Beberapa menit berlalu, Emely sudah mencicipi makanan Mrs. Calisa dengan terus berbincang dengannya, membuat mereka semakin akrab. Gadis itu sadar, sejak kedatangannya ke apartemen ini, ia jarang berinteraksi dengan banyak orang. Dia hanya sesekali menyapa tetangga dan berkenalan singkat dengan Mrs. Calisa.
"Terima kasih, makanannya enak." Emely menaruh senampan makanan itu ke atas meja. "Tapi maaf, aku harus pulang."
Mrs. Calisa tersenyum lalu berucap, "Sama-sama, Nak. Jangan lupa, seringlah main ke sini."
Emely mengangguk dan segera pamit beranjak pergi. Namun, baru satu langkah ia berjalan, kepalanya yang sakit membuat Emely hampir terjatuh.
"Kau tidak apa?" Untung saja, Mrs. Calisa langsung menahan tubuh gadis itu.
Sepertinya ... pusing ini akibat aku terjatuh tadi, batin Emely menyadarinya.
"Sebentar." Mrs. Calisa tiba-tiba bangkit lalu membuka beberapa laci di ruangan itu. "Ini, minumlah," titahnya mengulurkan sebuah botol kecil pada Emely.
"Apa ini?"
"Itu obat sakit kepala. Aku sering menggunakannya," jelas Mrs. Calisa seraya memberikan sendok untuk menuangkan obat tersebut. Tanpa menunggu lama, Emely segera meminumnya.
"Sekali lagi, terima kasih banyak, Mrs. Calisa. Aku berhutang padamu." Tanpa ragu gadis cantik itu memeluk Mrs. Calisa.
Seketika benak Emely memikirkan sosok ibu. Ia mengeratkan dekapan seolah berharap itu adalah pelukan dari ibunya. Namun, nyatanya ia hanya bisa merindukan sosok itu tanpa pernah tahu wujud yang sebenarnya.
"Aku menolongmu dengan senang hati, Nak." Mrs. Calisa menatap Emely tulus.
Rasanya hati Emely jauh lebih tenang, sekarang ia tidak lagi sendirian. "Aku pamit dulu." Mrs. Calisa mengangguk seraya mengantar Emely menuju pintu.
ΦΦΦ
"Emely!"
Sosok yang akan memasuki lift menuju lantai dua pun terhenti. Terlihat dari pintu besar yang tembus pandang Alice sedang menyembulkan kepalanya dari dalam mobil. Emely kini mengubah arah langkah untuk menghampirinya di lobi.
"Alice, turunlah."
"Ah, tidak. Aku hanya ingin mengajakmu jalan-jalan. Segeralah ganti pakaian, biar aku tunggu di mobil saja."
"Maaf, Al. Aku tidak bisa, hari ini kepalaku sedang sakit," tolak Emely tersenyum parau.
"Kau sakit? Kalau begitu, biar kuantar ke dokter saja."
"Tidak perlu, aku sudah minum obat tadi."
Raut wajah sahabatnya kembali tenang. "Ya sudah, kau banyak-banyak istirahat. Aku jadi tidak enak malah ingin mengajakmu pergi tadi."
"Tidak apa. Lebih baik kau mampir dulu," pinta Emely.
"Maaf, Em. Aku sudah berjanji pada Carlos akan mengajaknya jalan-jalan juga. Jadi, walaupun kau tidak ikut aku harus tetap ke rumahnya. Dia sudah menungguku," jawabnya merasa bersalah.
"Baiklah. Kalian hati-hati di jalan." Emely tersenyum dan diangguki oleh Alice dengan semangat.
Gadis berambut pirang itu berbalik dan berniat melanjutkan langkah ke lantai dua. Namun, tiba-tiba gatal pada tatonya kembali meradang. Membuat Emely teringat dengan penjelasan buku XVIII.
Apa sesuatu akan terjadi pada Alice atau Carlos? Pikiran negatif itu mulai datang.
Emely harus mencegah apa pun itu selagi dia bisa, jangan sampai ia kehilangan seorang teman lagi. Sedangkan, sosok yang sedang Emely cemaskan malah terlihat sudah menutup kaca jendela mobilnya, bersiap untuk melaju membelah jalan.
"Al, tunggu!" Sedetik saja dia terlambat, Alice mungkin sudah menancap gas dengan kencang.
Kaca hitam pada jendela mobilnya kembali terbuka, menampilkan wajah Alice yang sedikit bingung. "Kenapa, Em?"
"Um ... kau jangan bawa mobil dengan kecepatan tinggi, ya. Itu berbahaya. Kusarankan juga lebih baik kau dan Carlos di rumah saja, jangan pergi jalan-jalan," katanya dengan ragu. Jauh di dalam sana jantungnya sedang tidak karuan.
Kerutan di kening Alice mulai tercetak, lalu berakhir dengan tawa yang terbahak-bahak. "Astaga, Em. Kau ini kenapa? Harusnya aku yang cemas kepadamu karena kau yang sedang sakit, tapi ini malah sebaliknya. Kau tenang saja, semua akan aman."
Emely mengembuskan napas untuk membuat dirinya tenang, ia harus percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Setidaknya Emely sudah mengingatkan dan berharap hal buruk tidak datang.
"Aku harap juga begitu. Sampai jumpa, Al." Gadis itu melambaikan tangan melihat Alice yang sudah melajukan mobilnya.
ΦΦΦ
Alarm pada jam beker yang tergeletak di meja nakas terdengar nyaring sedari pagi, tapi sang pemilik tak kunjung bangun juga. Tak lama setelah bunyi terakhir, Emely baru membuka mata.
"Apa? Jam setengah sepuluh!" Matanya membulat setelah melihat arah jarum dari jam beker itu. "Tiga puluh menit lagi kelas kampus dimulai!" Tanpa pikir panjang ia langsung maraton menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Selang sepuluh menit, Emely sudah berpenampilan rapi. Ia segera melesat pergi mencari taksi tanpa memikirkan perutnya yang belum diberi asupan gizi sama sekali. Ditambah kegelisahan juga terus menyerang karena gatal pada tatonya belum juga hilang dan itulah penyebab Emely kesiangan. Semalam ia tidak bisa tidur karena gatal pada tato sialan itu.
ΦΦΦ
"Selamat pagi!" seru sang dosen yang mengawali mata kuliah hari ini.
"Pagi." Mahasiswa menjawab serentak.
Mereka mulai membuka buku dan memperhatikan penjelasan dosen di depan. Namun, itu hanya sebentar, dosen tersebut memutuskan untuk melanjutkan ke sesi praktikum yang akan dilaksanakan di salah satu laboratorium.
"Sekarang kita akan mempraktikan semua unsur yang saya jelaskan tadi." Dosen tersebut melangkah terlebih dulu yang kemudian disusul oleh para mahasiswa. Mata kuliah Kimia memang menyenangkan, jarang diberi teori panjang lebar tapi langsung terjun ke lapangan.
Selang beberapa menit Emely sudah sampai di kampus, ia yakin pasti kelas sudah dimulai sejak tadi. Akan tetapi, tepat saat pintu ruangan dibuka, semua orang tidak ada. Hanya menampilkan beberapa buku yang tergeletak di meja.
"Di mana mereka?" Gadis itu mengedarkan pandangan mencari penghuni di kelasnya, tapi tetap saja mereka tidak terlihat juga. Alhasil ia malah sibuk menggaruki tato pada lengannya yang masih saja gatal.
"Kebakaran! Kebakaran!" Beberapa orang terdengar berteriak di luar ruangan, membuat Emely mengernyit karena mereka terlihat berlarian.
Gadis itu langsung berjalan keluar dan berhasil mencegat salah satu mahasiswa yang lewat. "Maaf, ada apa ini? Kenapa semua orang terlihat panik?"
"Laboratorium Kimia di lantai bawah terbakar," jawab mahasiswa itu dengan gusar.
Sontak Emely menganga, ia teringat akan mata kuliah di kelasnya hari ini yaitu Kimia. "Oh, astaga! Semua mahasiswa dari kelasku sedang di sana!" serunya gelisah dan segera berlari cepat menuju pusat kejadian.
ΦΦΦ
Kobaran si jago merah yang melahap laboratorium Kimia semakin membumbung tinggi, membuat pintu di sana susah untuk dilewati. Asap juga sudah menyebar di mana-mana, membuat sesak napas di dada dan menjebak semua orang yang ada di dalamnya.
Termasuk Alice dan Carlos, mereka sedang bersusah payah untuk keluar dari sana dengan berjalan merayap berusaha menghindari asap, keduanya hendak menuju sebuah jendela.
"Carlos, jendelanya tidak bisa dibuka! Aku sudah tidak kuat!" teriak Alice bersahutan dengan suara batuknya. Mereka terus berusaha mendobrak jendela yang tertutup kaca, tapi nyatanya itu sulit. Apalagi, api di sana mulai berkobar mendekati area tersebut.
Padahal, alat anti kebakaran yang sedari tadi terus mengeluarkan air dari langit-langit ruangan tak pernah surut menyemprot ke berbagai sudut di sana, tapi itu tidak berhasil mengalahkan api yang semakin membesar.
"Al, tenanglah!" Carlos pun bersuara tak kalah kencang dari bisingnya keadaan sekitar.
Teriakan semua orang masih terdengar meminta pertolongan. Mereka saling tiarap melindungi diri dari kobaran api dan asap. Kain basah yang menutup hidung serta mulut pun mereka gunakan untuk menghindari hirupan asap kotor yang mendominasi ruangan. Namun, beberapa orang sudah ada yang pingsan bahkan mungkin tertiban barang-barang.
Untung saja orang-orang di luar juga ikut membantu dengan menyemprotkan gas Karbon Dioksida dan Nitrogen, yang merupakan media pemadam api dengan cara mendinginkan (cooling) dan menyelimuti (dilusi).
Di sisi lain, Emely baru saja datang dengan napas yang masih tersengal. "Alice! Carlos!" teriaknya berharap mendapat jawaban.
Sementara Alice kini sudah duduk terkulai lemas dengan mata yang mulai sayup disertai batuk-batuk. Kulitnya juga kotor karena asap hitam.
"Kau harus kuat!" Carlos terus menyadarkan Alice. Namun, gadis itu semakin menunduk dengan terus mengelus dadanya yang mulai susah untuk bernapas.
Pemuda di dekatnya terus memukul kaca jendela dengan sekuat tenaga walaupun hasilnya tetap sama. Pada pukulan kedua, ia berhasil membuat kaca itu retak walau sedikit saja. Sepertinya Carlos harus lebih kuat lagi memukul kaca tersebut.
Sementara itu, mereka tidak sadar bahwa api sedang menjalar cepat ke arah jendela dan siap menghancurkan. Benar saja, sebelum Carlos memukulnya lagi, dentuman sudah terdengar nyaring menerpa kaca jendelanya. Membuat serpihan kaca beterbangan disertai semburan api merah yang dengan sekejap menghantam tubuh Carlos dan Alice di dekat sana.
"Aarghhh!"
ΦΦΦ
Peristiwa kebakaran yang menggemparkan kini teratasi. Laboratorium Kimia yang sudah ambruk dan hangus itu sedang dievakuasi.
Ternyata penyebab kebakarannya karena zat Kimia berbahaya yang tidak seharusnya dituangkan dengan zat Kimia tertentu, tapi seorang mahasiswa malah mencampurnya begitu saja tanpa bertanya lebih dulu. Hingga akhirnya menciptakan ledakan kecil dan percikan api yang langsung merambat pada zat lainnya.
Kini semua korban mendapat pertolongan dari tim medis dan segera dilarikan menuju rumah sakit terdekat. Kebanyakan korban mengalami luka bakar yang cukup parah dan tak sadarkan diri, beberapa wajah juga sampai tidak dikenali.
Sayangnya, sepuluh korban ditemukan meninggal, membuat semua orang di sana membuang muka karena miris melihat jasadnya. Bahkan, ada jasad yang tidak ditemukan sama sekali, mungkin sudah lebur menjadi abu.
Emely malah sibuk mencari kedua temannya yang belum juga ditemukan. "Carlos!" Ia terkejut melihat Carlos sedang berbaring di brankar yang tengah didorong oleh para tim medis, Emely segera mencegatnya. Ia sangat kenal dengan postur tubuh pemuda itu.
Ternyata benar, Carlos tak sadarkan diri. Wajahnya penuh luka, tubuhnya kotor, dan pakaiannya separuh terbakar, membuat bulir air mata langsung terbendung di sudut netranya.
Tim medis pun lanjut membawa Carlos menuju ambulance dan segera pergi untuk mendapat pengobatan. Pria itu sudah aman sekarang dan giliran Alice yang harus Emely cari tahu keberadaannya.
ΦΦΦ