnya sambil menyodorkan tas ransel berwarna hitam itu.
Alfa mengambil tasnya dengan lemas, memakai tas itu, dan beranjak, "Lo mau kemana?"
"Pulang."
"Temenin gue sebentar ya, gue ngerasa hari ini hampa banget."
"Mau kemana?"
"Pulang berdua, nelusurin jalan," sahut Alfa, "Gue gak bawa mobil, jadi kita jalan kaki, lo mau kan?"
Gadis itu mengangguk, dan menggandeng lengan Alfa sebagai tanda persetujuan.
Mereka berdua berjalan keluar, meninggalkan sekolah yang mulai sepi, hanya tersisa Pak Antok yang bekerja sebagai tukang kebun, termasuk satpam sekolah.
Dua remaja itu berjalan menyusuri jalanan sambil tertawa kecil. Memperhatikan jalanan besar yang di lalui kendaraan besar, dan kecil. Sesekali Alfa berjalan di tengah-tengah ketika tak ada satu pun kendaraan yang lewat.
Berlari dengan cepat ketika ada truk atau mobil yang melaju dengan cepat.
Alfa tertawa, menggandeng tangan Ebi sambil menariknya seperti anak kecil yang meminta jajan pada sang Ibu.
"Kita mau kemana?" tanya Ebi.
"Kemana aja, yang penting sama lo," sahut Alfa sebelum menghentikan langkahnya.
"Kenapa berhenti?"
"Awannya bagus Na, coba deh liat!" Alfa menunjuk ke langit, memberitahu Ebi salah satu awan yang membentang memenuhi langit sore itu.
Kedua netra gadis itu mulai menyipit, melihat awan yang di maksud Alfa dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke atas. Terlihat indah, di tambah dengan beberapa burung yang melewatinya.
"Bagus," gumam Ebi.
"Cantik Na, bukan bagus."
"Sama aja!" sahut Ebi.
"Kalau bagus mah biasa aja, cuman bagus doang, kalau cantik itu definisi bagus banget!" jelas Alfa yang kali ini menatap lawan bicaranya.
Ebi menghela, perhatiannya beralih pada cowok di sampingnya itu, "Terserah kamu aja deh Fa, sesuka hatimu, sebahagia kamu!"
"Tapi gue belum bahagia Na."
"Cari bahagiamu!"
"Udah gue temuin."
"Kenapa belum bahagia juga?"
"Soalnya lo masih suka sama alzam, suka sama gue dong Na! Janji deh gue bahagia terus, gak akan nakal lagi!" jelas Alfa dengan cengirannya.
Ebi kembali mendengus, menatap Alfa datar, dan melanjutkan jalannya dengan cepat. Alfa menyusul dengan langkah pelan, senyum jahilnya kembali terlihat, membuat langkah kakinya berubah menjadi berlari.
"Na, jadi pacar gue yuk!" ajaknya.
"Gak mau."
"Kenapa?"
"Masih SMA."
"Berarti nanti pas lulus lo mau jadi pacar gue?"
"Gak juga."
"Kenapa?"
"Soalnya aku gak suka sama kamu, aku sukanya-"
"Sukanya alzam," potong Alfa cepat.
"Nah! Itu kamu tahu, artinya?"
"Artinya gue harus sabar, dan ngumpulin kekuatan ekstra supaya lo jadi milik gue!"
****
Cowok itu menghela panjang, menoleh ke belakang sejenak, dan kembali melanjutkan jalannya untuk masuk ke dalam unit rumahnya. Namun, keningnya bertaut dalam, wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik memberikan senyuman manis padanya sekarang.
Wanita itu mendekat, menggenggam tangan kanan Alfa dengan sangat erat, dan berkata, "Mama kangen sama kamu."
Alfa terdiam, mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Ia merasa ini mimpi, tapi Alfa juga tahu jika ini nyata. Ia sedang berdiri di depan Ana tanpa memberikan seulas senyuman.
"Kenapa Mama gak ngasih tahu aku kalau ke sini? Kenapa Mama juga bisa masuk ke dalam sini? Ini privasi aku Ma!" ucap Alfa ketus sambil berlalu meninggalkan Ana yang masih berdiri di ambang pintu.
Wanita itu menghela, menutup rapat pintu rumah Alfa dengan pelan, dan kembali menghampiri putera bungsunya yang sedang duduk di sofa.
"Mama minta kunci cadangan, lagian apartemen ini juga kamu belinya pakai uang mama. Jadi mama punya hak buat masuk kapan aja," sahut Ana.
"Tapi aku gak suka. Mama harusnya paham dong sama privasi aku, Mama harusnya ngertiin aku!" jelas Alfa dengan nada bicara yang sedikit ketus, "Semua permintaan Mama selalu aku turutin ya Ma, tentang pertemuan donatur di sekolah, rapat antar sekolah, rapat ini, rapat itu, semuanya. Aku gak pernah nolak, aku selalu nurut, jadi Mama juga harus nurut dong!"
"Nurut?"
"Iyalah, Mama harus nurut soal privasi aku! Soal unit apartemen ini yang jadi hakku, yang harus sesuai sama peraturan aku!"
"Termasuk mama? Meskipun mama ini mama kamu?"
Alfa mengangguk sebagai jawaban.
Ana kembali menghela panjang, beranjak dari duduknya, dan pergi menuju dapur yang tak jauh dari tempatnya duduk bersama Alfa. Ia mulai membuka kulkas, melihat semua isi kulkas yang penuh itu, dan beralih pada lemari gantungnya.
Keningnya bertaut dalam, semua lemari itu hanya berisi bumbu dapur yang sedikit. Hanya berisi dua sampai tiga bumbu, dan lainnya kosong.
"Kenapa kosong lemarinya Fa?" tanya Ana setengah berteriak.
"Aku makan di luar, lagian gak ada waktu buat masak sendiri," sahut Alfa sambil berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai atas.
"Kamu ini gak boleh boros, harus jaga kesehatan juga! Makanan olahan di luar itu belum tentu sehat!" teriak Ana kesal.
Alfa hanya menoleh, dan kembali menaiki anak tangga menuju kamarnya. Menutup pintu kamar dengan asal, dan mulai mengganti seragamnya dengan pakaian santai.
Sementara Ana yang masih ada di dapur mengambil setiap bahan masakan yang tersimpan di dalam kulkas. Mengolahnya menjadi makan yang lezat, dan menggugah selera.
"Alfa, ayo makan!" teriak Ana tanpa menoleh ke atas.
Suara derap kaki terdengar, kedua sudut bibir Ana terangkat. Ia segera menyajikan ayam goreng kesukaan putranya itu di atas piring saji, dan mulai duduk.
"Ayo, makan!" titahnya sambil mengisi air mineral di dalam gelas.
Alfa hanya menghela samar, kemudian duduk di depan Ana.
"Mama kenapa ke sini?" tanya Alfa datar.
"Kangen sama kamu."
"Gak mungkin, jujur aja sama aku!"
Wanita itu menghela, meletakkan sendok beserta garpunya di atas piring, dan berkata, "Mama jujur, mama kangen sama kamu. Mama mau kamu pulang ya, tinggal sama-sama lagi kaya dulu!"
"Buat apa aku harus tinggal kalau Mama lebih sayang sama kakak ketimbang aku? Buat apa aku tinggal kalau Mama selalu pergi, rumah selalu kosong, sisa aku sama pekerja di rumah, buat apa?" tanya Alfa kesal.
Wanita itu terdiam, raut mukanya nampak menyesal, "Mama minta maaf, tapi ini permintaan papa. Papa sakit Alfa, papa minta kamu tinggal."
"Aku gak mau, lagian dia bukan papa kandungku."
"Alfa, meskipun bukan, tapi papa sayang sama kamu!"
"Sayang? Sayang apanya sih Ma? Papa selalu kasar sama aku, papa selalu minta sesuatu yang aku gak suka!"
"Itu karena papa sayang Alfa, papa mau kamu jadi orang yang kuat," jelas Ana.
"Kuat?" Alfa berdecih dengan senyuman sinisnya, "Bukan kuat Ma, tapi depresi!"