"Kita harus kembali," kata Retha.
Retha kemudian mengemasi barang-barangnya dan menyuruh Ariesta untuk segera berganti pakaian.
Tak lama kemudian, Ariesta keluar dari kamar. Ia telah mengenakan lagi gaun pestanya. Melihat Ariesta yang sudah siap, Retha pun mengajak Ariesta untuk pergi ke istana lagi.
Mereka menaiki kereta kencana seperti biasanya. Sepanjang perjalanan, mata Ariesta hanya memandang ke luar sedangkan bibirnya diam membisu.
"Dengar, Ariesta. Kau harus menuruti kata ibu. Selama di sana, jadilah gadis yang penurut," ujar Retha.
Retha memegangi dagu Ariesta dan menatapnya tajam. Selepas Ariesta mengangguk, Retha melepaskan genggamannya di dagu Ariesta.
"Bagus. Itu baru namanya anak Ibu," ucap Retha.
Kereta kencana telah tiba di halaman depan istana. Sang kusir pun menyilakan Retha dan Ariesta turun dari dalam kereta kencana. Mereka berdua langsung menaiki anak tangga dan berada di dalam aula pesta.
"Sini. Jangan jauh-jauh dari Ibu," ucap Retha menyeret tangan Ariesta.
Diajaknya Ariesta untuk menemui sang raja. Setibanya di depan singgasana raja, Ariesta dan Retha membungkuk untuk memberikan penghormatan kepada Pierre.
"Kami datang kembali, Paduka Raja. Maaf telah menunggu lama," ujar Retha.
"Tidak masalah. Tapi apakah dia sudah setuju dengan apa yang telah kita janjikan?" tanya Pierre yang menunjuk ke arah Ariesta.
Dengan senyum yang menyungging lebar di bibir, Retha mengangguk. Kali ini dengan kemantaban dalam dirinya, Retha memegang pundak Ariesta.
"Dia sudah setuju, Baginda Raja," ucap Retha.
Retha menaikkan dagu Ariesta agar putrinya itu bisa menghadap lurus menatap Pierre. Namun yang terjadi justru Ariesta terlihat enggan untuk menatapnya. Berulang kali dia mengalihkan pandangan agar tak menatap ke arah Pierre.
"Bagus jika Ariesta sudah setuju. Lebih baik kita segera melangsungkan pertemuan antara keluargamu dan keluargaku," ujar Pierre.
"Dengan senang hati, Baginda. Kapankah pertemuan itu akan digelar?" tanya Retha dengan binar mata yang menyala-nyala.
Semangat Retha rasanya tak akan padam hanya karena mendengar ajakan pertemuan keluarga Pierre dengan dirinya. Rasanya Retha sudah tak sabar untuk bertemu dengan seluruh keluarga Pierre.
"Bagaimana jika besok saja saat diadakan perjamuan makan malam di istana? Pastikan hanya kerabat saja yang datang," kata Pierre.
"Baik, Baginda. Akan saya usahakan untuk menemui seluruh keluarga Paduka Raja," balas Retha.
Pierre tersenyum dengan enggan. Lekuk senyum di bibirnya tergurat dengan cukup kaku. Tak simpel, dia pun menatap kepada Ariesta, calon istrinya tersebut.
"Kau ingin berdansakah, Riesta?" tanya Pierre.
Mata Ariesta langsung menatap Pierre. Ia menggeleng dengan cepat untuk menolak ajakan sang Raja.
"Tidak, Paduka. Saya ingin di sini saja melihat orang-orang yang sedang berdansa di bawah sana," jawab Ariesta.
"Barangkali kau ingin berdansa, kau bisa mengajakku, Ariesta," kata Pierre.
Ariesta menggelengkan kepalanya. Seolah menjadi tanda bahwa ia menolak ajakan sang Raja. Pierre yang jelas-jelas tahu bahwa ajakannya ditolak, segera menelan ludah.
Walau bagaimanapun Pierre tetap mengarahkan pandangan kepada Ariesta yang ada di depannya. Pierre melangkahkan kakinya untuk berdiri pada posisi yang sejajar dengan Ariesta.
Kedua mata Pierre memandang ke arah Ariesta. Pandangan Pierre sangat dalam dan menghanyutkan. Seolah tak bisa berbohong jika Pierre memang sudah jatuh hati kepada Ariesta, sosok perempuan dari keluarga biasa yang sebenarnya tidak setara dengan derajat keluarganya.
Melihat adegan yang cukup dilematis itu, akhirnya Retha memutuskan untuk berpaling. Retha mengarahkan pandangannya kepada Ariesta.
"Ibu tinggal dulu. Baik-baiklah kau dengan Baginda Raja," ucap Retha.
Setelah mendapat anggukan dari Ariesta, Retha membalikkan badan. Ia segera melangkah pergi menuruni anak-anak tangga. Kini tinggallah Ariesta berdua dengan Pierre.
"Kau sengaja mendiamkanku? Semenjak hari itu kau tidak lagi menemuiku," kata Pierre.
Tatapan mata Pierre tertuju kepada Ariesta. Dahinya berkerut sangat dalam, seolah menginginkan penjelasan dari Ariesta.
"Aku tidak menemuimu karena aku tahu kau seorang Raja," balas Ariesta.
Pierre tersenyum kaku setelah mendengar balasan dari Ariesta. Kendati mendapat jawaban yang sangat dingin, tetapi Pierre tidak sakit hati pada gadis yang ada di sampingnya tersebut. Dia menyadari jika Ariesta bersikap begitu hanya untuk menjaga jarak darinya.
"Tidak ada yang salah kan jika seorang Raja menyukai gadis sepertimu?" tanya Pierre.
Ariesta tersentak untuk beberapa saat. Ia segera menoleh dan menghadapkan wajahnya kepada Pierre. Alis kanannya naik, senyum di bibirnya hilang. Benar-benar pertanyaan Pierre membuat perasaannya menjadi tidak senang.
"Tentu saja salah. Tidak sepantasnya seorang Raja sepertimu menyukai seseorang sepertiku," kata Ariesta.
"Memangnya apa yang salah? Jika hati sudah kau miliki, lantas untuk apa lagi kau ragu?" lanjut Pierre.
Ariesta menghela napas. Matanya sempat mengerling ke arah lain sebelum akhirnya terhenti untuk menatap pada Pierre.
"Memang susah untuk bicara pada seseorang yang keras kepala sepertimu," ucap Ariesta.
Ariesta berpaling muka. Ia mengalihkan pandangannya kepada orang-orang yang sedang berdansa di lantai bawah. Hatinya berhasrat untuk membaur bersama mereka. Namun sebelum itu, Ariesta menatap pada Pierre. Ia berdecak sebelum berkata-kata.
"Aku ingin ke bawah. Kita sudahi saja pembicaraan dingin kita ini," kata Ariesta.
Ariesta segera menjinjing gaunnya dan melangkahkan kaki selangkah di depan Pierre. Namun bukannya rela melepas, Pierre justru menahan langkah Ariesta. Dia mencengkram tangan Ariesta hingga membuatnya mundur selangkah ke belakang.
"Jangan lupa datang besok malam. Ada jamuan makan malam penting di istana," bisik Pierre lirih.
Setelah berbisik di depan wajah Ariesta, Pierre lekas memasang senyum lebar di bibir.
"Aku tidak akan datang. Lepaskan aku, kau hanya buang-buang waktuku, Baginda!" kata Ariesta dengan nada yang sedikit tegas.
Setengah menyeringai, Pierre pun berkata, " Jika kau tak datang, kau harus menghadapi risikonya. Jangan sampai kau membuat hati Raja kecewa," ujar Pierre.
Pierre melepas cengkramannya dari tangan Ariesta. Seringai dan tatapan tajam Pierre seolah mengintimidasi Ariesta. Gadis belia itupun segera mendecih sebal. Ia kemudian segera berbalik dan menuruni anak tangga dengan cepat.
Setibanya di lantai bawah, Ariesta segera membaur bersama para tamu undangan yang lain. Namun sayangnya, Retha mengetahui jika putrinya sudah melarikan diri dari sang Raja.
Retha bergegas menghampiri Ariesta yang sedang asyik menikmati alunan musik. Segera ditariknya lengan tangan putrinya tersebut.
"Kenapa kau di sini?" bisik Retha.
"Aku hanya ingin menenangkan diri, Ibu. Di sini lebih bisa membuat hatiku tenang ketimbang di sana," kata Ariesta.
"Sudah Ibu bilang jangan pergi dari Raja. Kenapa kau bandel sekali jika diberitahu," ujar Retha sedikit emosi.
Ariesta menghela panjang napasnya. Tidak disangka jika Ibunya masih saja bersikeras dengan kehendaknya.
"Ibu, sudahlah. Raja Pierre tidak membutuhkan aku," ucap Ariesta.
Ariesta menengok ke belakang. Setengah mendongak ke lantai atas, dipandangnya Pierre yang sedang bersama wanita lain.