"Sukma? Sukma? Dimana kamu?" Pangeran Kusuma berteriak memanggil adiknya, berjalan dengan tegas menerobos kerumunan orang-orang. Matanya mencari tubuh kecil adiknya, hingga akhirnya dia melihat Sukma.
Sukma terlihat gelisah, memandangi satu satu orang di sekitarnya. Terkadang dia akan mendekati seseorang dan mengajak mereka bicara, sebelum akhirnya membuat wajah orang yang diajaknya bicara menjadi kesal dan meninggalkannya begitu saja. Entah apa yang dikatakan Sukma padanya.
"Sukma?" Tubuh Sukma tersentak kaget karena sentuhan tiba-tiba di bahunya. Dia menoleh ke belakang hanya untuk melihat ekspresi dingin Kakaknya.
"Ini sudah lewat 15 menit! Kenapa kamu masih disini? Apa yang Kakak katakan padamu sebelumnya?"
Sukma menunduk dan berbicara pelan, "Maaf kak...Aku lupa."
"Ya sudah. Jangan ulangi lagi lain kali! Ayo kembali ke tempat tadi." Sang Pangeran memegang tangan adiknya dan menuntunnya ke tempat semula. Dia duduk di atas permukaan batu datar yang besar dan mengeluarkan pedangnya serta dengan santai mengelapnya. Sukma duduk di sampingnya, melihat ke arah kerumunan yang terlihat heboh.
"Kak. Apa yang terjadi? Kenapa itu sangat ramai? Ah aku baru sadar kalau disini sangat terang seperti siang hari. Padahal kan sedang malam. Eh apa itu karena lampion yang melayang di sana? Silau sekali, tapi sangat indah dan cantik! Eh apa itu? Ada orang berpakaian biru yang menaiki air?! Itu terlihat keren! Apakah dia salah satu Petualang? Uuh aku ingin menjadi seperti mereka!"
"Entah...Kakak juga tidak tahu." Pangeran nampak tak tertarik. Matanya tak lepas dari pedang yang sedang dipegangnya sekarang.
"Eh apa jangan-jangan ini ada hubungannya dengan beberapa suara teriakan tadi? Aku sempat kaget setengah mati loh Kak. Tapi yah...aku mah bodo amat doang hehe. Aku punya hal lain yang lebih penting."
"..."
"Kok kamu diam aja Kak?" Sukma menoleh ke samping dan melihat pedang yang sedang dilap kakaknya. "Ah kakak sedang sibuk toh, seperti biasa. Kakak selalu membersihkan pedang itu. Kakak pasti sangat menyayanginya. Tapi...tumben pakai kain merah Kak? Biasanya pake kain putih bersih. Eh tapi kain merah terlihat bagus. Warnanya cocok sekali dengan pedang merahmu. Pedangmu bahkan terlihat mengkilat, seolah olah baru saja disiram air dan di lap hingga bersih. Eh, Kak? Kamu tidak apa-apa?"
Kakaknya hanya menjawab, "Ya, tidak apa-apa kok." sembari terus mengelap pedangnya.
Sukma kembali menoleh ke kerumunan yang heboh di depannya. "Tapi Kak, aku belum menemukannya. Boleh tidak kalau aku-" Belum selesai Sukma berbicara, seorang wanita datang dan memotong pembicaraannya.
"Mohon maaf Yang Mulia," Dara membungkukkan tubuhnya di depan Pangeran. "Maaf mengganggu anda, namun sekarang kuda yang anda pinta sudah siap."
Pangeran menyarungkan pedangnya dan menaruh kain merah itu ke sakunya. Dia berdiri dan menatap Dara dengan sinis. "Lama sekali. Kau tahu berapa lama aku menunggu?"
"Mohon maaf Yang Mulia. Saya juga tidak mengira kalau akan selama ini. Ditambah lagi ada satu insiden yang baru saja terjadi sehingga saya harus mengurusnya terlebih dahulu. Anda pasti tahu kan insiden apa yang baru terjadi?"
"Sudah! Cepat katakan saja dimana kudanya?!"
"Baik Yang Mulia. Mohon ikuti saya."
Dara memberi hormat sekali lagi dan berbalik, mulai berjalan pelan. Pangeran akan melangkah mengikutinya, namun terhenti saat menyadari Sukma masih duduk ditempatnya, tidak bergerak.
"Sukma? Waktunya pulang."
"Tapi...tapi aku masih belum menemukan dia."
"Sukmaaa!"
Dengan wajah menunduk, Sukma berjalan lesu. Pangeran menunggunya hingga mereka berjalan berdampingan, melewati kerumunan orang mengikuti Dara si Pengawas.
Pangeran melirik adiknya dan melihat kepalanya yang masih menunduk sedih. Awalnya dia hanya akan membiarkannya sebelum melihat sesuatu jatuh dari wajah Sukma.
...Setetes air? Air mata?
Tidak bisa dipercaya kalau Sukma akan menangis hanya karena seseorang yang baru ditemuinya beberapa jam yang lalu. Adiknya yang bandel dan suka memerintah orang lain seenaknya, telah diambil hatinya? Siapa dia?
Tak tahan, Pangeran mengajak Sukma bicara. "Sudah, jangan sedih. Kakak janji akan menemukannya dan mempertemukan dia denganmu lagi."
"Beneran Kak?" Sukma menoleh kakaknya dengan mata berbinar.
"Iya. Sekarang, dimana dia tinggal atau nama keluarganya?"
"Eeeeem...aku tidak tahu."
"....Kalau gitu ceritakan saja tentangnya."
"Ok! Jadi dia ya Kak kulitnya putih. Putih banget dan mulus gitu. Berlawanan dengan rambutnya yang hitam. Rambutnya panjang sampai ke pinggang nya. Begitu juga alisnya yang tebal dan pupil matanya hitam pekat. Wajahnya lumayan cantik, apalagi saat dia tersenyum. Senyumnya halus dan damai banget. Dia juga pintar. Dia menceritakan padaku...." Sepanjang perjalanan, Sukma terus menceritakan orang itu dengan antusias yang sangat langka terlihat. Sedangkan Pangeran Kusuma menyimak dan berusaha menebak, apakah dia tahu orang itu. Sampai dia teringat seseorang.
"Apa mungkin itu dia? Ciri fisiknya sangat mirip dengan yang diceritakan Sukma. Tidak. Tidak mungkin itu dia. Berdasarkan cerita Sukma, sifat mereka sangat bertolak belakang. Ya, tidak mungkin yang dimaksud Sukma adalah orang yang menyebalkan itu. Pasti aku belum pernah bertemu dengan siapa yang diceritakan Sukma." Pikirnya.
Lamunannya buyar dan cerita Sukma terhenti saat mendengar suara Dara. "Yang Mulia, silahkan ini kereta kuda untuk anda. Maaf, tapi saya kira akan lebih nyaman menaiki kereta kuda daripada menungganginya. Kusir nya juga telah saya bayar sehingga anda hanya perlu menaikinya. Semoga ini cukup dan sekali lagi saya mohon maaf."
"Tidak apa-apa, ini lebih baik. Kerja bagus." Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan 2 koin emas yang berkilauan. "Ambil ini!"
"Tidak perlu Yang Mulia. Anggap saja ini permintaan maaf dari kami. Silahkan menikmati perjalanan."
`Tring. 2 koin emas itu dilepaskan Pangeran dan jatuh berdenting di hadapan Dara. Tanpa mengucapkan apapun, dia masuk kedalam kereta kuda dan disusul Sukma setelahnya. Perlahan, kereta kuda mulai berjalan meninggalkan Dara.
"Bagaimana Kak?" Sukma bertanya pada kakaknya. "Apakah kamu bisa menemukannya?"
"Tentu. Tunggu saja. Dalam waktu dekat, kau akan bertemu lagi dengannya." Pangeran Kusuma menjawab sambil memandangi ke luar, mengabaikan sorakan bahagia adiknya.
Dia terus berpikir bagaimana orang itu bisa secepat ini merebut hati adiknya. Setahunya, walaupun Sukma merasa kesepian, dia tidak pernah mempercayai orang lain dan selalu bersikap kasar. Terus bagaimana orang itu bisa..?
"Yah...aku akan tahu saat bertemu langsung dengannya."
"Aku akan menemukanmu. Pasti."