"Mega mendung. Kakak tahu 'kan daerah mana yang identik dengan batik corak Mega Mendung?" selorohnya tengil.
Gadis itu tersenyum kecut mendengar jawaban si laki-laki di hadapannya. Sedikit memutar bola matanya, ia menuliskan nama Kota asal si laki-laki –Cirebon – di kolom daerah asal pada formulir di hadapannya.
"Wow! Kakak sangat jago menebak. Keren!" seru laki-laki yang sudah hampir tiga puluh menit duduk di depannya. Hanya pembatas meja coklat khas anak sekolah yang membatasi antara dirinya dan si laki-laki.
"Oke, silakan tanda tangan di sini dan di sini," ujar gadis itu sambil menunjuk kolom tanda tangan pada formulir.
"Baiklah kakak cantik," cengirnya.
Ia lalu menekan tombol di ujung pena dengan jempolnya lalu menandatangani fomulir sesuai dengan arahan kakak tingkat di hadapannya.
Ya! Hari ini, Mega tengah menjaga stand pendaftaran kegiatan di luar kampus yakni Pecinta Alam. Seharusnya ia sama sekali tak ada kaitannya dengan kepanitiaan, tapi berhubung Gea –yang seharusnya menjaga stand – sedang demam, maka Megalah yang menjadi sasaran ketua organisasi untuk menggantikan Gea menjaga stand.
"Tapi kok, di sini ada yang kurang jelas ya, kak?" ujarnya dengan raut wajah nampak bingung. Laki-laki itu menunjuk salah satu pojok kertas pada Mega.
Dahi Mega mengkerut. Ia merasa semua informasi pada formulir sudah ia jelaskan pada laki-laki di hadapannya itu.
"Masa' sih? Bagian mana yang belum jelas?" tanya Mega heran.
"Ini loh, kok enggak ada nomer whatsapp kakak cantik."
Sontak Mega merengut bukan kepalang mendengar rayuan receh dari adik tingkatnya itu.
"Enggak ada! Sudah sana kamu minggir! Di luar sana masih banyak yang mengantri!" usir Mega ketus.
"Jangan jutek gitulah kak, nanti cantiknya hilang loh," kelakar laki-laki itu yang sedetik kemudian mendapat timpukan kertas yang diremas oleh Mega.
Laki-laki itu pun akhirnya kabur sambil cengengesan.
"Aish … sial banget sih hari ini. Sakit perut hari pertama datang bulan ditambah lagi harus jaga stand pendaftaran. And for closing of my mesury, ketemu ceceunguk sialan itu. Kesal!" rutuk Mega sambil membereskan tumpukan formulir yang sudah diisi mahasiwa.
Mega menggaet tas selempangnya sambil mendekap tumpukan kertas formulir ke arah ruang senat dengan langkah gontai. Ada rasa enggan ia memasuki ruangan itu, mengingat ada seseorang yang yang saat ini sangat ia hindari.
Belum sempat tangan Mega terjulur membuka tuas pintu, tubuhnya tiba-tiba saja kehilangan keseimbangan akibat sebuah hentakan yang sangat keras pada tubuhnya.
"Aduh!" pekiknya.
Mega terjerembab dengan lembaran kertas yang berserakan di sekitarnya. Ia memegangi pantatnya yang mendarat keras pada lantai depan ruang senat.
"Maaf kak, aku enggak sengaja," ujar si penabrak.
"Kamu?!"
"Eh, kakak cantik lagi," sahutnya.
"Kamu lagi, kamu lagi! Astaga, mimpi apa aku semalam. Hiss … " ketus Mega saat tahu yang menabraknya adalah laki-laki yang nama kotanya ia sebut sebagai Mega Mendung.
"Sini aku bantu kakak berdiri," ujarnya sambil menjulurkan tangan kanannya di depan wajah Mega.
"Enggak usah! Sana kamu pergi jauh-jauh! Bikin bad mood aja!" gerutu Mega sambil memegang pantatnya yang nyeri.
Ia menyambar sodoran tumpukan formulir yang berhasil dikumpulkan sebagian oleh laki-laki itu.
"Sori kak. Aku enggak sengaja," ujarnya merasa bersalah.
"What ever!" ketus Mega sambil mengibaskan telapak tangannya, lalu melengos masuk ke dalam ruang senat.
"Ah, sial!" umpat Mega tanpa sadar.
"Maaf mengganggu kalian, a-aku akan keluar sekarang," ujar Mega setelah berbalik badan.
"Tunggu! Ehm .. enggak kok. Silakan masuk."
Dengan ragu-ragu, Mega membalikkan badannya dan berjalan mendekat setelah yakin bahwa pemandangan di depannya sudah berubah menjadi normal. Suasana canggung meliputi mereka bertiga. Bertiga? Ya! Di dalam ruangan itu tak hanya ada Mega dan ketua organisasi Mapala, tapi juga ada satu gadis yang nampaknya taka sing di mata Mega. Dia adalah adik tingkat yang pernah ia pergoki berciuman dengan Rio –mantan pacarnyasekaligus ketua organisasi Mapala di kampusnya.
"Aku mau menyerahkan formulir," tandas Mega lalu meletakkan tumpukan formulir di atas meja.
Tanpa ada aba-aba lagi, Mega langsung membalikkan badan dan berjalan keluar dari ruangan mengerikan itu. Ia tak menggubris sebuah tatapan penyesalan di mata Rio.
Bagi Mega yang anak rumahan, cinta itu begitu indah. Ia tak pernah merasakan manisnya cinta sejak bangku sekolah. Orang tuanya yang sangat ketat dan selektif dalam pertemanan, membuat Mega tak bisa bergaul sembarangan layaknya teman-teman lainnya.
Entah apa yang menjadi ketakutan bagi orang tua Mega sehingga tidak membiarkan Mega bergaul layaknya anak jaman sekarang. Hari-harinya semasa sekolah dulu berkutat seputar sekolah dan bimbingan les saja. Hanya ari minggu yang dibiarkan sedikit lebih longgar, itupun selalu ditemani oleh mamanya pergi jalan-jalan hangout kemanapun.
Mega tidak merasa rishi sedikitpun. Ia merasa nyamannyaman saja, hingga menginjak bangku kuliah, ia bertemu dengan pangeran berkuda putih – menurut penglihatannya kala itu. Rio, mampu menaklukkan hati polos Mega. Seorang kakak kelas yang sangat aktif berorganisasi, mahasiswa Pecinta Alam. Kala itu adalah kali pertama Mega berinteraksi langsung dengan Rio yang tengah meng-ospek dirinya yang merupakan mahasiswi baru.
Selang satu bulan dari masa orientasi mahasiswa, Rio langsung menyatakan perasaannya pada Mega. Satu tahun berlalu penuh kebahagiaan –setidaknya itulah yang dirasakan Mega. Mereka pun akhirnya pacaran – meski harus diam-diam karena takut diketaui oleh orang tua Mega. Namun sayangnya, manisnya cinta Mega pada Rio tidak mampu mengalahkan perjuangan tahun keduanya. Semua berawal dari alasan-alasan sibuk yang dilontarkan Rio setiap kali Mega ingin bertemu.
Awalnya, Mega memaklumi karena alasan yang dilontarkan Rio adalah karena ia tengah sibuk menghadapi penyusunan skripsi. Namun seperti apapun sebuah bangkai yang disembunyikan pastilah akan tercium juga.
Hari itu hujan turun sangat deras, ia berniat untuk menunggu hujan hingga reda dalam seuah kelas yang kosong. Tapi sialnya, mata Mega malah menyaksikan sebuah adegan yang mampu membakar hati dan jiwanya. Mega memergoki Rio tengah mencium seorang gadis di sebuah ruangan kelas itu.
Tidak dapat dibendung lagi amarahnya, hingga ia meluapkannya dalam sebuah teriakan yang mengejutkan keduanya disambung dengan sebuah tamparan yang melayang di pipi kiri Rio. Sejak saat itu. Mega berjanji tidak akan lagi membuka hati pada laki-laki manapun.
Terlalu sakit baginya mengenal cinta. Lelah, bagi batinnya. Hari ini adalah genap lima bulan pasca putus dengan Rio, dan Mega harus bertemu lagi dengan laki-laki brengsek itu, dengan situasi yang sama. Mega kesal sekali!
Mega menekan aplikasi ojek online pada ponselnya. Hari ini ia tidak dijemput oleh ayahnya. Biasanya, ayahnya selalu siap mengantar jemput Mega ke kampus. Tapi kemarin ayahnya pergi dinas keluar kota sehingga, Mega terpaksa harus pulang dengan menggunakan kendaraan beroda dua berbasis online itu.