Bab 9
Genggam Duniamu (2)
Berapa waktu yang telah kujalani. Rasanya aku tak menghitung lagi hari-hariku.
Aku sedang duduk di serambi menikmati kenyamanan di gazebo. Dulu sekali saat aku kecil aku senang sekali duduk di sini dan bahkan sampai tertidur.
"Jadi ingat saat loe nangis sampai ketiduran!" suara itu mengusik kenyamananku.
Kulihat sekilas wajahnya. Ah Juna.
"Iya karena mas Yudi dan Mas Bimo. Loe mengingatnya!" aku ikut mengenang.
"Loe cengeng banget waktu itu." Ucapnya dan seulas senyum mengembang.
"Dan loe enggak berusaha untuk bela gue! Payah!" ucapku sambil mencibir.
"Hah. Loe juga tahu gue ikutan dibully sama mereka berdua!" belanya dan dia tanpa permisi ikut duduk di bangku denganku.
"Bilang aja loe menyelamatkan diri sendiri!" kecamku.
"Tidak juga!" ungkapnya dan imajinya seolah melayang jauh ke masa lalu.
Aku juga hanya terdiam. Memang kadang canda mas Bim dan Mas Yudi dulu berlebihan.
Aku dan Juna yang jadi sasaran saat kami mengobrol berdua seperti ini. Padahal yang kami bahas adalah kehidupan sekolah kami.
Makanya Juna selalu menghindariku saat kedua masnya mulai jahil pada kami.
"Kudengar loe keliling dunia Jun?" tanyaku membuka obrolan kembali.
"Ya begitulah!" jawabnya.
"Ke mana saja?" tanyaku antusias.
"Ke mana kaki ini bisa melangkah Kai!"
"Sok puitis loh!"
"Tunggu di sini gue telah membuat beberapa album tentang perjalananku." Ucapnya lalu bergegas ke dalam.
Aku memandang sosoknya. Juna berperawakan tinggi namun kecil seperti mas Bim. Tapi kulitnya sedikit lebih coklat dari mas Bim. Mungkin karena efek perjalanannya.
Wajahnya tampak berseri penuh kedamaian.
Juna lebih terang dari mas Bimo. Dia terlihat lebih bersemangat dan antusias walaupun pembawaannya kalem dan lembut. Juna adalah sosok Mas Bimo yang kukenal dulu. Bisakah dua kepribadian bertukar tempat?
"Hai. Melamuni apa?" sentak Juna.
Aku hanya tersenyum penuh misteri.
"Mana albumnya?" tanyaku mengalihkan perhatian.
Juna dengan semangat membuka lembar albumnya. Dia menjelaskan berbagai tempat yang disinggahinya.
Sudut-sudut di penjuru dunia. Yang penuh dengan beragam warna dan keindahan. Aku terpukau dan takjub. Mesopotamia, Istambul, Nil, Taj Mahal, Nabawi, Mekah, Nepal, Banglades, Bangkok dan masih banyak lagi tempat-tempat yang menakjubkan.
"Korea? Jepang? China?"
Tanyaku tak menemukan satu pun tempat di negara itu.
"Masih dalam proses pencetakan Nona!" katanya menerangkan.
"Berapa ribu foto yang berhasil loe abadikan Jun?"
"Banyak. Bisa ribuan. Ini sudut yang indah. Loe juga harus lihat gambarku di sisi kemanusiaan. Loe mau liat juga?" katanya antusias.
"Tentu!" kataku sambil melihat wajah bahagianya, ekspresi yang tidak pernah dia tunjukan padaku selama ini. Kesenangan dan kebahagiaannya terpancar jelas di wajahnya.
Seolah semua dunia berada di dalam genggamannya. Juna dengan bahagia menjelaskan detail-detail gambar itu bisa dia jepret dalam bidikan SLR nya.
Aku tersentak dan kembali mendengarkan penjelasannya. Apakah hanya perasaanku atau angganku saja saat aku kembali menekuni albumnya, dia memperhatikanku.
"Jadi kenapa loe pakai kucing-kucingan dengan papa kalau niatan loe Cuma untuk mengambil gambar-gambar indah ini. Aku pikir papa tak akan keberatan?" tanyaku dan Juna tersentak saat aku memergokinya masih memandangiku.
"Hem." Juna mencari kata yang tepat. " Gue Cuma takut disuruh pulang!" katanya sambil senyum tipis. Saat aku memerhatikannya wajah itu begitu murung dan tampak menyembunyikan sesuatu. Apakah mereka terbiasa menyembunyikan kesedihan?
Kenapa mereka mencoba bersikap semua baik-baik saja padahal ada beban berat yang menggelayuti hati dan pikiran mereka.
Kata-kata mereka memang bisa mendustai semua orang tapi pancaran mata mereka tak pernah belajar untuk menipu.
Mas Bimo dan Juna.
Apa yang terjadi pada mereka?
***
Sebulan dalam kenangan. Semenjak datangnya Juna, entah mengapa Mas Bimo tak banyak berulah. Seperti penjelasannya dia sedang berusaha membujuk papa agar diizinkan tinggal di apartemen. Aku sendiri sangsi apakah papa akan mengizinkannya. Mengingat betapa tegasnya beliau apalagi ini menyangkut tentang mas Bimo, yang notabenenya pernah melakukan kesalahan. Walaupun aku tidak begitu mengetahui apa kesalahannya itu. Tapi aku berpendapat mas Bimo akan melalui jalan yang tak mudah.
Aku mengenakan dress sederhana dan bersiap menuju kediaman mas Yudi dan Mbak Farah di daerah Kelapa Gading.
Kali ini aku dan Bimo harus satu mobil karena Papa dan mama memilih Juna sebagai sopirnya.
Suasana begitu hening dan tenang tak ada dari satu pun dari kami yang mencoba membuka suara. Yang maklum saja aku dan mas Bimo jarang bicara. Sekalinya kami saling bicara hanya rasa amarah yang datang di sikapnya mas Bimo dan rasa kesal yang akan datang padaku. Yah jadi daripada aku kesal lebih baik bukannya aku diam.
Malam Sabtu adalah awal akhir pekan, hari yang dipilih mas Yudi untuk mengadakan acara makan malam. Seperti inilah jadinya, kami terjebak dalam kemacetan yang panjang mengingat hari Jumat petang adalah puncak kemacetan ibu kota.
Keheningan yang tadi tercipta tiba-tiba harus sirna karena Mas Bimo berkali-kali mengumpat karena mobilnya berjalan layaknya keong.
Ternyata dia gampang sekali marah bahkan untuk hal semacam kemacetan yang memang rutin di kota sebesar ini. Dia begitu tidak sabar dalam menghadapi segala hal. Aku berpikir bahwa mungkin saat Tuhan membagi jatah kesabaran padanya dia enggan mengambilnya. Sehingga dia suka sekali mengeluh dan mengumpat.
Aku mengamatinya dan tersenyum sekilas sebagai hiburan untukku sendiri mengalihkan mataku dari layar Hp.
"Jangan meledek!" katanya kesal.
"Maaf!" ungkapku lalu kembali menekuni Hp ku.
*
Semua telah berkumpul dan meja makan juga telah siap dengan berbagai menu masakan.
"Karena Juna sudah lama tidak memimpin doa jadi sekarang giliranmu Juna!" perintah Kakek.
Juna hanya tersenyum dan mulai menundukkan kepalanya.
"Tuhan puji dan syukur kami pada Mu. Sedikit atau banyak rezeki yang Kau berikan untuk kami. Lama ataupun singkat waktu yang Kau berikan untuk kami berkumpul seperti ini. Adalah anugerah yang selalu dan akan selalu kami... kami nikmati dengan penuh bahagia. Tuhan... ketika Kau berikan berkah melimpah jangan Engkau titipkan kepada kami keangkuhan dan kesombongan. Jangan pula Engkau biarkan kami mendongak terlalu tinggi. Tetap berikan kelapangan di hati kami bahwa yang Kau berikan pada kami.... hanyalah titipan-Mu. Seberapa apa pun itu jangan biarkan kami terlalu larut dan lupa. Jika suatu saat.... Kau mengambil titipan-Mu dari kami, yakinkan kami Tuhan, bahwa itulah.... yang terbaik bagi kami. Terima kasih Tuhan, atas semua berkah yang melimpah. Amin" Rapal Juna panjang suaranya menjadi serak di kalimatnya yang terakhir. "Amin."
Juna mengusap wajahnya ada bulir air mata yang mengenangi matanya. Abi yang duduk di sampingnya menepuk bahunya.
Semua mengamatinya tampak terkejut dengan doa yang baru diucapkan Juna. Aku sendiri merasa doa itu menyimpan maksud tersembunyi.
Juna kemudian kembali mengangkat wajah dan memberikan senyum hangat.
"Selamat makan semua!"
Lalu semua memulai makan dengan tenang.
Dunia seperti apa yang diharapkan setiap orang?
Dan manusia yang mencoba menggenggam dunianya dengan jalan dan takdirnya sendiri apakah mereka semua akan menemukan apa yang ingin digenggamnya.
Karena aku tahu pada hakikatnya tak ada satu pun manusia yang dapat dengan sempurna menggenggam dunianya. Semua akan kembali ke tempat asalnya.
Lalu kenapa Juna harus merapal doa semacam itu?