Selepas memasuki pos tiga, jalur pendakian melewati padang sabana yang mirip Jalur Sembalun. Konturnya menanjak, namun landai. Dengan bersusah payah, akhirnya Merry dan David tiba di Plawangan Timbanuh. Luar biasa sekali, Gunung Baru Jari terasa sangat dekat. Danau Segara Anak pun nampak indah dari sisi yang berbeda. Matahari mulai terbenam dan hampir terhalang oleh Plawangan Senaru.
Mereka mendirikan dua tenda di tengah hamparan padang sabana. Ditemani deru angin dan hawa dingin, khas Gunung Rinjani. Malam itu beruntung di di Lawang Timbanuh sudah terdapat beberapa pendaki. Dan mereka pun memutuskan untuk kembali besok siang, jadi hal itu sedikit membuat Merry tenang.
"Sekarang biar gantian aku ya, Merr. Yang membuatkanmu santap malam. Mungkin, kau harus menikmati bubur ayam ini. Saukilla kerap kali membuatkan bubur ayam untukku," kata David memberitahu.
"Sepertinya tidak perlu, Dev. Karena aku sedang tidak ingin makan. Aku hanya ingin mengonsumsi roti saja, mungkin kamu lapar, aku bisa memasaknya?"
David pun menolak halu, ia bergeleng kepala seraya tersenyum. Pria dewasa tersebut menolak tawaran perempuan di sampingnya.
Pasca gempa beruntun sepanjang Juli dan Agustus 2018, banyak yang berubah di Gunung Rinjani. Seperti yang sudah dijelaskan di awal, banyak sekali titik longsor di dinding kaldera, termasuk Plawangan Timbanuh. Carilah posisi aman ketika menuju Plawangan Timbanuh. Jangan berdiri di atas bagian yang mudah longsor. Khawatir jika ada gempa, batuan yang kita pijak akan ambrol ke bawah.
Selain rawan longsor, yang perlu diwaspadai adalah kebakaran lahan. Apalagi di padang sabana Jalur Timbanuh. Bijaklah ketika menggunakan api untuk memasak. Sangat disarankan menggunakan kompor gas. Hindari membakar kayu di sembarang tempat, jauhkan dari rumput kering mau pun tanaman lainnya.
Dan yang terpenting adalah menjaga kebersihan. Petugas Pos Resort TNGR (Taman Nasional Gunung Rinjani) Timbanuh akan memeriksa bawaan pengunjung yang selesai melakukan pendakian.
Malam semakin tinggi, bulan setengah lingkaran kian merangkak. Hanya bergantung di awang-awang saja. Keduanya tak terjalin obrolan, Merry lebih tertarik untuk merebahkan diri seraya mendengarkan alunan musik dari mini speaker yang ia bawa.
Ia sebenarnya begitu malas jika saat bersua dengan pria itu justru yang dibahasnya hanya Saukilla saja. Ia memang tidak mengatakan bahwa tengah mencintai David, namun dari sikap Merry ia tampak tengah memendam rasa.
*****
Perlahan matahari mulai tergelincir ke ufuk Barat. Belibis belibis terlihat berterbangan dibawah langit yang tampak mulai menguning. Seakan merayu sang Arunika untuk kembali menjalankan tugasnya. Pemandangan yang tampak indah dari atas Pelawang Timbanuh. Namum, tiba-tiba saja dalam hitungan menit langit pun tersandera oleh mendung.
Payoda menghitam, kumpulan awan mulai menyatu dan menjatuhkan rintik airnya. Suasana yang indah terpaksa harus terjeda, sebab guyuran rinnai yang membasahi semesta. Hal itu pun memaksa para pendaki untuk segera berlindung di balik jaket tebal.
Rintik-rintik yang jatuh ke bumi terasa segar, saat jatuh di atas tanah berpasir. Hal itu pun membuat mereka harus menghentikan aktivitas, memilih berlindung dan mungkin melaju dalam pulau kapuk.
Tapi, tidak dengan pria itu, ia justru kembali teringat dengan calon istrinya, Nora Saukilla Ekualen.
"Di mana pun keberadaanmu, yang jelas hati kecilku mengatakan bahwa kamu masih hidup."
"Percayalah, kita akan segera bertemu dan bersanding di atas altar."
"Nanti setelah itu, kita akan datang ke sini hanya berdua saja. Mungkin sebagai honey moon." Sambung David lagi, seraya terus membayangkan Saukilla.
****
Hari begitu cepat berganti, malam sudah datang sejak tadi. Tugas sang mentari usai, kini cakrawala gelap sebab rembulan tak bersedia menyinari. Korea Selatan tepatnya di desa militer rupanya di sana juga tengah diguyur hujan hal itu cukup membuat tubuh kedinginan.
"Kalau begitu kita bermain tebak nama benda saja. Dari pada minum soju tak akan diizinkan!" kelakar Praka Renjana dengan sedikit menyindir.
"Kau ingin mengonsumsi soju lagi?" Tanya Kapten Sean yang gegas berjalan menuju mereka, kemudian Praka Renjana pun mengulum senyum kikuk.
"Kapten, aku hanay becanda. Kau jangan terlalu serius menanggapiku. Nanti kau cepat tua, apalagi kau belum menikah dan merasakan kenikmatan dunia," lagi. Kalimat akhir membuat Kapten Sean menatap Praka Renjan dengan kemarahan.
Kepala prajurit tersebut memang begitu konyol, dia berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Apa yang dikatakan oleh Praka Rinjani benar adanya. Aku tak ingin mendapat bintang lagi, apalagi aku begitu mengantuk hari ini. Sebab keteledoranku beberapa hari yang lalu, aku mendapat bintang itu." Pratu Nara Dega bersua menceritakan dirinya. Kemudian ia mulai menguangkan bedak tabur ke dalam wadah yang sudah tersedia.
Nora pun juga ikut duduk di sebelah Kapten Sean. Ia tampak seperti anak angsa yang di mana pun induknya pergi maka akan mengikuti. Hal itu juga dirasakan oleh Kapten Sean. Seperti tadi misalkan, saat dirinya hendak ke kamar kecil pun Nora Saukilla bersikukuh untuk mengikutinya.
"Aku boleh ikut kan, Ahjussi?"
"Ya, tentu saja."
"Terima kasih, Ahjussiku."
Permainan terus bergulir, gantian Nora Saukilla yang memberikan tebakan pada kelima pria tersebut. Bukannya fokus pada permainan, Kapten Sean justru malah lekat mengamati paras perempuan tersebut.
'Tatapan mata itu benar-benar tidak asing'
"Sekarang gantian aku yang akan bermain. Kau Ahjussi nakal, kenapa ada di sini? Aku tidak mau kau ikut menebaknya!" Celetuk Nora Saukilla seraya bersedekap dan memajukan bibirnya beberapa senti ke depan.
"Aku juga males bermain denganmu!"
"Aku tidak mau berteman dengan Ahjussi nakal!" Loroh Nora lagi, mimik wajahnya khas layaknya anak kecil yang sedang marah.
"Apa persamaan antara uang dengan rahasia?"
keempat pria tersebut tampak berpikir begitu juga dengan Praka Renjana. Dia diam-diam juga Mulai memikirkan jawabannya. Nora Saukilla tampak tertawa, ia begitu bahagia dengan itu semua. Apalagi sejak tadi Nora terus bergelayut manja pada sosok Kapten Sean.
Praka Renjana pun menyahut "Kalau uang itu jelas untukku alat pembayaran, sedangkan rahasia, itu jelas antara kamu dan juga Kapten Sean. Iya kan, Nora?"
"Dasar kau Ahjussi mata duitan, nakal! Aku tidak mau bicara denganmu!"
"Hei kau! Dasar perempuan aneh!"
Saukilla pun segera menjulurkan lidahnya ke arah Praka Renjana.
"Tidak! Jawabanmu salah!"
Kemudian, di sisi lain Pratu Chic Ko juga memberikan sebuah jawaban pada tebakan yang diberikan Nora.
"Aku tahu Nora?"
"Kau tahu, Ahjussi?"
"Ya. Jawabnya adalah, kalau uang untuk pembayaran, kalau rahasia untuk disimpan."
Namum Nora Saukilla pun bergeleng kepala seraya menggoyangkan jari telunjuknya pertanda tidak.
"No ... no ... no ... no! salah, bukan itu jawabannya, Ahjussi."
Kemudian Nora pun menatap ke arah Kapten Sean yang tampaknya Ia juga sedang berpikir.
"Kalau jawabanmu apa, Ahjussi?"
"Mungkin jawabnya adalah, uang merupakan lembaran kertas sedangkan rahasia itu berisi sebuah ungkapan."
"Kau juga salah, Ahjussi. Kalian semua salah!" loroh Saukilla.
"Kalau begitu apa, jangan bilang kau membuat sebuah tebakan tapi tak tahu jawabannya!" lagi-lagi Praka Renjana menyahut. Hal itu membuat Nora geram dan marah.
"Jawabnya adalah ... sama-sama tidak bisa dipegang!" Nora Saukilla yang saat itu tampak begitu bahagia pun tertawa cekikikan.
Mungkin karena ia lelah sehingga Nora pun ketiduran di pangkuan Kapten Sean.
Ia meringkuk bak anak bayi yang tengah kelelahan dan tidur dengan nyaman. Mereka yang melihat hal itu pun tak percaya, bagaimana bisa orang asing begitu menurut pada Kapten mereka.
Captain Sean yang yang sedikit canggung dan kikuk pun menatap lekat wajah perempuan itu. Awalnya ia ingin memindahkan Nora, tapi dia menyadari sesuatu.
"Kapten Sean, lebih baik kau pindahkan saja perempuan ini ke kamar. Kasihan, udara di sini begitu dingin," tutur Pratu Chic ko. Kapten Sean pun gegas membopong tubuh Nora untuk dibawanya ke dalam kamar pribadi.
Selama berjalan untuk menuju kamar Kapten Sean, ia menyadari adanya sesuatu yang tak asing yaitu adalah sebuah nama yang tersemat di dalam kalung Nora.
Kalung itu memiliki sebuah kalimat yakni Nora's Ekualen. Kapten Sean jadi ingat dengan nama restoran yang pernah Bundanya katakan. Restoran itu adalah restoran tempat yang menjual makanan favoritnya, bertepatan di Gajah Mungkur Semarang,.kota atlas.
Kapten Sean pun mulai menidurkan Nora, kemudian menyentuh bandul kalung tersebut.
"Nora's Ekualen? apa ini hanya kebetulan, kenapa aku tidak asing dengan nama ini.Bukankah ini merupakan nama restoran langganan Bunda yang ada di Semarang sana."
Kapten Sean terus membatin seraya berpikir, tapi lagi-lagi ia terus menepis hal tersebut. Rasanya itu tidaklah mungkin.