Namaku Aisyahrani Lathifah, gadis berusia tujuh belas tahun yang imut dan mengemaskan, semenjak orang tuaku berpisah waktu aku masih duduk di sekolah dasar aku harus tinggal tanpa orang tua yang lengkap lebih tepatnya aku tinggal berdua bersama papa di rumah yang berukuran sangat besar. Dan sekarang ini lah aku, anak yang haus akan perhatian dan kasih sayang, oh iya di sekolah aku juga tak mempunyai teman oleh sebab itu aku amat kesepian.
Andai waktu bisa diputar, tak akan aku biarkan kata cerai terlontar dengan mudah di mulut tipis mama, dan mungkin aku masih bisa merasakan enaknya mempunyai keluarga yang lengkap seperti teman-teman seusiaku tetapi sayangnya itu hanya lah andai-andai yang tak akan pernah jadi nyata.
Aku bersekolah di salah satu sekolah Internasional, sekolah ini sangat megah. Di sini bersekolah semua siswa-siswi dari berbagai agama dan negara maka tak heran bahasa inggris termasuk bahasa wajib di sekolah ini.
Mungkin sebagian orang yang mengetahui jika aku bersekolah di sana akan berkata 'wah' tetapi tidak dengan diriku, di sekolah ini aku amat tersiksa, bagiku apalah sebuah sekolah mahal jika batinku tersiksa, sekolah disini tidak membuat aku bahagia. Setiap hari aku selalu di bully, hanya karena kebencian dari seorang sahabat lama.
"Cewek aneh!" panggil Yuri.
"Ada apa Yur?" tanyaku menatapnya.
"Tolong pesanin jus jeruk untuk gua terus bawa ke sini," suruh Yuri membalas senyumanku dengan senyum liciknya.
"Iya, tapi uangnya mana?" tanyaku singkat sembari menadahkan tangan.
"Nanti gua kasih, lu kagak percaya amat sama gua udah sana pergi!" suruh Yuri mendorong punggungku dengan kasar.
"Iya," sahutku segera berjalan dengan tangan mengepal.
"Eh-eh bentar lu jangan pergi dulu dong, gua belum pesen," ucap Viola memanggilku.
"Kamu mau pesen apa? Ayo cepat," tanyaku dengan agak malas.
"Eh lu udah berani yah sekarang?!" tanya Yuri menarik rambutku dengan kasar.
"Aduh sakit Yuri ma-maaf-maafinaku," rintihku meminta maaf.
"Lu janji dulu kagak bakal berani sama kita-kita kalau nggak---"
"Iya-iya maaf," ucapku.
"Bagussss." Yuri melepaskan genggamannya dari rambut panjangku.
Aku mengelus rambutku dan menghela nafas menahan amarah yang ingin kukeluarkan, sungguh ingin sekali aku melawan Yuri dan teman-temannya tetapi di balik itu ada rasa rindu ingin kembali bersahabat dengan Yuri oleh sebab itu aku masih sabar meski diriku selalu diinjak-injak olehnya.
"Aisyah gua pesen jus mangga dan jangan lupa snack yang pedesnya wow," pesan Viola.
"Lu dengerkan kata Viola? Yaudah sana pergi!" usir Yuri.
Tak lama kemudian aku datang membawa pesanan jus jeruk Yuri kepadanya dengan hati-hati, berharap Yuri mau berteman denganku atau mungkin setidaknya dia tak lagi membullyku seperti ini.
"Ini Yur," ucapku menyodorkan jus jeruk dan menyunggingkan sebuah senyuman tulus berharap hati Yuri tersentuh oleh senyumanku.
"Makasih," ucap Yuri meminum jus itu.
"Iya sama-sama," balasku.
"Punya gua mana kok tidak ada sih? Jangan bilang lu kagak beliin punya ayo jawab."
"Udah aku pesen tadi kok Vio tapi tadi mangganya lagi nggak ada jadi aku pesenin jus jeruk seperti Yuri," ucapku takut-takut.
"Ah menyebalkan!" Viola kesal.
"Oh iya nggak apa-apa kok, kamu juga Viola harusnya terima aja apa yang ada bukan marah seperti ini," sahut Yuri kembali meminum jus jeruk miliknya.
Tak lama kemudian jus jeruk tersebut di siram ke wajahku dengan kasar.
"Upsss Sorry," ucap Yuri diseratai gelak tawa Viola.
"Yuri kenapa kamu jahat?" tanyaku sambil menangis dan menggenggam erat sebuah benda.
"Lah gua kira lu beneran mau belain dia Yur ternyata kagak." Viola tertawa melihat muka dan rambutku yang basah oleh jus jeruk.
"Sampai kiamat pun gua kagak bakal bisa baik ke nih cewek, dia udah bikin gua menderita."
"Yur boleh gua tambahin kagak? kayanya masih kurang wow deh," usul Viola.
"Silahkan, terserah lu dah," jawab Yuri.
"Okeeeee," ucap Viola menuju tong sampah yang tak jauh dari posisi kami berada.
Viola mengambil tong sampah itu dan tersenyum licik lalu berjalan ke arahku. Viola menuangkan isi tong sampah ke rambutku, Yuri tertawa semua siswa-siswi yang melihat hanya diqm membisu karena tak ada yang berani melawan Viola, sang penguasa sekolah.
Aku semakin menangis dan mempererat genggamanku pada suatu benda itu, Yuri yang melihat gelagat anehku merasa penasaran dengan benda yang aku genggam.
"Apaan tuh?" tanya Yuri menelengkan kepala.
"Nggak ada apa-apa," jawabku semakin mempererat genggaman dan kali ini ada rasa takut akan kehilangan benda yang kugengam.
"Ayo sini berikan!" suruh Yuri mencoba merampas benda yang sedari tadi erat kugenggam.
"Jangan ambil ini Yuri aku mohon sama kamu ini sangat berharga untukku," pintaku.
"Udah nggak usah buang-buang waktu untuk benda begituan Yur, mending kita capcus ke kelas lumayan kan bisa main hp."
"Tumben banget lu pinter, biasanya lemot banget."
"Viola gitu loh, yaudah ayo dong," ajak Viola.
"Bentar gua mau ngasih tahu sesuatu ke nih cewek supaya dia kagak macam-macam dengan kita lagi."
"Huft oke dah."
"Eh, lu tahu kagak kalau gua tuh benciiii banget sama lu dan gua bakal bikin hidup lo menderita selamanya sampai lu lebih milih mati dari pada sekolah di sini, " ancam Yuri menatapku dengan kebencian yang amat dalam.
"Dengar tuh!" ucap Viola teman Yuri mendorongku hingga terjatuh ke lantai.
Yuri adalah gadis tinggi semampai dan kulit seputih salju membuat Yuri menjadi sangat cantik dan menawan, bukan hanya itu saja Yuri juga merupakan gadis yang sangat populer di sekolah ini. Dan yang bersamanya tadi adalah Viola gadis yang tak kalah cantik dari Yuri, Viola dan Yuri sudah bersahabat sedari kecil karena orang tua Viola bekerja di perusahaan milik keluarga Yuri.
Kecantikan Yuri menbuat seorang cowok bertekuk lutut di kakinya tetapi ... dulu ada seorang cowok yang menolak Yuri dan hal tersebut membuat Yuri marah, tidak pernah ada seorang cowok pun di dunia ini yang bisa kebal dari pesona seorang Yuri.
Seorang cowok itu adalah Maxime, cowok tampan dan berkarismatik, dengan satu kedipan mata semua cewek akan jatuh dipelukannya, termasuk Yuri. Maxime adalah alasan kenapa Yuri sangat membenciku bahkan sampai memusuhiku seperti ini.
"Iya," jawabku mulai menangis.
"Hahaha dasar cengeng di dorong dikit aja udah nangis," ejek Yuri diiringi gelak tawa Viola.
"Selamat nangis Aisyah, byeeee gua cabut dulu." Viola menginjak kakiku dan membuatku meringis kesakitan.
"Aduhhh," rintihku.
Yuri dan Viola segera enyah dari tempat itu, semua siswa-siswi yang menyaksikan pun satu persatu juga pergi meninggalkan tempat itu.