Perguruan ilmu bela diri yang terkenal di negeri ini. Perguruan yang bernama Dao Bao Hu, wadah di mana terbentuknya para pendekar-pendekar muda. Perguruan ini terletak di puncak Gunung, bernama Shan yang artinya Gunung.
Petang ini para senior Dao Bao Hu sedang berkumpul bersama. Ada kakak pertama yang bernama Feng Li Qian, lalu adik kedua yang tengah memainkan seruling bambu, serta didekatnya ada adik keempat sang ahli obat dan pengobatan.
Ketiga Laki-laki tampan, gagah, menawan idaman para wanita itu, tengah duduk bersama-sama di perkarangan taman kecil di area dalam Dao Bao Hu, yang luas mencakup 5 hektar. Meja bundar kayu berada di tengah-tengah mereka dan beberapa cangkir teh menemani santai di petang sore itu.
Tu.Tu.Tu.Ru.Tu.Ru.Tu.Tu.Ru.
Suara siulan seluring bambu yang dimainkan oleh adik kedua, membuat para kaum burung berkicau dan menari di udara.
Suaranya megitu menenangkan jiwa, hingga siapa pun yang mendengarnya akan hanyut di setiap melodinya.
Kedua mata adik kedua terpejam erat, menikmati setiap melodi dalam permainan seruling bambunya sendiri.
Tenang dan hening, inilah suasana petang di sore hari.
"Permainan serulingmu semakin indah saja. Aku sangat kagum dengan permainan sulingmu yang semakin bagus," kata Kakak pertama sambil melempar pujian untuk adik kedua.
"Kau benar," sahut adik keempat setuju, satu pemikiran dengan Feng Li Qian.
"Melodinya semakin indah dan selalu membuatku ingin berada di tempat ini," tambahnya lebih lanjut, seraya ikut memejamkan kedua mata dan mengikuti setiap melodi yang dimainkan.
Tu.Tu.Tu.
Adik kedua tetap fokus. Seruling terus dimainkan, tanpa perlu mendengarkan pujian dari kedua rekannya. Namun, di tengah keheningan itu, tiba-tiba suara keras memecah belah suasana.
"Kakak Feng! Kakak kedua! Adik keempat!" teriak seseorang. Suara itu terdengar memanggil ketiga laki-laki yang sedang duduk santai di sana.
Tidak asing bagi Feng Li Qian dan kawan-kawan. Tentu yang berteriak itu adalah adik ketiga. Dia berlari kencang dari ujung lorong menuju kepada para saudara-saudarnya.
"Suara itu lagi? Mengapa juga dia datang disaat yang tidak tepat," pekik adik keempat berkata menduga-duga, dengan matanya yang masih terpejam.
"Adik ketiga!" tebak dari Feng Li Qian dengan insting yang benar.
THEK ....
Permainan seruling telah dihentikan, adik kedua membuka matanya, lalu menurunkan seruling bambu miliknya dan menoleh berbalik menghadap ke belakang.
"Kakak pertama!" kata adik ketiga, sesampainya dia di tengah-tengah mereka.
Suaranya menggebu, jantungnya berdegub kencang, napasnya telah terhambat akibat terus berlari tanpa henti. Entah apa yang sedang dirinya kejar atau ributan? Jika adik ketiga datang memang selalu merusak suasana saja.
"Ada apa?" cuap Feng Li Qian bertanya pada pemuda yang ada di hadapannya sekarang.
Adik ketiga berusaha mengatur napasnya sejenak, sebab sedari tadi dia tidak meiliki kesempatan untuk beristirahat.
"Aku membawa berita heboh dari penjuru negeri!" Liu, sebutan namanya dan dia mulai berkata.
Wajahnya sengaja menunduk dan mendekati semua orang, serta suaranya terdengar seakan-akan berbisik kepada saudara-saudaranya.
"Kalian sudah dengar rumor yang telah tersebar heboh di tengah masyarakat?" katanya, yang semakin serius.
"Rumor, ya?" sahut Yu--Kakak kedua, begitu tenang sambil melamun ke arah lain.
"Hanya omong kosong!" seru Feng Li Qian dengan malas, tanpa memandang wajah Liu.
Kedua orang ini tidak menggubris dengan serius ucapan Liu; Adik Ketiga. Namun, sikap berbeda di tunjukan adik keempat
"Apa itu?" tanya penasaran Zhao Yi; adik keempat, wajah tampan itu mendekat pada Liu.
"Rumor apa itu? Cepat katakan, jangan membuatku penasaran," tambah Zhao Yi yang tidak bisa menunggu lagi.
"Sabar. Aku akan mengatakannya dengan perlahan, agar kalian yang tidak ingin tahu, setidaknya bisa mendengar kisahnya," tutur Liu yang lebih terdengar seperti menyindir seseorang.
"Jangan pedulikan mereka. Biarkan saja andai mereka tidak ingin tahu. Cepat atau lambat nanti juga akan mencaritahu sendiri," singgung Zhao Yi yang memiliki satu pemikiran dengan Liu.
"Hahaha, kau benar. Sejak kapan kau menjadi pintar?" lanjut Liu memuji.
Zhao Yi tersenyum canggung. Cerita belum dimulai, tetapi sudah ada pihak yang saling sindir antara saudara seperguruan.
"Sudahlah, itu tidaklah penting. Sekarang lebih baik kau bercerita saja. Aku sudah sangat penasaran dengan rumor itu."
Zhao Yi memang lain dari pada yang lain. Jika dua saudara yang lainnya lebih memilih acuh tak acuh, lain dengan pemuda itu.
Kesenangannya dalam hal bergosip menepatkan Zhao Yi sebagai pria yang tidak bisa sedikitpun mendengar kabar baru. Jelas dia akan segera mencaritahu, atau bertanya langsung kepada orang yang bersangkutan.
"Ya, baiklah aku akan mulai bercerita," tutur Liu pasrah.
Dia bukan pasrah dengan keadaan, melainkan Liu pasrah sebab Zhao Yi mendesaknya. Dalam hati Liu ingin rumor ini membuat Yu dan Feng Li Qian tertarik. Namun, sepertinya rumor kecil ini tak bisa menggentarkan hati mereka.
"Siang ini saat sedang patroli di pasar, seluruh penjual membicarakan tentang Pendekar Bertopeng," kata Liu singkat terlebih dahulu.
"Pendekar Bertopeng?" balas Yu; Adik kedua. Pendekar yang meniup seruling tadi, dengan santai dan pandangannya menoleh melihat kepada Zhao Yi dan Liu.
Setelah mendengar "Pendekar Bertopeng" sepertinya Yu cukup penasaran dan dengan mudah ikut terpancing perkataan dari Liu, yang terkesan sangat misterius tersebut.
Pembawaan Liu memang bisa menghipnostis pendengarnya. Meskipun demikian Feng Li Qian masih diam dan tidak bisa terpancing dengan omong kosong yang terkesan dibesar-besarkan itu.
"Cepat jelaskan! Aku tidak sabar, siapa Pendekar Bertopeng yang kau maksudkan itu? Jelas dia cukup membuatku penasaran," tutur Zhao Yi semangat menggebu.
Merasa beritanya akan diterima, maka Liu tidak mau membuang kesempatan tersebut. Biarkan Feng Li Qian acuh, Liu tidak mengharapkan pendapat dari murid pertama itu.
"Jadi siang ini, saat sedang berpatroli di pasar. Aku bertemu dengan seseorang ...."
Liu melanjutkan kisahnya. Semua dimulai ketika dia sedang berada di luar Dao Bao Hu. Dia turun gudung untuk melakukan patroli rutin setiap minggunya.
***
Siang hari. Di pasar tradisional di dekat Dao Bao Hu.
Liu baru saja menginjakkan kaki di pasar tersebut. Semuanya masih terasa sama. Suasana pasar yang ramai dan berisik, sebab inilah pasar salah satu tempat keramaian orang.
Semua orang tumpah ruah di sana. Membaur menjadi satu. Tidak ada kata kaya atau miskin, sebab yang mereka beli tetaplah sama. Tidak ada yang membedakannya.
Jika orang-orang kaya membeli sayuran, maka orang dengan garis keuangan yang kecil juga bisa membeli sayuran.
Tak ada kasta di pasar ini. Semuanya dianggap sama.
Di tengah kebisingan. Tiba-tiba Liu mendengar sesuatu yang jauh di sana. Suaranya begitu menyentuh hingga menembus ke gendang telinga pendekar yang identik dengan pakaian berwarna putih tersebut.
Liu terpejam sejenak untuk merasakan di mana asal suara itu berasal. Biarkan angin pembawa pesan masuk ke dalam sanubarinya. Dirinya mendengar teriakan itu.
"Tolong!" Suara teriakan yang entah darimana asalnya.
"Tolong selamatkan putriku!" lirih seakan sedang meminta bantuan.
"Tolong Tuan! Tolong kisanak. Tolong selamatkan putriku!"
Suara rintihan itu terdengar jelas seolah-olah sedang memohon penuh harap kepada orang-orang yang menjadi pengunjung pasar.
Meskipun jauh entah di mana, tetap saja Liu masih bisa mendengarnya dengan jelas.
Bola matanya terbuka kembali. Setelah mencari sumber suara, akhirnya Liu berhasil mendapatkan lokasi pasti di mana suara tersebut berasal.
"Di sana!" tunjuknya dengan yakin. Tak diragukan lagi, jika Liu memang pendekar tingkat 5 yang ahli dalam segala hal.
"Terima kasih angin pembawa pesan andai tidak ada kalian, mungkin aku tidak akan bisa mendengar suara memohon tolong itu."
Tidak perlu pikir panjang lagi dan tidak banyak basa basi. Liu segera berlari dari sana menuju lokasi yang baru saja dia dapatkan itu.
Liu bergegas dengan kecepatan tinggi. Gerakan meringankan tubuhnya sangat baik. Dia melayang-layang menapaki jalan setapak yang tak pernah dia injak. Liu melewati semua keramaian pasar, membelah puluhan orang yang merayap padat di sini.
"Sial!" pekiknya kesal karena lajunya harus terhambat oleh banyaknya orang yang ada di pasar.
Tentu ini adalah pasar tradisional. Tidak mungkin juga sepi. Sebab pasar dijadikan tempat untuk bertugar barang dagangan. Dari satu penjual kepada penjual lain.
"Bagaimana ini?" Liu berhenti, tetapi dirinya tidak kehabisan cara dan ide, untuk keluar dari keramaian yang seharusnya dia bisa tangani dengan baik.
Maka dari itu, Liu menggunakan kekuatan peringan tubuh dan memilih terbang di atas kepala-kepala para lautan manusia. Liu sadar petul, jika cara ini menjadi yang terbaik.
"Hub, hub, hub."
Kedua kakinya melewati satu persatu orang yang ada di bawah. Meskipun begitu tidak ada satu pun orang yang sadar bahwa seorang pendekar sedang berada di atas kepala mereka.
***
TEK ….
Liu akhirnya mendarat kembali di tanah. Sampailah dia di tempat yang ingin dituju, dan benar saja apa yang ada di sana.
Semuanya orang sedang berkumpul membentuk lingkaran besar di sudut itu, dengan salah seorang menjadi titik pusat perhatian.
Liu sangat penasaran, tanpa ragu dan banyak pikir pemuda itu segera bergegas cepat menuju ke sana, untuk memastikan apa yang terjadi di tempat itu.
"Lihatlah wajahnya!" ungkap seseorang yang telah berkumpul dikerumunan tersebut.
"Ya, kasian sekali, dengan putrinya," sahut orang yang ada di sampingnya.
"Iii ... apa dia terkena kutukan?" bisik yang lain menambahkan. Menebak seolah-olah tebakan mereka benar.
"Penyakitnya sangat aneh, tidak ingin aku mendekatinya! Aku takut menghitam dan tak cantik lagi" hina dari seorang wanita dewasa yang merasa jijik dengan yang dilihatnya. Namun dirinya juga bukan wanita yang Cantik.
"Bukankah ayahnya tabib, mengapa putrinya memiliki penyakit seperti itu?" gunjing dari yang lain melanjutkan.
"Tolong. Tolonglah putriku ini, Tuan, Nyonya," pinta dari orang tua yang menjadi pusat perhatian.
"Tuan, nmNyonya. Tolong selamatkan putriku."
Pria setengah parubaya itu memelas kepada semua orang yang sedang memperhatikan dirinya, seraya memangku tubuh putri cantiknya yang telah terbujur kaku tidak berdaya, dengan seluruh tubuh telah membiru membengkak.
Semua yang hadir untuk menyaksikan memandang ngeri. Tidak ada dari mereka yang mau mendekati laki-laki setengah paru baya itu, walau dia sudah memohon.
Semua yang memandang mereka merasa risih untuk mendekat karena putrinya itu tiba-tiba terkena penyakit aneh yang mengakibatkan tubuhnya berubah menjadi biru dan tebujur kaku seperti mayat yang sudah mati berhari-hari.
" Permisi! Permisi!" Liu datang mendekat.
"Permisi Tuan, Nyonya. Beri aku jalan."
Liu membelah puluhan manusia dan mencoba untuk menerobos sampai ke tengah karena melihat wajah Liu yang datang, orang-orang pun tak segan memberikan pemuda itu jalan dengan mudah.
Lalu betapa mengejutnya dia ketika melihat yang ada di tengah-tengah kerumunan? Seorang laki-laki setengah parubaya sedang menangisi putrinya yang telah terbujur kaku di tanah, dengan sekujur tubuh gadis itu yang telah membiru.
Laki-laki tersebut memangku tubuh putrinya dan meminta pertolongan kepada semua yang hadir. Namun semua orang tidak ada yang sudi menolongnya, hanya ingin menonton saja.
Liu mendekat dan duduk tersungkur di samping jasad gadis bergaun hijau muda tersebut.
"Ada apa dengan putrimu, Tuan?" tanya Liu lembut, tak mau terburu-buru.
"Tolong putriku, Pendekar." Pria paruh baya yang dikenal bermarga Xiau ini, mencoba menjawab dengan lirih pertanyan Liu.
"Jelaskan apa yang terjadi sebenarnya?" pinta Liu untuk yang kedua kalianya.