"Masakan kamu? Bukannya kamu membelinya?" tebak Hakim seraya mengarahkan pandangannya pada layar komputer dan tangannya menggerakkan mouse di sana.
Manik bening gadis itu bergerak tak gelisah, dalam benak ia bertanya dari mana pria itu bisa tahu kalau dirinya membeli makanan itu dan bukan memaskanya. Ia memang tidak bisa memasak dan ia tidak mau menghabiskan waktunya untuk mengerjakan hal merepotkan semcam itu. Waktunya berdandan saja sudah dipersingkat, masa ia perlu belajar memasak untuk membuang waktunya yang berharga.
"Ya … ya … biarpun begitu, setidaknya kamu hargai dong masakan itu dengan memakannya langsung di depanku. Aku udah capek lho ngantri buat dapetin makanan kesukaan kamu itu."
"Aku tidak pernah memintamu untuk melakukan ini jadi kenapa aku harus melakukan itu," ketus Hakim tanpa mengalihkan fokusnya dari tangan dan mata yang sibuk bekerja.
"Tapi ibu kamu memintaku untuk membawakanmu makanan."
"Aku tidak merasa meiliki ibu. Ibuku telah lama berpulang, jangan gunakan dia sebagai alasan. Jika perempuan itu yang memintamu melakukannya maka jangan pernah datang lagi."
Gadis itu terdiam, ia tidak tahu bagaimana harus membalas. Semua dalih yang ia punya tidak ada yang mempan.
"Kalau begitu. tidak bisakah kamu menggapnya sebagai ketulusanku saja? Aku sungguh mencintaimu, Hakim. Dari dulu, kenapa kamu tidak pernah melihat ke arahku?"
Gadis itu berdiri dan menuju ke arah meja Hakim dan berdiri tegak di hadapannya. manik beningnya menatap lurus ke arah wajah pemuda itu.
"Sedari dulu kenapa kamu tidak pernah melihat usahaku? Apa hubungan pertemanan kita tidak bisa melangkah lebih menjadi sepasang kekasih? Bahkan setelah kamu menduda pun, aku masih menunggu dan berjuang untukmu. Tidak bisakah kamu mencoba membuka hatimu sedikit untukku?" ucapnya tulus. Air wajahnya menyiratkan luka yang telah sering ia tterima dari perlakuan dingin Hakim. Dalam benaknya, ia tidak pernah mengerti mengapa lelaki ini selalu berlaku dingin hanya kepadanya. Pria ini bisa tersenyum ramah dengan bebas kepada semua orang, tetapi pada dirinya, bahkan melihat lama saja pria itu seperti dsudah tidak sudi. Apa salahnya ia berjuang untuk mendapatkan hati pria ini. setidaknya pria itu bisa memperlakukannya sama seperti pria itu memperlakukan orang lain, walaupun tidak spesial, setidaknya ia tidak merasa sakit sebab sikap dingin yang ditujukan padanya.
Hakim menghentikan kegiatannya. Ia menatap tepat pada manik bening gadis itu, tetapi yang ditatap justru mengalihkan pandangan. "Jika kamu ingin membahas ini, tolong pergi saja. Aku sedang sibuk."
Ketukan di pintu serta suara perminta izin masuk oleh Anggun membuat kedua pasang mata itu beralih menatap pintu. Dan tubuh tinggi milik Anggun menyembul dari daun pintu setelah dititahkan masuk oleh Hakim.
"Dewi akan pergi. Tolong kamu antarkan tamu pulang," ucap Hakim lalu kembali mengarahkan fokusnya pada layar monitor.
Sementara gadis yang namanya Dewi itu menatap tak percaya atas pengusiran yang dialkukan berkali-kali padanya itu. Ia memang telah menduga akan diberlakukan demikian. Bila diperlakukan begini saja bisa membuatnya kapok, maka untuk apa ia menginginkan cinta pria ini. perlakuan semcam ini masih termasuk trik kecil pria ini utnuk membuatnya pergi. Ha, hal semcam ini tidak akan membuatnya jera.
"Mbak Dewi. Mari saya antarkan."
Dewi menghentakkan kakinya dengan keras sebelum melangkah keluar dengan ketukan pantopel yang nyaring yang disengaja demi membuat keributan.
Hakim memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut nyeri. Ia mendapati Anggun hendak berlalu keluar, tapi segera ia hentikan.
"Anggun!"
Sekretarisnya itu menoleh dan berbalik badan, "Ya, Pak?"
"Jika dia datang lagi lain kali hanya untuk mengganggu tolong usir saja."
Anggun terlihat sedikit menimbang sebentar sebelum mengangguk menyutujui, "Baik, Pak. Akan saya ingat."
"Ya sudah. Kamu boleh keluar."
"Baik, Pak. Saya permisi."
~***~
Aula telah dipenuhi dengan sebagian banyak mahasiswa dari fakultas berbeda. Hari ini adalah hari dimana dilaksanakannya kajian bulanan yang diperuntukkan untuk semua mahasiswa universitas dari belbagai fakultas yang ada. Acara yang telah menjadi agenda wajib bagi ekskul Rohis kampus sekalipun presiden mahasiswa sering berganti di tiap periodenya.
Pada bagian sayap kanan aula, dipenuhi oleh mahasiswa ikhwan sedang pada bagian sayap kiri oleh mahasiswi akhwat dengan diberi jarak oleh jalan berlalu lalang di bagian tengah antar keduanya.
Beberapa mahasiswa panitia acara bagian keamanan sibuk mengarahkan para mahasiswa. Panitia divisi acara sibuk melakukan pengecekan ulang pada sound sistem serta server yang akan digunakan di atas panggung. Begitu pula dengan para panitia lainnya yang sibuk mengerjakan tugas masing-masing.
Sementara pada ruang tunggu, Ratih duduk manis di sofa empuk yang memang disediakan untuk tamu undangan. Ditangannya tergenggam sebuah buku yang menampilkan beribu suku kata yang tersusun rapi dan apik. Manik jelaga Ratih yang bening, syahdu sekali meniti tiap jengkal perpaduan kata itu. Rentetan tiap kata yang dilukiskan dalam balutan bahasa yang membuat mengharu biru, luka yang disampaikan penulis begitu mengenyuh hatinya.
Acara masih akan dimulai dalam dua puluh menit lagi, semntara menunggu, ia menikmati waktu luangnya untuk membaca novel yang dibelinya beberapa hari lalu bersama Erlina.
"Kak Ratih, permisi." Itu Naya, dengan canggung dan ragu-ragu gadis itu menganggu kesyahduan kakak seniornya itu membaca. Jika bukan kerena tugasnya yang menjabat sebagai koordinator kegiatan ini, maka ia tidak akan berani mengganggu gadis itu bila sedang syahdunya begini.
Ratih menoleh lalu menjawab, "Kenapa?"
"Maaf mengganggu kekhusyukannya, kak. Begini, narasumbernya, Profesor Khalil belum datang. Acara sudah akan dimulai dua puluh menit lagi. Bagaimana ini?" ungkap gadis itu khawatir.