Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 2 - Ketegaran Hati yang Rapuh

Chapter 2 - Ketegaran Hati yang Rapuh

"Kenangan buruk memang tak pernah menjadi bagus untuk dikenang kembali. Terlebih luka lamaa belum jua kering dari basahnya."__AYTB

______________

Hakim lagi-lagi bungkam. Memang ia mengatakan hal itu saat tidak tahu bagaimana caranya menghindar lagi kala si cilik ini terus bertanya prihal bundanya. Ia tak menyangka jika putrinya ini tahu benar apa yang di maksudkannya.

"Bunda Ratna di atas sana pasti sangat rindu dengan Kinan. Kinan selalu do'akan saja bunda agar bunda selalu bahagia di atas sana ya, sayang?" katanya lagi coba menenangkan. Tetapi di sana, Hakim justru mendapati putrinya justru bermuka murung. Ia melempar pandangan ke arah Bik Asih yang juga menatapnya dengan raut tak terbaca; mencari jawaban yang bisa saja diketahui oleh wanita tua yang telah dianggapnya keluarga itu.

"Kinan, kenapa sayang? Kok jadi murung gini?"

"Kalyo Inan inta bunda cama Allah, apa Inan akan dikacih?" (Kalau Kinan minta bunda sama Alah, apa Kinan akan dikasih?) tanya Kinan dengan polosnya.

"Memangnya Kinan mau bunda yang gimana?"

"Inan mau bunda tente, Anyah."

"Bunda tante?"

"Iya. Tante bunda Atih." (Iya. Tante bunda Ratih.)

Hakim lagi-lagi bungkam. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab tanya itu. Tanya yang membuatnya merasakan kekacauan perlahan menggerogoti kepala dan hatinya. Ratih Anggraini Putri, dirinya sendiri bahkan tidak memiliki cukup nyali untuk bertemu dengan perempuan itu semenjak pertemuan terakhir mereka. Terlebih saat itu, ia bukannya menjelaskan apa yang gadis itu inginkan, justri ia lancang melamar gadis itu kembali hanya tersebab karena mendiang istrinya mengizinkannya menikah dengan Ratih.

Tiba-tiba Hakim jadi berpikir ulang. Yang istrinya itu inginkan apakah dirinya menikah dengan Ratih Anggraini Putri ataukah perizinan itu juga diberlakukan untuk gadis lain pula.

Hakim tiba-tiba merasa kepalanya berdenyut nyeri lalu dadanya terasat tersayat sembilu secara perlahan dan begitu perih. Mengingat bagaimana Ratih yang pula tak ingin bertemu dengannya bila ia belum siap menceritakan segalanya. Tapi, apa yang mesti dirinya ceritakan? Perihal istrinya yang marah saat mengetahui kebenarannya ataukah prihal bagaimana ia memperlakukan istrinya itu seolah dia adalah dirinya? Jika begitu, gadis itu akan sangat marah besar kepadanya bukan.

Ingatan tiga tahun silam kembali melintas dalam kepalanya. Saat itu, usia kandungan Ratih telah sembilan bulan dan hampir melahirkan.

Sebuah mobil avanza bergerak perlahan memasuki garasi rumah. Hakim keluar dari mobil setelah mematikan mesin mobil. Di tangannya ditenteng tas kantor yang berisi dokumen pekerjaannya. Ia melirik jam yang terlilit di pergelangan tangannya saat ia berhenti di depan pintu 22:37 pukul yang tertulis di sana.

Hakim menarik napas lalu dihembuskannya perlahan sebelum membuka pintu. Matanya berotasi mencari seseorang yang biasa menunggu kepulangannya di sofa. Tapi tak ia temukan siluet itu. Ia bergerak lebih dekat ke sofa, barangkali ia tertidur sebab kelelehan. Tetapi nihil, tak ada seorang pun yang dia temukan di sana.

Lantas, Hakim melepas jas dan menyingsing lengan kemejanya lalu meniti anak tangga satu per satu menuju lantai atas, letak di mana kamarnya berada. Sesampainya di sana, saat ia membuka pintu kamar. Hakim mendapati istrinya itu tengah terduduk di sisi kasur dengan mata sembab.

"Assalamu'alaikum ya zawjati," ucap Hakim lembut seraya mendekat setelah menutup pintu.

Ratna hanya terdiam saja, tidak menanggapi kehadiran suaminya itu. Bisanya ia akan duduk di sofa sampai Hakim pulang sekalipun itu malam telah sangat larut. Tetapi saat ini, ia merasa tidak ingin melihat wajah Hakim. Wajah pria yang sangat dicintainya yang menjadi suaminya itu ternyata tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya. Lantas, apa maksud dati segala perlakuan manisnya selama ini.

Hakim ikut duduk di sisi ranjang, menghadap ke wajah Ratna yang penuh dengan mata sembab dan hidung merah. Tetapi istrinya itu berbalik membungkunginya. Hakim bingung, saat ini ia sangat kelelahan dan ingin segera beristirahat. Tetapi Ratna malah bertingkah laku aneh dan jelas bukan pilihan bagus meninggalkannya seperti itu terlebih Ratna tengah mengandung buah hatinya yang sebentar lagi akan lahir.

"Kamu kenapa? Kamu habis nangis?" tanya Azzam pelan seraya menyentuh pundak Ratna. Wangi sampo tercium samar dari rambutnya di balik jilbab yang menutupi kepalanya. Hakim tahu bila Ratna baru selesai keramas.

'''

"Telah berapa banyak hal yang Mas sembunyikan dari Ratna?" tanya gadis itu dengan suara seraknya. Ia enggan berbalik menatap Hakim. Ia ingin marah besar dengan meneriaki Hakim, tetapi dia adalah suaminya dan ia tidak pantas meninggikan suaranya di hadapan Hakim sekalipun ia sangat maah akan lelaki iitu.

Kening Hakim berkerut bingung. Pada wajah lelahnya terbaca kalimat yang mengandung tanya atas pertanyaan Ratna. "Maksudmu gimana, Na?" tanyanya tak mengerti.

"Bahagiakah Mas Hakim di atas kebodohanku?" tanya gadis itu lagi masih dengan suara yang sama. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Katakan dengan jelas apa maksudmu, Na. Aku sungguh tak mengerti. Tolong jangan buat aku bingung seperti ini," keluh Hakim frustasi. Ia sangat bingung dengan ucapan Ratna. Ada apa gerangan yang terjadi hingga perempuan ini bisa berkata demikian.

Sementara Ratna berusaha menahan mati-matian air mata yang sebentar lagi akan meluncur bebas.

"Kenapa Mas Hakim mengajukan khitbah terhadapku saat hal suci itu engkau janjikan kepada kakakku terlebih dahulu," terangnya dengan suara tertahan. Begitu berat rasanya ia mengucapkan kalimat itu. Pada awlnya, padahal ia berniat ingin berpura-pura tidak tahu sampai buah hatinya lahir. Tetapi, tatkala mendapati wajah suaminya itu dari pulang kerja justru membuat amarahnya memuncak. Lantas ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri seutuhnya. Ia merasa begitu kecil dan menyedihkan di hadapan orang tercintanya ini.

Hakim merasakan gemuruh yang didampingin petir menggelegar baru saja menyambarnya dengan kerasnya. Kepalanya terasa kosong, ribuan sistem yang terperogram dalam kepalanya seolah eror dan hanya menampilkan satu kalimat yang begitu menghujam, kalimat yang selama ini berusaha ia sembunyikan mati-matian dan ditutup rapi-rapi dengan sikapnya terhadap Ratna. Kalimat itu berbunyi, 'Dia tahu. Pada akahirnya ia tahu.'

""Apa abah yang memintamu menikahiku dan bukan kak Ratna? Apa karena rasa simpati sebab penyakitku ini yang membuatmu harus menikahku? Apa kak Ratih yang memintamu menikahku hingga kamu harus melakukannya karena itu permintaan orang terkasihmu? Lalu, dari mana kak Ratih tahu tentang penyakit ini? Apa kamu yang mengatakannya demi dalih membatalkan janjimu padanya? Ternyata aku sebodoh ini untuk dibohongi hingga selama ini."