Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 23 - Bab 23 [Mari Move On]

Chapter 23 - Bab 23 [Mari Move On]

___________________

Ratih bergegas mengemas buku-buknya dengan ceroboh, dimasukkan ke dalam tas punggung coksu. Merapikan jilbab sedikit dan berlalu keluar tidak sabaran. Di ruang makan masih ada Erlina dan Diana—teman indekos-annya yang duduk manis dengan buku dan hp di tangan mereka. Sementara Naya asik bergutat di dapur mencuci piring bekas sarapan, hari ini memang jadwalnya bertugas di dapur. Mereka mengatur jadwal untuk bertugas membereskan kosan, masing-masing bergiliran. Mereka tinggal berempat. Kosan ini di desain modern minimalis, ada dua kamar tidur, satu ruang keluarga, satu ruang dapur sekaligus ruang makan dan satu kamar mandi dekat dapur.

"Loh, kok buru-buru, Rat? Hari ini Kamu jaga siang di butik, kan?" tanya Erlina saat melihat Ratih buru-buru mengenakan sepatu. Gadis itu sedikit kesulitan sebab laptop di tangan enggan ia luruhkan sebentar. Naya jadi ikut mengalihkan pandangannya pada Ratih.

"Dosen pembimbing aku ngabarin jadwal temu, pagi ini. Ngabarinnya tadi setelah shubuh. Makanya jadi kelabakan gini." Ratih meraih knop pintu buru-buru dan segera berlari mencari kendaraan umum.

Dosen pengganti pembimbingnya baru saja memberi kabar bahwa ia bisa konsultasi pagi ini jam tujuh di kafe dekat kantornya, katanya. Padahal ia belum mempersiapkan diri dengan matang untuk mempresentsikan masalah yang diangkatnya.

Lima belas menit perjalanan, akhirnya ia bisa datang tepat waktu sesuai kesepakatan. Café itu masih sepi pelanggan, baru terlihat beberapa pengunjung yang memang berniat untuk menikmati sarapan dengan segelas kopi dan sepiring kue kukus atau kue panggang yang menggelitik lidah.

Harum kopi dan kue yang baru selesai di panggang menguar tatkala Ratih membuka pintu dan melangkah masuk. Harumnya menyatu bersama pentrikor ruang yang riang dan secerah sinar mentari yang menyembul dari balik tirai kaca etalase yang transparan.

Baru ada tiga pelanggan yang datang. Satunya pria berkumis dengan usia sekitaran berkepala empat dekat pintu masuk, di temani secangkir kopi yang mengepulkan asap dan secarik koran di genggaman. Ia nampak khidmat dengan suguhan berita hangat yang dirangkai dalam barisan hurup-hurup itu.

Satunya, seorang perempuan dengan tunik grey, rambut lurus yang diikat kuda. Mengambil tempat duduk dekat kaca etalase, segelas cappuccino panas dan sepiring macaron yang menggugah selera teronggok bisu di hadapan. Enggan disentuh, cukup jadi teman duduk. Manik teduhnya menikmati kota metropolitan yang mulai padat dengan para aktivitas manusia. Mungkin sedang menunggu seseorang atau sekadar menikmati ketenangan di tengah kepadatan jalanan di luar sana.

Dan satunya lagi, seorang pemuda yang sepertinya Ratih kenal. Pemuda itu mengenakan kemeja abu terang yang dibalut jaket biru muda. Simple tapi terlihat keren di tubuhnya. Di hadapannya tersaji kopi Americano yang mengepulkan asap dan buku bacaan di tangan yang menjadi titik pokus.

Ratih memilih duduk di meja tengah. Berjarak dua meja dari tempat pemuda yang dikenalnya itu. Segan untuk menyapa meski ia sudah kenal dan sempat mengobrol di beberapa kesempatan. Ia takut mengganggu kekhidmatan membaca sang pemuda.

Mungkin dosen Khalil masih di jalan, pikirnya. Jadi, sementara menunggu dosen pembimbingnya tiba. Ia lebih dulu memesan cokelat panas dan pie cokelat. Mengeluarkan laptopnya untuk memastikan makalahnya sudah siap atau mungkin ada yang perlu diperbaiki.

Lantas, tepat ketika seorang Barista pria membawa pesananannya, datang bersama dengan aroma pie cokelat dan cokelat panas yang mengepulkan asap putih lembut, pemuda yang duduk berjarak dua meja darinya itu menghampirinya. Memberikan senyum lebar padanya sebelum menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. Tanpa izin dari seorang yang menghuninya terlebih dulu.

"Kamu sudah lama? Jika sudah datang seharusnya langsung samperin saya, biar saya enggak capek nunggu kamu." Ucapan itu terlontar bersama kebingungan yang mulai menyergapi kepala Ratih.

Jelas ia bingung dengan pemuda di hadapannya ini. Masih jelas dalam ingatan Ratih jika pemuda ini bernama Azzam, sementara dirinya datang untuk menemui Dr. Khalil untuk konsultasi tesisnya, bukan bertemu dengan pemuda ini.

Seolah mengerti pertanyaan yang terangkai dari air wajah gadis di hadapannya, Azzam melanjutkan kalem. "Saya diminta professor Karim untuk menggantikannya sebagai dosen pembimbing kamu."

"Ma…af, Akhi Azzam diminta sama Prof. Karim sebagai dosen pengganti saya?" Azzam mengangguk. "Loh … bukannya beliau minta sama profesor Khalil?"

Azzam tersenyum, maklum pada ketidaktahuan gadis di hadapannya ini. Ia dikenal sebagai Azzam, bukan profesor Khalil. "Almer Khalil Muazzam. Saya boleh minta kamu manggil saya Azzam saja tanpa embel Akhi? Kita saling kenal tapi seolah tidak begitu."

Ada sedikit keterkejutan lagi di air wajah Ratih. Samar nama ini pernah ia lihat atau dengar di suatu tempat, tapi ia lupa. "Oh … jadi Profesor Khalil itu, Akhi? Maaf Saya tidak tahu. Tahu begitu Saya langsung saja samperin bapak di sana tadi. Maaf sudah menunggu."

"Tidak apa-apa. Lagipula, kamu mengenal saya sebagai Azzam, bukan Khalil. Tapi tolong jangan panggil Saya bapak, usia kita tidak beda jauh. Saya jadi merasa tua sekali."

"Ah ya, maaf. B—ii—sa, saya panggil Mas Azzam saja?" Tiba-tiba saja Ratih merasa dirinya diserang kecanggungan dan kekikukan yang luar biasa. Fakta mendadak mengenai identitas pemuda ini seolah menghantam kepalanya. Bahkan, ia sempat mengira jika asisten Prof. Karim itu seorang pria yang sudah berkepala keluarga atau berpenampilan dewasa. Tidak seperti penampilan Azzam yang banyak orang akan mengira jika dirinya hanya pemuda pengangguran yang bermalas-malasan menyentuh jalan pendidikan di usia termuda ini.

"Tidak masalah. Kita mulai?"

Setelah hampir setengah jam berlalu yang diisi dengan acara konsultasi itu, kini sudah berakhir. Kopi Americcano milik Azzam sudah tanggal seluruhnya, sementara cokelat panas Ratih sudah mendingin—tidak tersentuh sama sekali. begitu juga dengan pie cokelat utuh yang kini menguarkan aroma samar yang menggiurkan.

Azzam tengah sibuk mencoret beberapa kata untuk direvisi pada bagian kosong halaman. Ratih diam-diam sedikit memperhatikan kontur wajah pria ini. Azzam jadi terlihat sedikit berbeda ketika bertemu di luar, ia yang biasanya menguarkan aura santai menenangkan kini terlihat begitu mempesona dengan wajah serius dan penampilan ala pria kantoran.

Wajahnya yang berbentuk oval itu memiliki garis rahang yang kokoh dan tegas. Hidung bingarnya mancung. Manik mata berwarna cokelat kemarahan dengan bulu mata yang sedikit lentik. Rambutnya ditata ala style idol korea. Penampilan kasualnya persis seperti anak kuliahan tahun pertama. Namun yang paling menonjol dari dirinya adalah bagaimana pria itu bertingkah laku dan bertutur kata. Stylenya yang seperti itu seolah tidak cocok dengan sikapnya yang begitu dewasa. Berbeda sekali dengan profesor Karim yang pembawaannya memang dewasa sesuai umur.

"Apa ada sesuatu yang menempel di wajah saya?" tanya Azzam tenang tanpa menghentikan pekerjaannya.

Ratih yang ketahuan sedang memperhatikan jadi salah tingkah. "Ah itu. Americcanonya sudah habis, mau saya pesankan lagi?" Beruntung ia memiliki alasan untuk berdalih. Jantungnya terasa mau copot. Tidak pernah sekalipun ia memerhatikan pria selekat ini, kepada Hakim pun dulu tidak ia lakukan. Degup jantungnya bertalu abnormal. Ratih melafalkan istigfar dalam hati.

"Terima kasih. Niat baiknya saya terima saja. Setelah ini saya langsung pergi. Masih ada urusan," jawab Azzam dengan senyum simpul menghias wajahnya yang terarah pada Ratih. Memerah wajah gadis itu.

"Ah, iya." Ratih membalas kikuk. Betapa malunya dia saat ini. ingin sekali rasanya lenyap ke suatu tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenalinya.

[ Assalamu'alaikum Wr,Wb. ]

[ Ini Azzam. ]

[ Untuk di save. Biar nanti tidak terkejut jika tiba-tiba di chat orang asing. ]

[Jangan dijadikan jebakan batman ya.]

[Jangan marah karena pesannya beruntun.]

Ratih tersenyum melihat pesan yang dikirim Azzam. Entah kenapa Ratih merasa sedikit terhibur dan teralihkan dari pikirannya tadi. Ratih mulai mengetik balasan.

"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi."

"Kenapa?"

Tidak lama setelah Ratih mengirim pesan balasan. Balasan pesan dari seberang kembali membunyikan notifikasi.

[Sengaja, biar jadi lama]

"Apanya yang lama, Mas?"

[Ngobrolnya]

"Ada-ada saja."

[Biar kehadirannya terus dirasakan]

"Hmm?"

[Tidak apa-apa.]

Ratih mematikan ponselnya. Tidak tahu lagi hendak membalas bagaimana. Ia tidak mengerti pembahasan yang dikirim pemuda bernama Azzam tersebut.

Ratih sedikit terkejut tatkala mendapati Mbak Zakia masih menatapnya lekat dengan posisi yang sama.

"Tumben saya liat kamu senyum-senyum membalas pesan. Dari siapa?'

"Dari teman. Belum lama ini bertemu."

"Seorang pria, ya?"

Ratih hanya tersenyum menanggapi, begitu pun Mbak Zakia. Ada sedikit roman kelegaan terkilas pada wajahnya.

.

.