Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 34 - 34 [Sekacau Telaga yang Diaduk]

Chapter 34 - 34 [Sekacau Telaga yang Diaduk]

Ratih mengerutkan keningnya, topik itu terlalu jauh untuk di bahasa pada bagian pertama. Tetapi Ratih mengangguk saja, seolah enggan mengakui. "Iya."

"Bisa aku tahu apa isinya?"

"Tidak bisakah kita membahas itu belakangan?"

"Bisakah kita membahas itu lain kali?"

"Kenapa?"

"Hanya saja."

"Okey. Isinya sama seperti yang dijelaskan umi padaku. Lebihnya, aku ingin menanyakan itu. Bagaimana ia bisa tahu apa yang terjadi pada kita?"

"Apa ia memintamu untuk mempertimbangkan ulang menikah denganku?"

"Kenapa Mas Hakim menjawab peertanyaan dengan pertanyaan?"

"Jawab saja aku, Ratih."

"Iya. Dia juga memintanya. Tapi ia juga memberikan selamat padaku untuk menikah dengan orang lain."

"Ah begitu rupanya. Lalu …." Hakim menelan salivanya sulit, seolah ada sesuatu yang menjanggal pada tenggiorokan dan rasanya perih. "Bisakah kamu mempertimbangkanku seperti perkataannya?"

Ratuh mengerutkan alisnya, meatap dengan tatapan menyidik. Apakah pria di hadapanya ini telah embaca isi surat yang diperuntukkan untuk dirinya? Jika tidak, bagaimana pria ini bisa tahu jelas isi dari surat itu?

"Ratih Anggraini Putri. Maukah engkau menghabiskan sisa umurmu denganku?"

Ratih tercengang dengan apa yang baru saja didengarnya. Apa yag salah dengan pria ini? Dirinya meminta bertemu bukan untuk mendapatkan pernyataan seperti ini, ia membutuhkan penjelasan atas segala hal yang terjadi pada adiknya. Bisa-bisanya pria ini menyatakan lamaran setelah apa yang diperbuatnya. Apa ia kehilangan akal sehatnya?

Okey, Ratih akui bila ia telah memprediksi pembahasan titik ini akan muncul. Tapi tidak dengan begini, tidak tanpa penjelasan.

"Rupanya aku salah meminta bertemu, Mas. Aku permisi dulu."

Ratih berdiri dan hendak beranjak pergi, tetapi tertahan sebab Hakim lebih dulu mencegal tangannya. Tangannya memberontak, tapi cegalan Hakim terlalu kuat untuknya.

"Ratih!" serunya dengan wajah yang seolah mengindikasikan dirinya penuh akan luka. Dan kepergian gadis itu akan semakin menambah lukanya.

"Lepas tangan saya, Mas!" Ratih menekan kalimatnya. Roman wajahnya penuh dengan amarah yang tertahan. Seolah asap gelap sedang bergumul di ubun-ubunnya.

"Ratih!"

"Temui aku lagi saat Mas Hakim sudah siap mengatakan segalanya!"

Ratih menyentak tangannya dalam sekali gerakan hingga tangan Hakim terlepas.

"Permisi, Mas. Assalamu'alaikum."

Hakim menunduk dalam. Jemarinya ia tautkan satu sama lain. Enggan melihat punggung itu kembali meninggalkannya seperti tiga tahun silam. Ini terlalu persis hingga rasanya ngilu di segala tempat. Terlampau persis untuk menancapkan luka jauh lebih dalam lagi di tempat yang sama. Lantas, apa perlu ia mengorek semua luka itu hingga bernanah lagi? Maka apa yang akan menjadi penawarnya bila ia melakukan itu?

~***~

Sekarang di sini Ratih menemukan dirinya. Di antara anak-anak manis yang berkumpul membentuk pola memundar. Di tangannya terdapat buku bacaan dan khidmat mereka membacanya. Beberapa dari mereka yang baru belajar membaca tengah di tuntun pelan oleh salah seorang Mahasiswi lain yang mengabdikan waktu luang dar kuliahnya untuk membantu anak-anak belajar.

Entah kenapa langkah kakinya menuntunnya ke sini, pada Taman Baca yang cerah, disuguhi kesejukan mata akan khidmatnya anak-anak kecil dengan usia beragam itu membaca buku.

Kedatangan Ratih disambut heboh dengan hamburan pelukan Danu. Si pria kecil menggemaskan itu merengut manja. "Kakak Ratih cantiiik! Danu kangen, semingguan ini kenapa gak pernah muncul, Kak?"

"Kakak juga rindu pada Danu. Rinduuu sekali."

Ratih membalas pelukan Danu dan mengusap kepalanya pelan. Lantas, anak-anak lain yang tadinya terpekur pada bacaannya berhamburan mengerubungi Ratih. menyuarakan betapa rindunya mereka pada Kakak Cantiknya yang kerap mengisahkan kepahlawanan Rosulullah itu.

"Nah ini nih, yang dikangenin akhirnya muncul juga!" kelakar Maryani dari belakang punggung Ratih. "Tau gak, Rat? Mereka lebih milih baca buku sendiri dari pada denger aku yang dongengin. Kesel aku tuh sama mereka," adunya dengan muka yang dibikin cemberut.

Ratih terkekeh. "Kenapa gak mau diceritaiin sama Kak Maryani? Kan sama saja tuh."

"Kak Maryani gak bisa cerita sebagus Kak Ratih. Kalau sama Kak Yani itu gak boleh gerak seinci pun, Kak. Disuruh jadi patung mati bertelinga,"sangkal Danu menyembulkan kepalanya dari pelukan Ratih. Mendongak pria cilik itu untuk mendapati wajah Ratih.

Anak-anak lain bersahut menyetujui, seolah kalimat laporan yang diungkap Danu membutuhkan pembenaran tanpa diminta.

"Heh kalian, ya. Kakak, 'kan cuma minta supaya didengerin saja. Lagian, kan Kakak gak mukul kalian juga tuh," elak Maryani sewot.

"Tapi suara teriakan Kakak berisik. Gede bangen ngelebihin suara toa masjid. Bisa pecah kuping kita, kak." Danu tak kalah sewot.

"Siapa suruh kalian ngegosip saat Kakak lagi cerita? Lagi, besaran mana suara Kakak sama suara Kak Erlina?"

"Siapa yeng ngegosip, kak. Danu cuma jawab pertanyaan temen yang gak ngerti istilah penjelasan Kakak, kok. Dan juga, suara kak Erlina meski gede tapi merdu, gak kayak Kaka yani. Kek gentong pecah."

"DANUUUU!"

Sontak Danu dan semua teman-temannya menutup telinga, menjaga kondisi telinga agar tetap terjaga dari suara gentong pecah yang menggelegar.

"Tuh, 'kan kayak gentong pecah!"

"Dasar ya anak ini!" Maryani melipat kedua tangan di depan dada lantas berbalik, menyatakan jika dirinya tengah merajuk."

Ratih terkekh kecil di susul semburan tawa dari yang lain. danu melepaskan pelukannya. Adegan yang serupa sering terjadi seperti ini, dan tiada lain pelakunya adalah Danu yang tiada habis akalnya membalas ucapan kakak-kakak pembimbingnya jika tidak sesuai dengan pemikirannya sendiri. Danu yang kritis sering kali membuat pening kepala, tapi itulah warna yang membuat Taman Baca kecil miliknya menjadi ceria dan penuh warna sepanjang hari. Tak jarang adik-adik juniornya yang ikut mengawasi mereka sering melapor bagaimana kekritisan anak itu membuat mereka merasa ciut, sebab anak itu tahu lebih banyak perihal banyak hal dibanding mereka. Akan tetapi, hanya pada Ratih lah Danu patuh, seolah Ratih adalah ibunya yang tidak boleh ia sakiti hatinya.

"Sudah, sudah. Jangan usili Kakaknya lagi. Kak Maryani, 'kan juga sudah berusaha untuk membantu kalian belajar. Jadi harus dengerin kata kak Maryani, ya, begitu juga dengan kata kakak-kakak lainnya. Kita harus bersyukur karena kakak-kakak semuanya mau menyumbangkan ilmunya tanpa pamrih dan kita harus hargai itu. Jangan buat kakak-kakaknya kesal apalagi sampai marah, karena kita banyak mengambil ilmu mereka untuk menambah pengetahuan kita. Mengerti adik-adikku semuanya? Danu juga ya, sayang, ya?"

"Iya, Kakak cantiik." Serentak mereka berucap.

Danu mengangguk patuh.

Ratih bersyukur. Pilihan tepat ia melangkahan kakinya ke sini. Sebab bila ia kembali ke indekosan, maka ia hanya akan termenung merasai segala luka yang ia terima dan itu tidak bagus untuk penyembuhan batinnya yang kacau.

"Nah sekarang kita gak usah belajar. Kita ganti jadi quis saja. Mauuu?"

"Mau, Kakak cantik." Bersorak mereka mengiyakan.

"Kita akan quis sudah sejauh mana pengetahuan kalian dari membaca buku dan mendengarkan penjelasan kakak-kakaknya tentang kisah perjalanan Para Anbiya."

"Ayo semuanya duduk bundar yang rapi dulu baru kita mulai!" instruksi Maryani mengatur mereka.

Ponsel Ratih bergetar, menandakan ada panggilan yang masuk. Dari Mbak Liana, mamanya Danu. Segera ia menggeser ikon telepon berwarna hijau.

"Assalamu'alaikum, Mbak?"

"Wa'alaikumsalam. Ratih? Mbak boleh minta tolong?" tanya Mbak Liana dar seberang.

"Boleh, Mbak. Selama Ratih bisa bantu akan Ratih lakukan apa pun itu."

"Mbak mau minta tolong nanti Ratih anterin Danu pulang ke alamat yang Mbak kirim, ya. Mbak gak bisa jemput karena bantu-bantu di sini, gak enak jika Mbak izin pergi jemput Danu."

"Oh begitu. Baik, Mbak. Nanti biar Ratih yang antar Danu pulang."

"Terima kasih banyak ya, Ratih. memang deh Cuma kamu yang bisa diandalkan."

"Sama-sama, Mbak. Sudah seharusnya Ratih membantu selama Ratih mampu."

"Iya, mbak minta tolong, ya?"

"Iya, Mbak."

"Ya sudah kalau begitu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

Ratih mematikan sambungan telepon.

"Dari Mama ya, Kakak Cantik?" tanya Danu yang daritadi memperhatikan Ratih menerima telepon. Ia bisa tahu siapa yang menelpon dari namanya yang disebut oleh Ratih.

"Iya. Ini dari mama Danu."

"Mama bilang apa?"

"Mama minta tolong sama kakak untuk nganter Danu pulang nanti. Nah ini alamatnya sudah dikirim sama mama."

Ratih menunjukkan pesan alamat yang baru saja diterima kepada Danu.

"Woah, kita ke rumah oma. Yeeey dianterin sama Kakak cantik juga. Nanti kakak kenalan ya sama omanya Danu?"

"Iya Danu sayang. Sekarang kita main dulu, ya. Ayok!"

.

.