Chereads / The Last Memories / Chapter 16 - DIA & DIA

Chapter 16 - DIA & DIA

Ucapan Nera masih Ebi ingat dengan jelas. Tak ada yang salah memang, tapi anehnya Ebi merasa sakit hati ketika di cap bodoh oleh Nera. Padahal itu adalah fakta yang sebenarnya, tentang Ebi yang bodoh karena terus membisu.

Para pelaku bully pun tak akan tinggal diam ketika Ebi melawan. Bahkah mereka semakin menjadi, menjadi lebih ganas ketika perlawanan di rasakan.

Ebi menghela panjang, membuka pintu rumahnya dengan perlahan hingga menimbulkan suara dencitan khas pintu usang.

Gadis itu berjalan menuju dapur, dan tidak sengaja melihat Bu Jihan dengan puterinya baru selesai makan.

Bu Jihan sempat menatap manik mata Ebi, dan kembali menatap puterinya. Memberikan senyuman tulus yang selalu di dambakan oleh Ebi.

"Sayang, nanti mau jajan apa?" tanya Bu Jihan.

"Apa ya Ma? Aku gak tahu, tapi kayanya telur gulung enak!" sahut Jona semangat.

Bu Jihan mengelus puncak kepala Jona  dengan kasih sayang yang bisa di rasakan Ebi.

"Oke, nanti abis makan telur gulung langsung pergi ke rumah nenek ya!"

Gadis kecil itu mengangguk sebelum akhirnya beranjak, berjalan meninggalkan Ebi yang masih mematung di depan pintu dapur.

"Jangan diem, kerjaan kamu ada banyak!" tegas Bu Jihan.

"Iya, Bu maaf!"

Bu Jihan mendengus, kemudian pergi menyusul Jona yang sudah berjalan keluar tanpa memakai jaket.

Ebi menghela samar, ia mulai duduk di salah satu kursi. Mengambil piring, menuangkan nasi sisa, beserta lauk sisa yang tinggal sedikit.

Perasaan iri beserta sedih bercampur menjadi satu. Membuat air matanya mulai menggenang, gadis itu mulai menangis dengan sesenggukan.

Perasaannya terasa kacau, entah apa yang membuatnya seperti ini. Rasanya sangat sedih, dan ingin memeluk seseorang sambil mengadu tentang pahitnya hari yang di lewatinya.

"Ma, aku pengen ketemu sama mama. Mama di mana? Jangan buat aku berharap terus ma, aku juga pengen kaya orang lain," ucap Ebi di sela tangisnya, "Aku juga pengen punya keluarga yang utuh, pengen bisa makan berdua sama  mama."

****

Seluruh pekerjaannya telah selesai. Rumah terlihat rapi, dan indah, dengan aroma mint yang tercium hingga saat ini. Ebi tersenyum puas sebelum akhirnya berjalan keluar, dan mengunci pintu rumahnya.

Gadis itu mulai berjalan dengan tenang, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie berwarna hitam yang ia kenakan.

Suasana malam ini terlihat sangat sunyi, seluruh tetangganya berada di dalam rumah. Padahal pemandangan langit terlihat sangat indah, banyak bintang yang menemani bulan sabit di atas sana.

Ebi menghela panjang, mengubah langkahnya menjadi berlari sebelum akhirnya ia benar-benar keluar dari gang sempit itu.

Suara kendaraan umum bersamaan dengan polusi udara yang tidak terlihat membuat Ebi merasa tidak nyaman. Ia mempercepat langkahnya, membuat orang-orang yang sedang berdiri itu memperhatikannya dengan kening bertaut.

Langkahnya mulai berhenti di depan Ruang Terbuka Hijau. Salah satu sudut bibirnya terangkat, ia kembali berjalan dengan cepat, duduk di salah satu kursi hijau yang tersedia di sana.

Suara jangkrik terdengar dengan jelas, suasana yang begitu sunyi tidak membuatnya takut. Meskipun cahaya lampu yang minim, dan tidak ada satu orang pun yang ada di tempat itu, Ebi tidak merasa takut.

Ia pikir tak akan ada pencuri yang mengincar gadis miskin seperti dirinya. Ebi tidak memiliki uang, dan tidak memiliki barang berharga seperti perhiasan yang di kenakan anak perempuan pada umumnya.

"Ta?"

Suara itu membuat Ebi menoleh, ia merasa tidak asing dengan suaranya. Terdengar sangat akrab, dan membuat sudut bibirnya terangkat. Secara otomatis, ia melambaikan tangan pada cowok yang sedang berlari mendekatinya.

Alzam ikut duduk, menatap Ebi dengan senyuman lebarnya, "Hoodie kita kembar!"

"Warnanya aja."

"Gapapa, yang penting kembar. Aku suka, kamu gimana?"

"Apanya?"

"Kalau hoodie kita kembar, suka atau engga?" tanya Alzam.

"Suka kayanya."

"Jangan kayanya dong Ta!"

"Iya, Alzam aku suka."

"Bagus!" sahut Alzam dengan senyuman yang lebih lebar.

"Kamu ngapain ke sini Al?"

Alzam menghembuskan napas panjang sambil memperhatikan bintang yang bertabur di atas langit.

"Tiba-tiba aja pengen ke sini, mungkin karena kamu ke sini, jadi Tuhan ngasih tugas buat jagain bidadari yang lagi duduk sendirian di sini," jelas Alzam panjang.

Ebi tertawa terbahak-bahak, jawaban dari Alzam tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

"Kamu ini jangan bercanda!" protes Ebi.

"Aku serius Ta, aku serius kok gak lagi bercanda."

"Aku gak percaya."

"Memang, jangan percaya sama aku Ta, percaya itu harus kepada Tuhan!"

Gadis itu tersenyum tipis, menyingkirkan tudung hoodie yang menutupi sebagian kepala Alzam dengan perlahan.

"Itu yang aku suka dari kamu Al."

"Apa Ta?" kening Alzam bertaut dalam.

"Kamu beda, aku suka."

"Kamu juga, makanya aku suka banget sama  kamu."

Ebi menatap manik mata milik Alzam lamat-lamat, sampai akhirnya senyuman itu kembali terukir hinggal memperlihatkan deretan gigi rapinya.

"Aku suka sama kamu Ta, cuman aku belum bisa mastiin ini cuman rasa suka suka atau rasa cinta," ucap Alzam.

"Gimana  caranya kamu tahu itu rasa suka aja, sama rasa suka yang berubah jadi cinta."

"Aku masih nunggu, buat bener-bener yakin sama perasaanku Ta."

Ebi kembali tersenyum, "Tunggu aja Al, aku gak akan berharap sama  kamu."

"Kenapa?"

"Terlalu banyak harapan, rasa sakit yang aku rasain juga makin banyak Al. Beban jadinya," jelas Ebi.

"Aku paham Ta, jadi sekarang aku gak akan buat kamu berharap. Lebih tepatnya aku bawa kamu ke pintu keajaiban."

Kening Ebi bertaut dalam dalam.

"Sebuah pintu yang mirip punya doraemon, bedanya aku yang buat," jelas Alzam.

"Kamu tahu gimana cara buatnya?"

"Aku udah buat kotaknya aja sih Ta, besok aku bawa ke sekolah kalau kamu lihat."

"Beneran?"

Alzam mengangguk yakin.

"Aku tunggu ya!" sahut Ebi bersemangat.

Alzam tersenyum, mengusap tudung hoodie Ebi hingga terjatuh. Hal itu membuat kening Alzam bertaut dalam, ia mendekat. Memperhatikan rambut Ebi dengan lamat-lamat.

"Siapa orangnya Ta?" tanya Alzam.

"Jangan tahu Al, lebih baik kamu gak tahu!" Ebi kembali menutup kepalanya dengan tudung hoodie tanpa menatap wajah Alzam.

"Gak Ta, aku harus tahu. Siapa orangnya?"

"Gak penting Alzam, jangan terlalu di pikirin!"

Alzam menghela panjang, ia tidak bisa melawan Ebi, "Yaudah ikut aku sekarang!"

"Kemana?"

"Ikut aja yuk!" Alzam menggandeng lengan kecil itu hingga mereka berdua beranjak dari tempat duduk. Pergi dengan berjalan kaki menuju toko pertokoan yang tak jauh dari Ruang Terbuka Hijauh.

Alzam membawa Ebi memasuki salon yang bersebelahan dengan toko buku. Menyuruh gadis itu duduk, dan berjalan mendekati salah satu pegawai laki-laki yang tengah berdiri di dekat kaca.

"Gue mau rambutnya jadi lebih rapi, tapi dapet kesan feminim," ucap Alzam sambil memperhatikan Ebi.

Cowok itu ikut memperhatikan Ebi, dan memberikan anggukan, "Tapi tetep cowok sih nanti rambutnya. Cuman gue bisa ubah ke Korea style gitu aja."

"Apa aja dah, yang penting kesan feminimnya tetep dapet!"

"Oke," sahutnya sebelum menghampiri Ebi yang masih sibuk memperhatikan berbagai gunting di atas meja, "Permisi, saya mulai rapihin rambutnya, Nona tolong diam ya!"

Ebi menoleh dan memberikan anggukan.

Cowok itu mulai merapikan rambut Ebi dengan cepat. Hanya lima belas menit saja yang di butuhkan, dan sekarang telah selesai.

Ebi memperhatikan rambutnya yang terlihat berbeda, dan seperti anak laki-laki. Namun, senyuman dari orang yang ada di belakangnya membuat Ebi ikut tersenyum.

"Cantik," ucap Alzam.

"Cantik?"

"Kamu cantik Ta."

****