Chereads / Exorcis / Chapter 16 - Chapter 16

Chapter 16 - Chapter 16

"Oke, untuk sementara kita tinggal di pondok kayu ini, buat dua kelompok. Kelompok satu dirikan dua tenda pendukung dan susun perlengkapan, kelompok lainnya observasi dan kumpulkan data-data dari penduduk sekitar, kalian paham?!" perintah Nagisa keras.

"Yes Letnan!" teriak para exorcist itu serempak.

Nagisa masuk ke dalam pondok kayu ditemani dua exorcist senior, di dalam mereka mendiskusikan misi. Sementara itu, Gray sedang asyik tidur siang di bawah pohon besar di dekat danau tak jauh dari pohon, pedangnya dipeluk erat-erat, sementara Djin bergelung di sampingnya.

Helena dan Bu Yola pergi ke kota untuk membeli perlengkapan mandi dan lainnya, sebab mereka hanya membawa baju ganti.

Kota Garen sendiri bukanlah kota besar yang penuh hingar bingar hiburan ala kota pada umumnya, melainkan hanyalah kota kecil dipinggiran hutan, penduduknya hanya berjumlah ribuan saja, kebanyakan pensiunan pegawai atau karyawan yang ingin menghabiskan sisa hidup menikmati suasana tenang. Selain hutan yang lebat, dan sungai jernih. Terdapat juga danau luas yang sering digunakan wisatawan luar Kota Garen berwisata, namun selepas beberapa kejadian mengerikan, kota ini sepi seakan mati, setelah jam 10 malam dapat dipastikan tak ada satu pun orang yang berkeliaran di luar rumah, kecuali orang itu memiliki kepentingan yang tak dapat ditunda atau memang dia sudah gila.

Helena meletakkan semua barang belanjaan ke atas meja kasir, sementara Bu Yola mengambil kartu pembayaran di dalam dompet dan menyerahkannya ke kasir.

"Oh ya Pak, apa ada kejadian aneh lagi akhir-akhir ini di Kota Garen?"

Bapak Tua penjaga toko mengerutkan kening, matanya menatap menyelidik, menaruh rasa curiga.

"Apa aku perlu menaklukan dia?" desis Bu Yola di dekat telinga Helena.

"Jangan... Biar aku saja," balas Helena nyaris berbisik.

Bu Yola hanya mengangkat bahu.

"Saya bertanya seperti ini, sebab ada desas-desus yang mengatakan kalau kota ini terdapat isu yang mengerikan, semacam orang meninggal pada hari tertentu, dan kesurupan massal," ujar Helena balik memandang lekat-lekat ke arah Pak Tua penjaga toko. "Apakah itu benar?"

"Siapa kalian?" tanya Pak Tua melirik curiga, suaranya terdengar serak dan berat.

"Kami berdua menemani teman kami seorang exorcist, dia bersama rekan-rekannya akan..."

"Kalian exorcist?!" potong Pak Tua itu terkejut.

Helena menggelengkan kepalanya. "Bukan, tapi teman kami dia sedang tidur di dekat danau..."

"Sebaiknya kalian pergi dari sini!" perintah Pak Tua itu, nadanya terdengar takut, matanya pun sibuk melirik ke kanan dan kiri seakan ada yang sedang mengawasi dirinya sekarang.

"Kenapa? Kami ingin membantu kalian, lagipula sepertinya ini permintaan langsung dari Walikota," sergah Helena penasaran.

"Walikota Theo? Apa kalian tidak mendengar atau mendapat laporan tentang dirinya semalam?"

Helena kembali menggelengkan kepalanya. Bu Yola sedikit curiga, dia merasa ada yang tidak beres.

"Ada apa, katakan Pak Tua?!" desak Bu Yola tak sabar.

"Semalam dia dibunuh oleh anaknya yang masih berusia 5 tahun, istrinya gantung diri setelah melihat kejadian ini, dan anak kecil itu menghilang nyaris tanpa jejak," ujar Pak Tua itu, tangannya gemetaran. "Polisi memutuskan angkat tangan akan kasus ini, mereka hanya menulis laporan kalau walikota dan istrinya dibunuh, dan si anak diculik oleh pembunuhnya."

Helena terkejut bukan main, dia mendekap mulutnya, tak bisa berkata-kata lagi.

"Oke ini benar-benar buruk, kita harus memberitahu semuanya dan pergi dari sini," Bu Yola menarik pergi dan melupakan sepenuhnya belanja mereka, kartu kredit yang dibawa oleh Pak Tua lenyap kembali masuk ke dalam dompet Bu Yola secara gaib.

Di lain sisi, Gray menggaruk-garuk kepalanya, dia terbangun karena kepanasan, lalu berjalan kembali ke pondok.

Dua mobil hitam, satu minibus, dan satu truk pengangkut berukuran sedang terparkir di sana, sepertinya markas besar exorcist mengirimkan pengusir setan dan perlengkapan baru untuk mereka.

"Ada apa sih ini?" gerutu Gray mengisyaratkan ketidasukaannya.

"Kenapa markas besar repot-repot menambahkan pasukan bantuan? Apakah itu Master Drake?" tanya Djin yang berjalan di samping Gray.

"Aku juga melihat Kapten John dan Letnan Blaire," tukas Gray berdiri mengawasi dari kejauhan menyandarkan punggungnya ke pohon besar.

"Satu Master, Satu Kapten, Dua Letnan, dan Satu Pemburu Uang, benar-benar hari yang indah," kata Djin.

"Siapa yang kau sebut pemburu uang?" Gray melirik kesal ke arah kucing hitam itu.

Djin pura-pura tak mendengar, dia mengeong dan menjilati cakarnya.

"Dasar kucing sialan!" umpat Gray, lalu dia berjongkok di dekat telinga Djin. "Aku merasa ada yang mencurigakan, Master Drake bukanlah seorang petarung handal seperti Master Juan atau lainnya, tapi dialah sang ahli segel, kehadirannya hanya pada misi-misi tertentu, cobalah untuk mengawasi pondok itu"

Djin tak bersusah payah membalas perkataan Gray, dia langsung berlari cepat menuju ke pondok.

"Ada apa ini? Kenapa Master Drake, Kapten John, dan Letnan Blaire datang? Apa kalian menyuruhku pulang?" tanya Nagisa mengerutkan keningnya, berdiri kebingungan di depan pintu pondok.

"Tidak Nagisa, ada perubahan dalam misi kali ini, kau dan Gray Aldric akan membutuhkan bantuan kami," kata Master Drake sambil lalu, masuk ke dalam pondok dan merebahkan diri di sofa, Kapten John mengikuti dan hanya memberi isyarat kepada Nagisa untuk segera masuk ke dalam. Letnan Blaire sedang memberi perintah untuk menyucikan sekaligus melakukan segel pertahanan di sekeliling markas sementara exorcist ini.

Ribut-ribut terjadi, ketika Helena dan Bu Yola masuk ke area perkemahan, namun Bu Yola tak bisa masuk akibat segel yang didirikan oleh para exorcist yang baru datang dan tidak mengenali Bu Yola. Helena sampai melompat ke depan Bu Yola untuk menghalangi para exorcist menembakan serentetan tembakan air suci.

"Kalian tidak boleh menembaknya?!" teriak Helena.

"Minggir nona, dia ini iblis jika kau tidak menyingkir, nyawamu akan diambil olehnya"

"Dia ini teman!"

"Tentu saja dia teman, teman yang akan menusukmu dari belakang nona kecil, jika kau tidak menyingkir kami tak segan melukai Anda" kata salah satu exorcist berwajah bulat menambahkan ancaman dalam kata-katanya.

Helena tetap dalan pendiriannya, Bu Yola tampak ingin memberontak namun Helena meremas keras pergelangan tangannya.

"Apa yang kalian lakukan? Biarkan dia masuk, dia budakku," suara Gray memecahkan ketegangan yang terjadi.

"Master Gray, tapi dia kan Succubus?" kata pria berwajah bulat tadi kebingungan.

"Aku sudah tahu itu, biarkan dia masuk," tukas Gray, lalu dia melirik ke arah Bu Yola. "Berikan nama iblismu kepadanya, segel itu akan mengizinkan kau masuk setelahnya"

Setelah Bu Yola dengan enggan memberikan nama iblisnya, dia pun bebas melenggang masuk melewati segel suci exorcist.

"Gray, ada yang tidak beres dengan semua ini!" kata Helena setengah berbisik, cepat-cepat.

"Sebaiknya kita segera pergi dari sini!" bujuk Bu Yola yang disambut anggukan dari Helena.

"Kalian ini kenapa?" tanya Gray malas.

Helena pun menceritakan apa yang baru didengarnya dari Pak Tua penjaga toko tadi, dibantu sesekali oleh Bu Yola. Gray menyimak tanpa memotong pembicaraan sampai Helena selesai berbicara.

"Kau tahu kan, kalau iblis yang bisa berbuat sekejam ini pasti iblis dengan tingkatan tinggi" ujar Bu Yola tajam kepada Gray.

"Aku tak peduli, toh bantuan baru saja tiba, sepertinya markas besar exorcist telah mendapat kabar dulu, Master Jay Drake, Kapten John Willkins, dan Letnan Matthew Blaire datang membantu kita, mereka tahu kalau misi kali ini takkan bisa dihadapi hanya dengan satu letnan, satu pemburu uang, kucing tak berguna, cewek dunia lain, dan succubus hobi zina," kata Gray panjang lebar.

"Cewek dunia lain?!" Helena menatap tak percaya.

"Succubus hobi zina?!" Bu Yola melotot merasa terhina.

"Ya," kata Gray pendek, berjalan sambil mengusap rambut pirang Helena membuatnya berantakan.

Helena menatap kesal punggung Gray, sambil merapikan rambutnya menggunakan jari tangannya.

"Ayo kita ke kamar saja," ajaknya kepada Bu Yola yang mengeluarkan sumpah serapah kepada Gray.

Sementara itu di dalam pondok, rapat antara Master Drake, Kapten John, Letnan Nagisa, dan Letnan Blaire masih berkutat dalam menyusun strategi pengusiran setan.

"Tiang ini harus diletakan di tiap sudut batas kota, masing-masing harus dijaga exorcist, aku merekomendasikan satu tiang satu letnan, tapi karena keterbatasan personel, aku akan menggunakan mantra yang kupelajari dari kuil suci di Tibet ketika aku belajar di sana," kata Master Drake menjelaskan.

"Sepertinya mudah saja," tukas Kapten John mengusap dagunya yang berjenggot kambing.

"Tidak semudah itu, mantra ini harus kusiapkan 24 jam sebelum digunakan, kalian harus bersiap jika wabah kembali menyerang kota, tanggungjawab kuserahkan padamu, John," perintah Master Drake.

Kapten John menggelengkan kepalanya.

"Tidak, misi ini awalnya bukan milik kita, tapi milik Nagisa, aku menyerahkan tampuk pimpinan misi ini padanya," ujarnya, matanya berkilat licik

"Tapi, Kap..." Nagisa terlihat bingung.

"Yeah, aku setuju dengan Kapten John," timpal Letnan Blaire tersenyum puas.

"Hmmm, baiklah jika itu memang keputusan kalian, Nagisa kau bertanggungjawab atas semuanya sampai aku selesai mengerjakan mantra penyegel," perintah Master Drake langsung beranjak pergi masuk ke dalam ruangan kosong dan memulai pekerjaannya.

Seorang exorcist muda masuk ke dalam pondok, wajahnya penuh keringat di sore yang cerah ini. Dia bermaksud melaporkan hal yang baru saja terjadi.

"Kapten! Letnan! Saya melaporkan bahwa baru saja ada kasus kerasukan di sektor 4, Master Gray dalam perjalanan ke sana!" lapor exorcist muda itu.

"Aku dan Letnan Blaire akan membantu ke sana, dan Gray bukanlah Master berhentilah kalian memanggil dia Master!" tegas Nagisa disambut anggukan exorcist muda yang lantas bergegas pergi lagi. Nagisa berbalik memandang Kapten John. "Kapten, tolong jaga Master Drake."

"Serahkan saja padaku," tegas Kapten John, nampak bisa diandalkan.

Letnan Nagisa dan Blaire pun mengambil senjata mereka, masuk ke dalam mobil bergegas menuju lokasi bersama beberapa exorcist lainnya.

Setelah memastikan Letnan Nagisa dan Blaire pergi, Kapten John berjalan ke pintu pondok, senyum aneh menghiasi wajahnya. Dia menutup pintu pondok dan berkata, "tirai telah dibuka, mari kita mainkan nada pembuka..."