Hembusan napas berat dia keluarkan sambil melihat jam tangan, jarum jam menunjuk pada angka delapan malam. Itu artinya sudah dua jam lebih dia menunggu di halte, sudah menolak empat bus yang lewat, dan beberapa ojek yang memberikan tawaran tumpangan.
Jalanan semakin ramai dengan suara klakson yang mulai memekakkan telinga. Ebi kembali menghembuskan napas untuk yang ke sekian kalinya, beranjak, dan memanggil salah satu taksi yang kebetulan lewat. Dia segera memberitahu alamat yang di tuju sebelum akhirnya masuk.
Perjalanan lebih mulus dari dugaan tentang kemacetan Jakarta karena ini malam minggu. Dia pikir akan memakan waktu lama untuk pergi ke tempat tujuan, tapi ternyata tidak juga. Ini lebih cepat dari biasanya.
"Pak, tolong berhenti dulu Pak!" titah Ebi dengan terburu-buru.
Pria paruh baya menurut saja, menepikan mobilnya tepat di depan rumah nomor enam belas. Di depan sana terlihat sosok yang Ebi kenal dengan jelas sedang mengacak rambut seorang gadis.
