"Jakarta? Mengapa sampai di Jakarta?" Padmasari berteriak histeris membuat semua yang memandangnya kesal. Maira dan Adrian saling pandang mendengar teriakan Padmasari. Padmasari menutup wajah frustrasinya. Ia sama sekali tidak habis pikir bahwa Maira telah menjebaknya saat ini. ia benar-benar merasa kesal karena sahabatnya sengaja menyerahkan Padmasari pada Tuan Kusuma. Melihat tatapan penuh intimidasi dari Padma, Maira menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengangkat kedua tangannya.
"Jangan berpikir aku yang menyabotase perjalanan kita, Padma. Demi Tuhan, aku sama sekali tidak melakukan pengkhianatan kepadamu."
"Lalu apa semua ini? Apakah kau sama sekali tak punya rasa empati atas semua yang aku alami selama ini dalam hidupku, Maira? Aku menderita, sangat menderita berada di sisinya. Suamiku yang arogan dan sangat tak punya hati. Hiks."
Maira hendak memeluk Padmasari namun ia menolak. Padmasari masih belum menerima alasan kesalahan penerbangan. Hancur sudah kepercayaannya kepada sahabat yang sangat ia harapkan bisa membebaskannya dari belenggu suaminya.
"Turunlah dulu, Padma. Kita akan bertanya ada masalah apa dengan penerbangan kita saat ini. aku juga ingin bertanya mengapa kita bisa salah psawat dan tidak ada yang mengingatkan kita. Aku bersumpah bahwa kita memang melakukan perjalanan ke Makassar. Lihat boarding pass ini! Bukankah di sini tertulis jelas bahwa tujuan kita memang Raja Ampat? Bukan Jakarta?"
"Kenyataannya bagaimana? Apakah kita sampai di sana? Kau selalu bilang bahwa kau mau membebaskan aku dari Kusuma, tapi kenyataannya? Ah, aku bahkan lebih suka kalau kita berada di Jogja. Apa beda aku di Jogja dan Raja Ampat kalau akhirnya aku harus kembali ke sini?"
Adrian yang melihat Padmasari mengumpat hanya dapat memandangnya takjub. Beberapa tahun dia mencari kakaknya, kini ia benar-benar dipertemukan dengan kakak yang selama ini dia cari.
"Kak Padma?"
Padmasari memandang Adrian sambil mengerutkan keningnya. Ia merasa ada yang aneh saat melihatnya.
"Siapa kamu? Mengapa kau mengenalku? Rasanya aku tidak punya memori tentang laki-laki selain Tuan Kusuma suamiku."
Adrian menggelengkan kepalanya. ia heran dengan pengakuan kakaknya yang tak lagi mengenal dirinya. Adrian memang pernah mendengar cerita dari orang-orang yang disusruh untuk mencari Padmasari, bahwa kakak semata wayangnya sudah dibuat amnesia.
"Aku Adrian, Kak. Apakah kau sama sekali tidak memiliki kenangan denganku?"
"Kenangan denganmu? Adrian? Adrian siapa? Aku tidak tahu. Jangan pura-pura baik hanya karena aku sedang frustrasi. Aku tidak akan mentolerir siapapun yang mencoba menawarkan bantuan untuk bisa lepas dari Tuan Kusuma suamiku. Jangankan denganmu, Maira yang sahabatku sejak lama saja dia tidak bisa kuandalkan."
Maira dan Adrian saling pandang.
"Jadi kau Maira teman kakakku? Mengapa sejak tadi kau pura-pura tidak mengenalku? Apakah ada yang disembunyikan dariku? Katakan siapa kamu dan mengapa hanya kamu yang diingatnya!" Adrian menarik kerah baju Maira, ia ingin sekali memukul wajah wanita yang sudah sejak tadi diajak bicara, namun belum sempat tangannya terangkat, seorang pramugari menghampiri mereka.
"Mohon maaf, Tuan dan Nyonya. Pesawat sudah landing dan ini saatnya kalian harus turun. Kami akan segera melakukan perjalanan kembali."
Adrian mengangguk. ia tarik lengan Maira dan membawanya keluar pesawat. Sebelum menuruni tangga, di mereka melihat banyak sekali laki-laki berseragam hitam sedang berbaris di bawah pesawat mereka.
Padmasari tahu kalau mereka adalah orang utusan suaminya yang hendak menjemputnya. Ia ingin berlari masuk ke dalam kembali, namun tiba-tiba sebuah suara terdengar dari bawah.
"Mami, turunlah! Ini aku anakmu. Aku rindu padamu."
Padmasari menitikkan air mata mendengar suara Andika yang serak karena menahan air matanya. ia benar-benar terpukul dengan apa yang baru saja ia dengar. Meninggalkan anaknya baru sehari ini, namun ia merasa sudah sangat lama. Padmasari berlari ke tangga kembali dan mencoba melangkahkan kaki menuruni tangga pesawat untuk menemui anaknya.
"Mami, hati-hati!"
Padmasari memandang ke bawah. di sana berdiri Andika dan Amurwa yang sedang tersenyum menatapnya. Saat Padmasari melangkah ke tangga kedua dari atas, Amurwa menutup matanya. ia merasa heran dengan apa yang ia lihat. Rok Padmasari tersingkap karena tertiup angin yang kencang malam itu dan dari sana muncul sebuah sinar keemasan menyilaukan matanya.
"Oh my God, apa ini? Mengapa Nyonya memiliki cahaya keemasan yang menyilaukan seperti ini? " gumam Amurwa Bhumi. Ia menggigit bibir bawahnya sambil terus memandang ke arah kedua paha Padmasari yang selalu tersingkap meski pemiliknya selalu membetulkan posisi roknya. Amurwa memandang sekeliling, mencoba melihat apakan semua anak buahnya juga melihat apa yang dia lihat. Kenyataan yang mengejutkan, semua anak buahnya masih tetap berdiri pada posisi semula, tanpa merasakan apa-apa.
"Apa yang kau lihat, cucuku? Apakah kau berpikir bahwa mereka juga melihat hal yang sama dengan apa yang kau lihat? Hah, tidak akan. Keistimewaan wanita seperti Padmasari tidak dapat dilihat oleh sembarangan mata. Yang bisa melihat adalah orang-orang terpilih sepertimu." Sebuah suara terdengar di telinga Amurwa, membuat ia membalikkan badan dan memutar mencari orang yang membisikkan kalimat tadi.
"Ha ha ha, kamu mencari siapa, Cucu? Aku ada dalam tubuhmu. Menyatu dalam dirimu dan tidak ada di kanan dan kirimu. Aku di dalam tubuhmu. Ingat itu."
"Si-siapa kamu?" teriakan Amurwa mengejutkan Andika yang kini sedang dalam pelukan Amurwa. Andika terpana menyaksikan Amurwa yang sedang kesal. Ia mengira Amurwa sedang memarahi seseorang, namun ia sama sekali tidak melihat siapapun. Andika melepaskan diri dari Amurwa dan berlari menuju Padmasari karena ia takut pada Amurwa yang hendak mengamuk.
"Mami. . . ."
Padmasari segera mengulurkan kedua tangannya, mencoba merengkuh tubuh Andika dan membawanya dalam pelukan.
"Sayang, maafkan Mami."
Andika menggeleng. ia menangis dalam pelukan Padmasari.
"Dika yang meminta maaf, Mami. Maafkan Dika yang sudah nakal. Selalu tidak mau menuruti keinginan Mami."
Padmasari memeluk Andika dalam diam. ia benar-benar merasa sangat menyesal karena telah meninggalkan jiwa rapuh yang sangat haus akan kasih sayang. ia berjongkok, menyamakan dirinya dengan tinggi Andika, mencoba menangkup kedua pipinya dan menciumnya lembut.
"Maafkan, Mami, Sayang. Mami tidak sabaran dan memilih jalan yang tak benar."
Andika menggeleng. Ia tahu Maminya lelah karena sebelum ke bandara, Amurwa sudah mengatakan kepadanya kalau Maminya baru melakukan perjalanan jauh dari Jakarta Yogyakarta dan Yogyakarta Jakarta dan menghabiskan waktu lama di udara atas permintaan Amurwa. Perjalanan yang seharusnya memakan waktu satu jam, ditempuh dalam jangka waktu tiga jam dengan alasan tertentu.
"Mami pasti capek ya? Aku tahu Mami baru saja melakukan perjalanan jauh. Mami akan istirahat sepanjang hari setelah kita sampai di rumah Uncle Murwa."
Padma memandang wajah Andika dengan mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak tahu mengapa ia harus pulang ke rumah Amurwa, bukan ke rumah suaminya, Tuan Kusuma.
"Mengapa ke rumah Uncle Amurwa, Sayang? Kenapa tidak. . . ."
Kalimat Padmasari tertunda saat ia melihat seorang lelaki tampan berjalan menghampirinya dengan mata tajamnya. Seperti biasa, Tuan Kusuma selalu menampakkan wajah arogannya, dan kali ini ditambah dengan tampang yang lebih menyeramkan, lebih mirip dengan singa yang bernafsu membunuh.