Ratih mendudukkan dirinya di samping Erlina yang tengah bekutat dengan laptopnya. Masih tampak jelas di wajah sahabatnya itu, mata merah sembab serta hidung mungil yang kembang kempis meminta pasokan udara lebih meski telah ditutupi dengan polesan bedak paling baik. Mungkin paru-parunya butuh oksigen lebih untuk penstabilan kerjanya, sebab telah dikuras habis-habisan oleh air mata yang tak kunjung reda dan lengkap dengan sesuatu yang terasa menyumbat kerongkongan.
Gadis itu tersenyum singkat ke arah Ratih dan kembali melanjutkan kegiatannya. Memelototi monitor laptop yang menampilkan lembar kerja microsoft office.
Ratih diam memerhatikan jari lentik Erlina bergerak lincah di atas papan keyboard, menekan tombol-tombol hurup dengan acak yang menghasilkan irama khas. Ia ingin bertanya keadaan gadis itu. Malam menjelang dini hari tadi, ia melihat Erlina terus menitikkan air mata dengan bibir yang melantunkan firman Allah. Sahabatnya menangis sambil membaca al-qur'an. Ia menarik kesimpulan sendiri jika sahabatnya ini menangisi Profesor muda yang akan melangsungkan akad tinggal menghitung hari itu.
Melihat Erlina yang seolah baik-baik saja seperti hari biasa, Ratih jadi segan untuk sekadar mengajukan pertanyaan apakah sahabatnya itu dalam keadaan baik atau hanya berpura-pura baik. Dirinya tahu betul bagaimana perasaan yang Erlina simpan untuk Profesor Karim. Mungkin rasanya persis seperti ia yang menyukai Hakim dari hanya sekali lihat dan tidak pernah bertemu kecuali hanya pada liburan semester, itu pun jika ia ikut ke kelas pesantren bersama abah—sekadar membantu. Tapi makin hari, semakin besar rasa cintanya pada Hakim hingga ia lancang menyebut nama pria itu dalam saban do'anya.
"Rat … kamu ingat gak sama pria yang nolongin kamu saat hampir kecopetan di dalam bis itu?"
Ratih sedikit tekejut dengan Erlina yang tiba-tiba menghadapnya dengan melontarkan tanyaan bersinergi seperti biasanya. Buyar sudah lamunanya yang sempat melang-lang buana pada masa silam. Ah, Erlina ternyata cukup jago untuk mengatur emosinya.
"Eh iya, ingat. Kenapa?" Ratih mendadak jadi ingat insiden kemarin, pasca dirinya hampir saja kecopetan jika saja seorang pemuda tidak sigap merebut dompetnya kembali dengan lincah, gesit dan tanpa disadari oleh si pencopet yang terburu-buru turun. Ratih sendiri tidak tahu jika dirinya tengah kecopetan jika si pemuda tidak menyodorkan dompetnya. Ia menghadiahi pemuda itu dengan tatapan bingung lantas sejurus kemudian sang pemuda menjelaskan. Ia diberi embel-embel wejangan hati-hati kalo naik bis begini. Waktu itu saat perjalanan pulang dari kampus, di siang hari.
"Dia tampan, kan? Tatapannya waktu ngasih dompet ke kamu itu loh Masya Allah."
Ratih terkekeh. Bisa-bisanya sahabatnya ini mencairkan topik lain sementara diriya tengah dilanda gegana begini. Ratih akui, ia salut pada Erlina yang selalu berhasil mengalihkan diri dari kesedihan semendung awan menjadi keceriaan secerah mentari siang.
"Emang tatapannya gimana?"
"Tatapannya itu berbinar-binar seolah dia kenal kamu itu udah lama banget tapi gak pernah punya ksempatan buat kenalan, gitu."
"Masa sih?" Ratih menyelidik, candaan sahabatnya ini sudah kering untuk ia tertawai.
"Ih Ratih. Tatapan kamu itu raguan banget sih sama aku." Erlina mendelik sebal. "Tapi beneran loh, Rat. Dia kayak suka gitu sama kamu," lanjutnya meyakinkan degan air muka serius, namun sejurus kemudian ragu akan penilaian sendiri.
"Huush, ngawur kamu. Otak kamu pasti sudah bergeser nih gara-gara si doi bentar lagi nikah."
"Ratiiih!"
Tawa renyah terdengar dari belah bibir Ratih yang biasanya hanya menampilkan senyum manis. Senang sekali dia jika menggoda Erlina begini. Gadis itu akan cemberut tapi tidak benar-benar kesal, tidak lama pasti akan secerah mentari lagi. Bahagia sahabatnya itu teramat sederhana.
"Kamu beneran okey?"
Erlina terdiam. Wajahnya berubah masam. Ia menatap Ratih seolah sedang mencari penyelesaian dari wajah teduh itu.
"Tidak ada yang benar-benar bagus ketika kamu mengharapkan sesuatu dengan teramat sangat. Sebab, ketika tanganmu tak mampu menggapainya, kakimu tak bisa menapakinya, letih dan sakit hati itu datangnya lebih cepat seumpama sambaran petir pada derai tangis langit mendung."
____________
Heningnya malam semakin meraja. Menggelap pada bait-bait luka yang tersemat sempurna dengan cara yang paling lembut. Menghantam cepat layaknya kilat menyambar di langit cerah. Semuanya mendadak. Datang begitu saja tanpa wacana.
Semuanya benar-benar mendadak bagi Erlina yang belum siap menerima kenyataan. Fakta mengenai dirinya yang mencintai Professor muda dalam sekejap tatap mata dan menyebut nama itu tiap akhir sujud sholatnya selama tiga tahun terakhir. Fakta jika sekarang Profesor muda itu telah mengkhitbah seorang bidadari yang ternyata adalah sahabatnya dan akan segera melangsungkan akad. Dan fakta mengenai dirinya yang tidak bisa melakukan apapun untuk dirinya sendiri. Memukulnya tepat pada ulu hati. Perihnya luar biasa. Pasrah akan jalur takdir yang Tuhan arahkan padanya. Padahal ia perlu usaha untuk menjemput takdir yang baik untuk dirinya sendiri.
Erlina hanya bisa menangis. Menahan luka pada relung dadanya yang terasa amat perih. Benar, mengapa pula ia berharap lebih pada sesama hamba Allah? Mungkinkah selama ini ia terlalu percaya pada hatinya hingga tanpa sadar ia menyetarakan rasa cintanya dengan Rabb-Nya, lantas Allah menegurnya dengan cara ini? Kesadaranya dikembalikan pada realita yang sebenarnya.
Makin pecah tangisnya. Terdengar pilu dan sumbang. Tembok sewarna krem itu membisu, jejeran buku-buku kitab pada rak-rak berukuran tanggung menonton kelu, menjadi saksi betapa perih luka yang diemban hatinya. Derai air matanya terus meluncur tanpa henti.
"Allahu Akbar."
Kembali pecah tangisnya kala takbir pertama ia lafazkan. Hatinya beristighfar. Bibirya bergetar. Ia hentikan sholatnya. Kembali ia langkahkan kakinya untuk megambil air wudhu ulang. Tidak bisa khusyuk sholatnya jika ia terus menangis. Maka setelah mengambil wudhu, ia melanjutkan sholatnya yang terus tertunda untuk mengambil air wudhu sebagai penenangnya.
"Allahu Akbar."
"Allahumma lakalhamdu anta nuurus samaawaati wal ardhi wa manfiihinna, walakal hamdu anta qoyyimus samaawaati wal ardhi waman fiihinna, walakal hamdu anta robbus samaawaati wal ardhi waman fiihinna, antal haqqu, wawa'dukal haqqu, waqoulukal haqqu, waliqoo'ukal haqqu, waaljannatu haqqu, waannaaru haqqu, wasysya'atu haqqu." (Ya Allah, hanya milik-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta siapa saja yang di sana. Hanya milik-Mu segala puji, Engkau yang mengatur langit dan bumi serta siapa saja yang ada disana. Hanya milik-Mu segala puji, Engkau pencipta langit dan bumi serta siapa saja yang ada disana. Engkau Maha benar, janjiMu benar, firman-Mu benar, pertemuan dengan-Mu benar. Surga itu benar, neraka itu benar, dan kiamat itu benar.)
"Allahumma laka asylamtu, wabika amantu, wa'alaika tawakkaltu, wailaika anabtu, wabika khoosomtu, wailaika haakamtu, faghfirlii maa qoddamtu wamaa akhhortu, wamaa asrortu wamaa a'lantu, antal muqoddimu wa antal mu'akhiru, anta ilaahii laa ilaaha illa anta." (Ya Allah, hanya kepada-Mu aku pasrah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku bertaubat, hanya dengan petunjuk-Mu aku berdebat, hanya kepada-Mu aku memohon keputusan, karena itu, ampunilah aku atas dosaku yang telah lewat dan yang akan datang, yang kulakukan sembunyi sembunyi maupun yang kulakukan terang terangan. Engkau yang paling awal dan Engkau yang paling akhir. Engkau Tuhanku. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau).
Dan malam itu berlalu begitu saja dengan derai tangis pilu seorang gadis pedamba, hingga ketika fajar menyingsing; semua hal kembali pada tempat semestinya. Seolah lara yang semalam hanya secuil dari waktu yang bersimpati.